Kandang Kambing dan Potret Pers di Malang Raya (3)

Sabtu, Februari 09, 2019
Kartun: Mice. Sumber: Instagram Micecartoon.co.id.

Para wartawan idealnya mampu menghayati pekerjaannya sebagai profesi yang sublim. Ia bukan sekadar juru ketik, melainkan “tukang wartawan” dan bukan “wartawan tukang”.

SAYANGNYA, kepesatan pertumbuhan industri media siber di Malang Raya tidak selaras dengan meningkatnya profesionalitas dan kesejahteraan wartawan, serta independensi media. Implikasinya terhadap kualitas jurnalistik masih sangat memprihatinkan. Kehadiran media berbasis digital justru menggerus profesionalisme wartawan.

Disinyalir, mayoritas dari enam puluhan media siber tadi tidak berbadan hukum usaha dan atau menggunakan nama badan usaha palsu. Sang pemilik serampangan merekrut dan memperkerjakan wartawan tanpa pernah mendidik dan melatih mereka dengan keterampilan jurnalistik; alih-alih memberi pemahaman tentang kode etik dan Pedoman Pemberitaan Media Siber

Padahal pemilik media seharusnya memahami lebih awal perbedaan antara definisi pekerjaan dan profesi sebelum merekrut calon wartawan. Terdapat kualifikasi yang harus dipenuhi agar suatu bidang pekerjaan bisa dikategorikan sebagai profesi dan subjeknya disebut profesional, yakni pendidikan, keterampilan khusus, standar kompetensi, organisasi, dan kode etik.

Dengan begitu para juragan media jangan menganggap enteng pekerjaan jurnalistik. Para wartawan pun idealnya mampu menghayati pekerjaannya sebagai profesi yang sublim. Ia bukan sekadar juru ketik, melainkan “tukang wartawan” dan bukan “wartawan tukang”.

Namun, fakta tidak selalu sesuai harapan. Banyak wartawan yang digaji di bawah upah minimum dan bahkan sama sekali tidak digaji. Pemilik media membebaskan wartawan mencari “gaji” dari narasumber dan sebagian uangnya harus disetor tiap bulan kepada pemilik media. Model setoran bulanan ini biasanya merupakan kompensasi atas pemberian kartu pers kepada si wartawan.

Praktek bisnis media semacam itu sejatinya sudah lama terjadi, khususnya di lingkungan pengelola koran yang terbit mingguan maupun terbit bulanan. Maka, wajar saja kita mencemaskan kemungkinan tiga puluhan koran mingguan—versi seorang pengurus PWI Malang Raya—akan bermigrasi ke bentuk digital.

Koran-koran mingguan terbit temporer: kadang terbit, kadang tidak. Seringnya terbit saat ada momentum tertentu, seperti pemilihan kepala daerah, sehingga jumlah oplahnya disesuaikan dengan pesanan pihak tertentu pula. Berita-beritanya disajikan secara random dengan judul dan isi berita berbahasa negatif dan tendensius, yang berpotensi mendatangkan “pemasukan” ke kas perusahaan maupun ke kantong pribadi.

Koran mingguan biasa diedarkan ke desa-desa dan amat sulit ditemukan di kios koran. Wartawannya sering merangkap jadi loper. Mereka biasanya mendatangi kepala desa, camat, kepala sekolah, dan pengusaha berskala gurem. Lucunya, mereka pun sering menagih uang iklan kepada pihak yang tidak pernah memesan pemasangan iklan.

Dari kondisi begitulah lahir istilah media abal-abal.[5]

Boleh dikata, intinya, media abal-abal dikerjakan hanya untuk menangguk uang dengan melanggar kode etik jurnalistik. Kehadiran media abal-abal dan wartawan gadungan terbukti meresahkan banyak pihak, termasuk kalangan pers sendiri.

Wartawan media abal-abal di Malang Raya biasa disebut sebagai wartawan grandong alias wardong.[6] Hakikat istilah wartawan grandong aslinya bersinonim dengan istilah wartawan bodreks yang lebih dulu populer.[7]
Sebagai contoh, sebutan wartawan grandong dilontarkan banyak kepala desa saat saya menjadi salah satu narasumber kegiatan pelatihan jurnalistik dan pembuatan website yang diselenggarakan oleh media siber Malangtimes.com bersama dengan Pemerintah Kabupaten Malang. Kegiatan yang dihelat di Hotel Songgoriti, Kota Batu, 22-24 Desember 2014 ini diikuti seluruh kepala desa (378 orang) dan lurah (12 orang) yang berasal dari 33 kecamatan.

Tentu saja kita sangat berharap watak dan cara kerja media abal-abal tidak menulari tiga puluhan koran mingguan yang berhasrat jadi media siber walau sudah terlanjur kebanyakan media siber pendahulu mereka berkelakuan kayak begitu. Bedanya, kalau dulu eksemplar koran yang dibawa, kini cetakan berita dalam jaringan (daring) alias online yang disodorkan.

Berdasarkan informasi dari lingkungan eksekutif, legislatif, komunitas wartawan, perguruan tinggi, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat diketahui masih banyak wartawan abal-abal atau wartawan gadungan yang berkeliaran di wilayah Malang Raya.

Ciri wartawan abal-abal antara lain berpenampilan sok jago, tak tahu etika; menggunakan atribut aneh dan berlebihan misalnya gelang dan kalung emas, jam Rolex; pertanyaan yang diajukan seringkali bersifat tendensius; tak memiliki tata krama; kerap meremehkan atau mengancam narasumber; dan tak bisa tunjukkan kartu kompetensi. Para wartawan abal-abal juga kerap mengaku anggota organisasi wartawan yang bila ditelusuri adalah organisasi wartawan yang tak lolos verifikasi Dewan Pers. Organisasi wartawan lolos verifikasi dan menjadi konstituen Dewan Pers.[8]

Di Kota Malang, misalnya, kegiatan mereka menjadi realita yang dilaporkan sejumlah organisasi perangkat daerah atau OPD (dulu bernama satuan kerja perangkat daerah atau SKPD). Mereka umumnya berasal dari media yang berbasis di luar wilayah Malang Raya seperti Surabaya, Pasuruan, Kediri, Mojokerto, Blitar, dan Tulungagung.

Sedikitnya ada 50 wartawan dari sekitar 20 media abal-abal. Mereka punya kebiasaan muncul secara berkelompok yang terdiri antara empat sampai lima orang—sangat langka bisa menemukan wartawan grandong beraksi sendirian.

Mereka biasa berlagak hendak meminta informasi maupun mengonfirmasikan temuan fakta di lapangan, namun ujung-ujungnya menawarkan kerja sama pembuatan iklan kinerja pemerintahan maupun iklan lain berkemas “komunikasi bisnis”.

Bagian Hubungan Masyarakat (Humas) menjadi salah satu OPD yang banyak disasar. OPD ini mempunyai anggaran publikasi cukup besar dan jumlahnya cenderung bertambah tiap tahun. Contoh, anggaran publikasi pada 2015 berjumlah Rp 750 juta dan naik secara progresif menjadi Rp 4 miliar pada 2018. Kenaikkan anggaran publikasi seturut dengan hasrat dan semangat pemerintah daerah setempat menaikkan skala pencitraan (branding) kota secara nasional.

Anggaran Rp 4 miliar digunakan untuk melayani penawaran iklan yang diajukan media massa dari semua format (cetak, radio, televisi, dan siber) yang ada di Kota Malang.

Jumlah wartawan grandong dalam satu kelompok biasa bertambah besar saat menghadiri kegiatan berskala nasional, semacam perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia dan Hari Kebangkitan Nasional, maupun saat seorang bupati atau wali kota mengadakan kegiatan halalbihalal Lebaran.

Walau nama medianya berbeda, kata seorang pejabat humas, wartawan grandong umumnya berasal dari satu organisasi wartawan tertentu. Tiada penyebutan nama, tiada pula dipastikan apakah organisasi wartawan dimaksud sudah jadi maupun belum jadi konstituen Dewan Pers.[9] Wartawan enggak jelas ini umumnya bergabung juga dalam komunitas berbentuk forum, kelompok kerja, dan sejenisnya.

Dalam amatan dan pengalaman seorang pejabat di Bagian Humas, pergerakan wartawan abal-abal di wilayah Kota Malang tidak begitu masif. Ruang gerak mereka tereduksi oleh kekompakan dan keaktifan PWI Malang Raya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Malang, dan Pewarta Foto Indonesia (PFI) Malang, serta sistem kehumasan yang berlaku.[10] 

Bagian Humas membangun standar-standar komunikasi dan memberlakukan banyak ketentuan tentang penyebarluasan informasi dan iklan untuk menangkal kegiatan jurnalistik gadungan. Petugas humas dibekali pengetahuan literasi media hingga mereka mampu berkomunikasi secara persuasif dan efektif saat menghadapi para wartawan.

Bagian Humas berkomitmen selalu terbuka melayani wartawan dari media apa pun yang membutuhkan informasi. Tapi Bagian Humas tidak bisa serta-merta melayani media yang berhasrat mendapatkan iklan karena terkait penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Sejatinya, penyebarluasan informasi dan pemasangan iklan diprioritaskan bagi media yang memenuhi kriteria antara lain sudah terdaftar dan minimal sudah terverifikasi secara administratif di Dewan Pers; berbadan hukum usaha, idealnya berbentuk perseroan terbatas (PT); mempunyai nomor pokok wajib pajak; memiliki nomor rekening aktif; mencantumkan struktur redaksi yang aktif, termasuk di dalamnya pencantuman nama penanggung jawab dan pemimpin redaksi yang berkompetensi wartawan utama.

Kriteria-kriteria yang ditentukan Bagian Humas Pemerintah Kota Malang itu mirip dengan kriteria yang termaktub dalam Peraturan Gubernur Sumatera Barat Nomor 30 Tahun 2018 perihal sistem kerja sama pemerintah provinsi dengan media.[11]

Mayoritas wartawan yang terduga abal-abal mengklaim media mereka sudah berbadan hukum PT dan terdaftar di Dewan Pers. Sebagian besar klaim itu tidak terbukti setelah dicetak Bagian Humas ke laman Direktorat Jenderal AHU dan Dewan Pers.

Namun Bagian Humas tidak langsung menolak permintaan mereka. Bagian Humas lebih mendahulukan pendekatan persuasif dan diplomatis, semisal menyarankan mereka untuk lebih aktif bergaul atau bersosialisasi dengan komunitas wartawan yang ada. Strategi ini cukup manjur untuk “mengusir” wartawan grandong.

ILUSTRASI: Grafis berita berjudul Diduga Memeras Sejumlah Kasek, Lima Wartawan Bodong Ditangkap yang dipublikasikan Radar Pekalongan, Kamis, 29 November 2018.

Di tempat terpisah, seorang pejabat di lingkungan Pemerintah Kabupaten Malang mengatakan, wartawan abal-abal biasa berkelompok 4-5 orang saat mendatangi satu OPD tertentu, terutama OPD yang “basah” karena mendapat anggaran jumbo: Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga, Dinas Pendidikan, Dinas Kesehatan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan, Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), Badan Pendapatan Daerah, serta Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah.

Kelompok wartawan grandong yang mendatangi satu OPD hampir selalu sama saja orang-orangnya. Tapi di OPD lain beda lagi kelompoknya. Konon, tercapai kesepakatan di antara mereka untuk berbagi “wilayah kekuasaan” sehingga jika ada satu kelompok wartawan ingin masuk ke OPD tertentu, diminta untuk berkoordinasi atau kulonuwun dulu dengan kelompok wartawan yang duluan “berkuasa” di sana.

Jumlah mereka dalam satu kelompok bisa lebih besar hingga 10-15 orang, bahkan bisa mencapai 20 orang, saat menghadiri hajatan besar yang diadakan pemerintah daerah setempat, seperti puncak perayaan Hari Ulang Tahun Kabupaten Malang tiap 28 November—tahun ini Kabupaten Malang berusia 1258 tahun—maupun dalam acara-acara yang dipenuhi warga seperti kegiatan Bina Desa.[12]

Jumlah wardong di wilayah Kabupaten Malang melebihi jumlah wartawan dari media dan organisasi wartawan yang beridentitas jelas alias bukan wartawan abal-abal (BWA). Ditaksir, seluruh BWA berjumlah paling banyak 30 orang. Mereka biasa ngepos di lingkungan Kepolisian Resor Malang. Sedangkan jumlah seluruh wardong di Kabupaten Malang diperkirakan sebanyak 130 orang.

Total, saya memperkirakan di wilayah Malang Raya saat ini terdapat sekitar 350 wartawan yang bekerja di media cetak, elektronik (radio dan televisi), serta siber. Jumlah ini melebihi hitungan saya pada 2011 yang sebanyak 135 wartawan.  Pertambahan jumlah wartawan didongkrak oleh pertumbuhan media siber.

Sebagai komparasi, pada 2009, terdapat sekitar 80 wartawan yang berada di wilayah Kabupaten Malang menurut data di Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Malang. Jumlah 80 wartawan dihitung berdasarkan surat tugas resmi dari perusahaan.[13]

Dari 350 wartawan tadi, lebih banyak wartawan yang enggak jelas nama media dan organisasi wartawannya. Sebagai pembanding, per 26 November 2018, gabungan jumlah anggota empat organisasi wartawan (PWI, AJI, IJTI, dan PFI) tercatat sebanyak 162 orang.

Hanya sebagian kecil wartawan dari media profesional—menurut Standar Perusahaan Pers—yang belum menjadi anggota organisasi keempat wartawan itu. Jumlah mereka saya taksir tak lebih dari 30 orang. Anggaplah, jika ditambahkan dengan 162 orang tadi, maka jumlah BWA 192 orang.

Sedangkan 158 orang lagi patut diduga berpraktek sebagai wardong dan hampir seluruhnya menjadi anggota organisasi wartawan di luar PWI, AJI, IJTI, dan PFI. Ditengarai, sekitar 80 orang di antaranya berhimpun dalam satu grup jejaring sosial yang diikuti sekitar 110 orang.[14]

Sudah jadi pengetahuan bersama wartawan di Malang bahwa kebanyakan wardong beroperasi di wilayah Kabupaten Malang. Sebagian wartawan abal-abal diketahui suka kongko di sebuah warung dekat kantor Dinas Kesehatan di wilayah Kecamatan Kepanjen dan sebagian lagi suka nongkrong di kantin pendapa Pemerintah Kabupaten Malang yang berada di wilayah Kota Malang.

Pergerakan mereka tidak masif di wilayah Kota Malang dan Kota Batu. Di Kota Batu, menurut dua wartawan, jumlah wardong sekitar 10 orang atau lebih sedikit dari 17 wartawan bermedia jelas.

Sedangkan untuk mendeteksi keberadaan para BWA, misalnya, mereka bisa dijumpai di Warung Isor Nongko (WIN) di Jalan Gajahmada, Kota Malang, dan Warung Maknem dalam Markas Kepolisian Resor Malang di Kecamatan Kepanjen.

Untuk mempersempit ruang gerak mereka, Pemerintah Kabupaten Malang melalui Bagian Humas mengharuskan para wartawan yang meliput acara-acara yang bersifat formal untuk mengenakan baju seragam bertuliskan nama media masing-masing maupun seragam organisasi wartawan. Keharusan ini tidak berlaku bagi wartawan yang sudah dikenal.

Selain mengenakan seragam, para wartawan diminta menyerahkan fotokopi kartu pers, surat tugas maupun surat pemberitahuan dari induk perusahaan. Surat ini harus ditandatangani minimal oleh redaktur pelaksana dan lebih afdal lagi jika diteken oleh pemimpin redaksi maupun pemimpin perusahaan.

Cara lain, Bagian Humas merangkul agen-agen koran yang ada di wilayah Kabupaten Malang untuk memastikan keaslian identitas wartawan yang diduga wardong. Jika tak ada korannya, maka rumah web media bersangkutan yang dicek.

Sesimpel itulah cara yang dilakukan Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Malang untuk menanggulangi praktek wartawan abal-abal. Namun, walau semua syarat sudah dipenuhi, bukan berarti setiap media gampang mendapatkan iklan. Bagian Humas Pemerintah Kabupaten Malang hanya punya anggaran publikasi sebesar Rp 500 juta untuk tahun ini dan jumlahnya belum tentu ditambah di tahun depan.

Karena anggaran terbatas, maka belanja iklan bisa dilakukan OPD lain berdasarkan kebijakan kepala dinas atau disesuaikan dengan petunjuk pimpinan di atas OPD. Seorang pejabat mengatakan, belanja iklan diprioritaskan kepada media yang bonafit, media mainstream yang terdaftar di Dewan Pers.

Informasi terkini yang saya terima, para wartawan abal-abal untuk sementara “tiarap” semenjak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beraksi sepanjang Oktober di wilayah Kabupaten Malang dan menetapkan Rendra Kresna bersama Eryk Armando Talla dan Ali Murtopo sebagai tersangka dan ditahan pada minggu pertama Oktober 2018.[15]

Praktek wartawan abal-abal juga terjadi di wilayah Kota Batu. Namun, pejabat Bagian Humas Pemerintah Kota Batu mengaku belum pernah menjumpai mereka dan belum pernah pula mendapat laporan dari OPD lain terkait wardong. Bisa jadi dia memang tidak mengetahui karena belum sebulan menjadi kepala Bagian Humas.

Sebaliknya, salah seorang pejabat di Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang mengaku sering didatangi kelompok wartawan abal-abal. Modusnya, mereka berpura-pura mengonfirmasi kerusakan infrastruktur dan buntut-buntutnya menawarkan solusi “damai”. Sang pejabat juga pernah dimintai uang iklan. Padahal, sungguh mati, ia tak pernah memesannya.

Pejabat yang lain mengaku menyesal telah memberi duit kepada wartawan abal-abal karena ia malah dijadikan semacam kasir di tiap awal bulan. Sang pejabat sekarang lebih sering menghindar daripada ribet berurusan dengan mereka.

Dua wartawan di Batu bercerita, pernah suatu hari sekitar 2 bulan lalu, Wakil Wali Kota Batu Punjul Santoso dibuat gusar gara-gara di ruang tunggu depan kamar kerjanya tampak 5 orang yang terlihat seperti wartawan duduk di sofa. Padahal Punjul hendak keluar untuk mengisi kegiatan di tempat lain.

Karena gelagatnya mencurigakan, Punjul memerintahkan petugas jaga untuk mengecek identitas mereka melalui tayangan kamera pengawas atau CCTV. Setelah dipastikan tiada seorang pun yang dikenal, petugas baik-baik meminta kelima “wartawan” yang telah menunggu sekitar 2 jam itu untuk meninggalkan tempat. Barulah Punjul keluar dari dalam kamar kerjanya. ABDI PURMONO




[5] Beberapa ciri media abal-abal cetak dan siber: tidak berbadan hukum; alamat kantor redaksi palsu atau tidak jelas; tiada susunan redaksi dan nama penanggung jawab; kegiatan jurnalistiknya temporer alias angin-anginan; bahasa jurnalistiknya parah, jauh dari standar Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI); beritanya cenderung berisi propaganda, bersifat sensasional dan tendensius agar mendapat banyak pengunjung (umpan klik/clikbait), serta nama medianya terkesan ganjil dan “seram”.

[6] Penyebutan wartawan grandong merujuk pada salah satu karakter dalam serial sinetron Misteri Gunung Merapi yang ditayangkan oleh stasiun televisi Indonesiar sejak November 1998 sampai November 2005. Grandong menjadi anak buah Mak Lampir, sang tokoh utama. Di luar sinetron, grandong dimitoskan sebagai makhluk gaib yang berfisik menyeramkan dan bertabiat ganas.

[7] Istilah wartawan bodreks muncul di era 1980-an. Istilah yang sarkastis ini menunjuk orang-orang yang tidak mempunyai suratkabar alias wartawan tanpa suratkabar (WTS) dan atau terbitnya tidak teratur. Dijuluki wartawan bodreks lantaran mereka suka berombongan mendatangi narasumber yang bermasalah. Wartawan bodreks lebih dulu mempelajari kasus yang melibatkan narasumber sebelum “menyerang” narasumber sasaran. Wartawan bodreks biasanya menawarkan solusi berupa “uang damai” kepada narasumber yang sudah terpojok. Sedangkan nama bodreks diserap dari nama obat sakit kepala terkenal.

[8] Jurnal Dewan Pers Edisi 16, Desember 2017, Menunggu Wujud Nyata Kemerdekaan Pers, halaman 20.

[9] Dari tujuh konstituen Dewan Pers, hanya tiga yang berbentuk organisasi wartawan: Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Ikatan Jurnalistik Televisi Indonesia (IJTI). Empat organisasi lagi merupakan himpunan perusahaan pers: Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), dan Serikat Perusahaan Pers atau SPS (dulu bernama Serikat Penerbit Suratkabar).

[10] AJI Malang dibentuk pada 28 Mei 2005, serta IJTI Malang dibentuk pada 7 Desember 2013 dan para fotografer jurnalistik membentuk PFI Malang pada 3 Mei 2015. Saat ini AJI Malang beranggotakan 22 orang. IJTI memiliki 47 orang anggota, termasuk editor, presenter, dan kamerawan studio. Sedangkan anggota PFI Malang berjumlah 23 orang.

[11] Lihat berita Kompas yang berjudul Cara Sumbar Bisa Jadi Model Tertibkan Media Palsu, Rabu, 7 November 2018.

[12] Program Bina Desa digiatkan sejak Rendra Kresna menjadi Bupati Malang. Kegiatan ini dijadwalkan satu kali setiap bulan. Program Bina Desa menjadi ajang untuk mendekatkan masyarakat dengan jajaran pemimpin dan OPD Kabupaten Malang. Penempatan kegiatan Bina Desa diprioritaskan di desa-desa yang dianggap tertinggal tapi punya potensi besar untuk dikembangkan. Melalui kegiatan ini Pemerintah Kabupaten Malang serangkaian kegiatan seperti pelayanan satu atap untuk pembuatan KTP, kartu keluarga, bedah rumah, dan tentu saja dialog.

Menurut Rendra, ada tiga prinsip yang harus dipedomani supaya pembangunan di Kabupaten Malang maju dan berkembang, yakni integritas, etos kerja, dan gotong royong.

[13] Tempointeraktif.com, Hanya Enam dari 140 Wartawan di Malang yang Ikut Jamsostek, Selasa, 22 Desember 2009.

[14] Sebagai pembanding, kawan di Blitar mengabari bahwa dari 132 wartawan di sana, hanya 29 orang yang bermedia jelas. Selebihnya diduga wartawan abal-abal.

[15] Rendra Kresna ditahan KPK bersama Eryk Armando Talla dan Ali Murtopo. Dalam jumpa pers 11 Oktober 2018, Wakil Ketua KPK Saut Situmorang menjelaskan bahwa saat menjabat pada periode pertama (2010-2015) Rendra diduga terlibat dalam dua perkara korupsi berupa menerima suap dari Ali sebesar Rp 3,45 miliar dan menerima gratifikasi senilai Rp 3,55 miliar dari Eryk.

Share this :

Previous
Next Post »