Industri Karoseri Menolak Mati (2)

Kamis, Mei 30, 2013
Kegiatan Produksi di PT Morodadi Prima
Naskah dan foto: ABDI PURMONO

BELASAN pria sibuk mengelas sambungan potongan-potongan besi sampai terbentuk rangka empat buah bus besar pesanan perusahaan otobus Rosalia Indah. Puluhan pria lainnya sibuk mendempul dan mengecat bus-bus besar pesanan dari beberapa perusahaan otobus. 

Mereka bekerja dalam pengawasan Wakil Presiden Direktur PT Morodadi Prima David Lie. Sang bos sesekali menyapa dan mengajak bicara beberapa pegawai, lalu melihat lini produksi lainnya. 


“Saya sangat jarang mengawasi pegawai yang sedang bekerja karena saya percaya pada kompetensi dan komitmen mereka,” kata David kepada saya pada Selasa siang, 19 Maret 2013. 

Morodadi merupakan perusahaan karoseri tertua di Malang yang berdiri pada 1964 dan berlokasi di Desa Randuagung, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.

Rata-rata tiap bulan Morodadi memproduksi 20-30 unit bus berukuran sedang dan besar. Bus berukuran sedang (medium bus) dirakit di atas sasis (chassis) buatan Mercedes-Benz alias Mercy, Hino, Hyundai, Mitsubishi, Toyota Dyna, dan Isuzu.

Morodadi paling sering menggunakan sasis Mercy (OH 1518, OH 1521, dan OH 1526), serta Hino R260, dan Mercedes-Benz, Hino, dan Hyundai Aero Space, untuk membuat bus besar. Sedangkan berdasarkan modelnya, ada dua jenis model yang umum diproduksi, Patriot dan Ventura.

“Dua model ini merupakan desain paten dari kami. Tapi, kami selalu mengutamakan kepuasan pelanggan, di mana pelanggan dapat meminta penyesuaian desain,” kata pria 42 tahun itu.

Semua produksi digarap di atas lahan seluas 5 hektare. Jalur produksi di Morodadi tertata sederhana dan efektif, menggambarkan manajemen produksi yang sangat memperhatikan efisiensi. Dibutuhkan kurang dari 20 menit untuk memutari jalur produksi yang berbentuk tapal kuda itu.

Rata-rata bodi bus digarap selama 45 hari. Tiap proses produksi (membuat rangka, mengelas, mendempul, pengecatan, dan uji mutu) melibatkan 10-15 pekerja. "Bos sangat jarang mengawasi pekerjaan kami karena beliau sudah percaya pada komitmen dan kemampuan kami," ujar seorang pekerja yang sedang mendempul, agak berbisik. 

Bus-bus yang diproduksi Morodadi cukup terkenal di kalangan pengusaha jasa transportasi bus. Pada dekade 1990-an, produksi Morodadi tersebar ke Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi. Perusahaan Otobus ANS yang berbasis di Padang, Sumatera Barat, menjadi pelanggan setia sampai sekarang.

“Ayah saya (Lie Bambang Gunawan, pendiri Morodadi Prima) sudah seperti bersaudara kandung dengan pemilik ANS,” ujar David sambil menunjuk sebuah bus ANS yang akan dipermak.

David menjelaskan, ciri khas utama produk Morodadi bisa dilihat dari keluwesan garis lurus dan lengkung di semua aspek bus: sisi atas, samping kanan-kiri, depan, dan belakang.

Ciri khas itu, misalnya, bisa diamati pada Patriot dan Ventura. Mayoritas model ini jadi bus pariwisata untuk memenuhi kegairahan industri pariwisata setelah perusahaan karoseri lain mengeluarkan desain-desain bus pariwisata. Namun, David menegaskan Morodadi bukan latah sebagai pengekor. Kedua model diproduksi setelah Morodadi melakukan riset pengembangan produk pada 2010.

Patriot berbodi besar yang diproduksi berdasarkan permintaan konsumen. Desainnya menggunakan atap kaca demi mengunggulkan keleluasaan dalam kabin.

Bus Ventura berukuran sedang. Seperti bus-bus produksi Morodadi lainnya, ada ciri khas produk yang tak mudah ditiru oleh karoseri lain, yaitu keberanian membuat kaca runcing di kaca samping bagian belakang bus. Kaca samping bagian depan, bagian atas hingga ke kaca belakang, dilihat sekilas, seperti selendang yang menutup atap. Jika diteliti hasil kamuflase desain yang luwes ini menyisakan tingkat kesulitan di kaca belakang. 

Desain luwes diciptakan desainer Morodadi, dengan membuat kaca khusus produk Ventura dengan sudut runcing dan kontur garis yang menyatu dengan lengkung desain. Sepintas, kaca itu dibentuk oleh cutting sticker yang sekarang lagi ngetren.

Banyak lagi keluwesan pada produk-produk Morodadi. Selain pada kaca, keluwesan itu dapat dilihat di bagian pintu yang umumnya menggunakan aksen desain lengkung yang sederhana tapi elegan dan berkarakter kuat.

“Kami tak terlalu senang dengan desain yang aneh-aneh. Kami senang desain produk yang elegan khas bus-bus Eropa. Dari dulu hingga sekarang, kami tetap fokus dan konsisten pada kualitas produk. Itulah kiat sederhana kami untuk bertahan dan berkembang,”  ujar David. 

Tak banyak industri karoseri bus yang bertahan. Kejayaan industri karoseri berlangsung sepanjang kurun 1970 sampai 1990-an. Semasa itu ada ribuan industri karoseri bus dan truk. Jumlah industri karoseri berkurang drastis saat Indonesia dilanda krisis ekonomi, keuangan, dan politik pada kurun 1996-1999.

Ketidakpastian usaha saat itu, ditambah suku bunga yang melambung dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang terus merosot, memukul telak dunia usaha. Industri karoseri makin nelangsa setelah pemerintah mengeluarkan regulasi yang membolehkan agen tunggal pemegang merek (ATPM) mengerjakan sendiri (in-house) perakitan body. ATPM pun boleh mengimpor mobil jadi atau mobil utuh (completely built-up).

Padahal, sebelumnya, ATPM seperti Daihatsu, Mitsubishi, Toyota, dan Suzuki, menyerahkan produk-produknya kepada industri karoseri. Contoh hasil karya karoseri terkenal adalah Toyota Kijang dan Suzuki Carry.

Pada 2010 Asosiasi Karoseri Indonesia merilis jumlah anggota sebanyak 375 industri karoseri yang tersebar di Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Yogyakarta, Jawa Timur, serta Sumatera Utara dan Lampung. Namun, baru 105 industri karoseri yang bersertifikat dan selebihnya belum bersertifikat.

Khusus di Jawa Timur terdapat 79 perusahaan karoseri—28 perusahaan sudah bersertifikat. Mayoritas perusahaan karoseri berlokasi di Surabaya dan Malang. Di masa kejayaan industri karoseri, di Malang terdapat 30-an perusahaan karoseri. Kini tinggal 5-6 perusahaan karoseri yang mampu bertahan. Selain Morodadi Prima, PT Adiputro Wirasejati  dan PT Tentrem memproduksi bus reguler pengangkut penumpang dan bus pariwisata. Gunung Mas dan KIM Putra setia memproduksi bodi truk. Sedangkan Piala Mas membangun bus dan kadang juga membuat bodi truk.

Morodadi mencapai masa puncak permintaan pada kurun 1989-1992, dengan rata-rata per bulan mengerjakan 40 unit bus kelas eksekutif. Produksi sebanyak ini melibatkan 600-an pekerja, 40 persen di antaranya pekerja borongan. 

Di masa krisis, jumlah order merosot 70 persen. Jumlah pekerja menciut tinggal 300-an orang pada 2003 dan turun lagi jadi sekitar 250 orang pada 2004. Rata-rata tiap bulan Morodadi menerima 5-10 pesanan dengan ongkos pengerjaan per order Rp 120 juta.

Jumlah order anjlok, biaya produksi meningkat. Sepanjang 2003-2004, harga material naik lebih dari 70 persen. Besi menjadi material utama. Morodadi biasa belanja sebanyak 15 ton besi seharga Rp 11 ribu per kilogram atau Rp 1,5 miliar. Beruntung, Morodadi suka menyimpan stok besi dan material lainnya. Selain belanja bahan, tiap bulan di masa itu Morodadi harus merogoh kocek Rp 250 juta untuk menggaji pegawai. Itu belum termasuk untuk membayar biaya listrik dan biaya operasional lainnya.

Keadaan diperburuk semakin murahnya harga tiket pesawat. Perusahaan otobus terpaksa menurunkan harga tiket. Ketika harga tiket pesawat malah di bawah harga tiket bus, pengusaha bus tak lagi berani mengambil risiko dengan menurunkan harga tiket. Alhasil, orang lebih suka naik pesawat ketimbang naik bus sehingga banyak perusahaan otobus bangkrut. Order yang didapat perusahaan karoseri pun tergerus.

Perusahaan karoseri makin sulit berkembang setelah pemerintah mengeluarkan beberapa regulasi yang tidak mendukung eksistensi mereka, semisal pemberlakuan pajak barang mewah dan impor bus bekas.

David terkenang, “Pernah, saking susahnya dulu, pekerja kami sampai rela menerima order pengecatan helm agar bisa bertahan.”

Morodadi pernah berkerjasama dengan ATPM selama 10 tahun lebih. Kerja sama tidak diteruskan karena Morodadi merasa rugi, terlebih ketika ATPM menggarap sendiri kendaraan jadi. 

Di masa booming, era 1980-an, ATPM sudah seperti berhala. Sebelum memberikan order ke perusahaan karoseri, ATPM menerima permintaan dari dealer kendaraan di banyak daerah. Permintaan dealer sama dengan permintaan konsumen. Kendaraan yang dipesan baru bisa diserahkan ke konsumen lewat ATPM beberapa bulan kemudian setelah perakitan di karoseri selesai.

“Namun,” kata David, “dalam kenyataannya, ketergantungan yang begitu besar itu dimanfaatkan oleh beberapa ATPM untuk memaksakan harga pada karoseri. Bahkan, disinyalir mereka suka mengadu antara karoseri yang satu dengan karoseri yang lain. Takutnya, karoseri hanya dijadikan sebagai kelinci percobaan, sebelum mereka merakit mobil sendiri.”

Selain itu, bekerja sama dengan ATPM tidak bisa membuat Morodadi mandiri 100 persen terutama dalam penentuan harga dan berkreasi. Umumnya ATPM bertabiat mencari untung sebesar-besarnya dengan membeli dari perusahaan karoseri dengan harga semurah-murahnya.

Sejak bercerai dengan ATPM, Morodadi menyasar langsung perusahaan otobus menengah ke atas. Pangsa pasar utamanya adalah perusahaan otobus pariwisata dan bus penumpang umum yang berbasis di Bali, Jawa Tengah, dan Sulawesi. Namun, perusahaan otobus belum sepenuhnya bangkit sehingga Morodadi pun menerima order membuat kendaraan-kendaraan berukuran kecil dan sedang.

David menegaskan, Morodadi sangat ketat menjaga mutu produksi meski teknologi karoseri yang dipakai tidak sepenuhnya modern, seperti teknologi full pressed body dan serta docking system—rumah-rumah kendaraan sudah 60-100 persen sudah jadi, tinggal tunggu unit sasisnya. Satu orang karyawan biasa menangani dua-tiga pengerjaan sekaligus, semisal mengelas, mendempul, dan mengecat. Mereka bekerja laksana seniman.

“Kami masih industri padat karya dengan menggunakan banyak teknologi manual sehingga kemampuan dan keterampilan SDM (sumber daya manusia) kami per individu sangat bisa diandalkan, bisa diadu dengan SDM dari perusahaan karoseri lain. Dengan begitu, kami bisa lebih bebas berkreasi dan produk kami lebih menyentuh ke personalisasi atau selera konsumen,” kata David, seraya menyebutkan banyak pekerja Morodadi yang dibajak perusahaan pesaing.

Standar ketat yang diterapkan Morodadi dirintis mulai 1980-an dengan melengkapi jalur produksi dengan mesin-mesin yang bisa menghasilkan komponen pendukung. Dengan menggunakan mesin, Morodadi bisa mempercepat pembuatan beberapa bagian bus, seperti pemotongan pelat untuk bumper, serta rangka untuk handle pintu.

Di tiap bagian ada ada penyelia (supervisor) yang khusus mengawasi kualitas pekerjaan. Di tiap bagian itu pula ada papan yang ditempel tata cara, prosedur dan gambar teknis atas standar yang harus dipenuhi. David sempat memperlihatkan standar pengelasan rangka sebelum ditutup pelat bodi bus. “Di bagian ini, pekerjaan pengelasan harus sesuai standar untuk mengelas rangka sepeda. Hasil pengelasan harus terlihat sangat halus dan rapi.”

Kesabaran dan ketekunan Morodadi mulai berbuah manis. David bilang, kegiatan produksi Morodadi mulai membaik dan stabil dalam tiga tahun terakhir. Order bertambah. Sekitar 20 perusahaan otobus menjadi pelanggan Morodadi. Dalam sebulan Morodadi bisa menyelesaikan 20 bus besar (big bus) serta 15 bus ukuran sedang dan kecil. Seluruh rangkaian produksi melibatkan 600 sampai 700 orang pekerja, 20 persen di antaranya pekerja borongan.

Ongkos pengerjaan satu bus besar di atas Rp 200 juta, sedangkan pengerjaan bus ukuran sedang berongkos Rp 150 juta sampai Rp 200 juta. “Besar-kecilnya ongkos pengerjaan tergantung opsi atau selera konsumen. Opsi ini biasanya menyangkut aksesoris bagian dalam atau interior bus. Semakin banyak opsi yang dimau, semakin besar pula ongkos kerjanya.”

Varian produksi makin banyak. Selain menggarap bus besar, sedang, dan kecil, Morodadi juga memproduksi shuttle van, kendaraan khusus (contoh: ambulans, mobil jenazah, mobil reklame, dan mobil radio). Hampir semua desain dan model kendaraan yang diproduksi Morodadi dibuat berdasarkan selera konsumen.

“Banyak pelanggan kami yang menginginkan tampilan busnya diubah sesuai keinginan mereka. Sepanjang bisa dilakukan kami juga akan menyesuaikan keinginan pelanggan.” 

Soal harga, David mengibaratkan harga produk Morodadi sebagai harga kelas restoran cepat saji, bukan kelas warung. Memang relatif lebih mahal dibanding produk dari perusahaan karoseri lain, tapi mutu produk dijamin memuaskan. “Kami benar-benar ketat menjaga standar mutu dengan terus menyempurnakan prosedur produksi.”

Penerapan standar ketat mutu yang disertai perbaikan manajemen berbuah sertifikat ISO 9001-2008 (sertifikat Sistem Manajemen Mutu) dari British Standard Institute (BSI). BSI merupakan salah satu lembaga sertifikasi yang menciptakan standar ISO yang menjadi acuan industri dunia. Sertifikat ISO itu diterima pada September 2012. 

Penghargaan lain didapat dari PT Mercedes-Benz Indonesia. Morodadi mendapat dua sertifikat dari Mercy sebagai body builder yang mampu memenuhi standar global pabrikan ternama asal Jerman itu. Pada Maret 2010 Mercy menyerahkan sertifikat pembuatan bodi bus bersasis OH 1526 EIII. Sertifikat sejenis diterima pada 31 Agustus 2012 untuk pembuatan bodi bus bersasis OH 1626 LEIII.

Sertifikat itu mencakup kategori rekayasa desain (design engineering),proses produksi (production process), dan sign-off complete bus.

Bus Mercy bersasis OH 1526, misalnya, berwujud bus milik PO Blue Star (Jakarta), PO Safari Dharma Raya (Jakarta), dan bus karyawan PT Petrokimia Gresik. Sedang bus Mercy bersasis OH 1626 berwujud bus yang dipakai PO Rosalia Indah (Solo), Karya Jaya (Semarang), dan Safari Dharma Raya.

Sebenarnya, kerja sama antara Morodadi dengan Mercedes-Benz sudah berlangsung lama, sejak era kepemimpinan Lie Bambang Gunawan, ayah kandung David. Namun, baru pada 2010 dan 2012 Mercy mengakui kemampuan Morodadi.

Saat ini Morodadi sedang fokus menggarap bus besar model baru bersasis OH 1836 yang memiliki panjang sekitar 13 meter. Ditargetkan model terbaru ini selesai digarap pada Juni mendatang dan diharapkan berbuah sertifikat lagi dari Mercedez-Benz. ABDI PURMONO

Share this :

Previous
Next Post »