Industri Karoseri Menolak Mati (1)

Kamis, Mei 30, 2013
Kegiatan produksi di PT Adiputro Wirasejati
Naskah dan foto: ABDI PURMONO

PERCIKAN api dan bau cat memenuhi bengkel produksi perusahaan karoseri PT Adiputro Wirasejati di Jalan Raya Balearjosari, Kelurahan Balearjosari, Kecamatan Blimbing, Kota Malang, Jawa Timur.

Ratusan pekerja sibuk di tiap divisi: pembuatan rangka, pemasangan panel (paneling), pendempulan dan pengecatan, pembuatan interior, penyelesaian dan pengecekan mutu, dan pengiriman.


“Kesibukan paling kentara di divisi pembuatan rangka, paneling, serta pendempulan dan pengecatan,” kata Direktur PT Adiputro Wirasejati Andre Jethrokusumo kepada saya pada Rabu, 13 Maret 2013.

Namun, sejak awal bertemu, Andre meminta saya untuk tidak bertanya tentang jumlah produksi dan nilai investasi. Tak ada alasan eksplisit. Andre hanya mengisyaratkan jumlah produksi dan nilai investasi merupakan rahasia perusahaan yang tak boleh diketahui perusahaan pesaing.

“Oh, terlalu banyak, tidak sampai segitu, Pak. Tapi tolong ya, Pak, angka-angka (produksi) itu tak usah ditulis seperti kesepakatan kita di awal bertemu. Tolong, ya, Pak,” begitu jawab Andre saat  dikonfirmasi mengenai rerata produksi harian Adiputro yang, menurut dua anak buahnya, berjumlah lima bus besar serta 10 unit bus ukuran sedang dan kecil.

Adiputro merupakan perusahaan karoseri terbesar di Jawa Timur. Menariknya, bisnis Adiputro bukan dimulai dari usaha yang berhubungan dengan dunia otomotif, melainkan dari usaha fotografi keluarga Jethrokusumo di Malang, 7 Agustus 1971. Namun usaha fotografi itu kemudian justru sangat berguna bagi kegiatan promosi Adiputro. 

Murni mengembangkan usaha karoseri pada 1973, dimulai dengan menggarap bus kecil, T100 dan L300 milik Mitsubishi, serta Suzuki Carry.

Total, sejak berdiri hingga sekarang, Adiputro berbisnis dengan sekitar 30 perusahaan otobus dari banyak daerah di Indonesia. Dari seluruh perusahaan otobus, 60 persen di antaranya perusahaan bus pariwisata, seperti Panorama dan Bluebird, serta sisanya perusahaan bus reguler, seperti Cipaganti, Safari Dharma Raya, Kramat Djati.


Bodi-bodi bus itu dirakit di atas sasis (chassis) buatan Mitsubishi (Jepang), Suzuki (Jepang), Mercedes-Benz, Isuzu (Jepang), Hino (Jepang), Volvo (Swedia), Golden Dragon (Cina), Hyundai (Korea Selatan) dan lain-lain. Sekarang Adiputro lebih banyak merakit bus besar bersasis Mercy dan Hino, serta sasis Isuzu untuk minivan empat roda.

“Sebanyak 40 persen produk kami berupa mobil kecil dan 60 persen mobil besar. Kebanyakan kami pakai sasis Mercy dan Hino; rasionya 50:50-lah,” ujar Andre.

Seluruh rangkaian produksi berlangsung di atas lahan 8 hektare, dengan melibatkan 1.200 karyawan. Semua karyawan tetap. Rata-rata dibutuhkan waktu 1,5 sampai 2 bulan untuk menggarap satu unit bus besar, baik bus umum atau reguler dan bus pariwisata. Menurut Andre, sejak berdiri, Adiputro sudah menggarap delapan sampai sepuluh model desain. “Itu yang seingat saya.”

Pelanggan harus mengeluarkan minimal Rp 300 juta untuk memesan satu bus besar berukuran panjang 12 meter. Ongkos merakit bodi bus ukuran sedang seperti minivan sepanjang 5 meter Rp 95 juta per unit. Besar-kecilnya ongkos pembuatan bodi bus tergantung opsi atau selera konsumen. Tambahan ongkos terbesar biasanya untuk kelengkapan interior kabin. “Ongkos (Rp 300 juta dan Rp 95 juta) itu untuk pembuatan bodi saja.”

Kemampuan produksi Adiputro didukung penggunaan teknologi termodern, seperti teknologi full pressed body, las titik (spot welding), docking system—rumah-rumah kendaraan sudah 60-100 persen sudah jadi, tinggal tunggu unit sasisnya—serta teknologi suspensi sejak 2003.  

“Kami juga menggunakan mesin jig sebagai alat bantu perakitan supaya semua hasil perakitan sama. Setahu kami, tidak semua perusahaan karoseri sudah pakai jig,” kata Andre sambil menunjuk mesin besar berwarna kuning yang berfungsi mencetak bodi utama kendaraan.

Kemampuan Adiputro diakui banyak perusahaan otobus. Bus-bus rakitan Adiputro dikenal tangguh dan tahan lama. Adiputro menerima banyak penghargaan dari dalam dan luar negeri. Empat penghargaan dari PT Mercedes-Benz Indonesia (MBI) yang paling membanggakan karena tak semua perusahaan karoseri bisa mendapat penghargaan bergengsi dari perusahaan otomotif ternama dunia asal Jerman itu.

Sertifikat itu mencakup kategori rekayasa desain (design engineering), proses produksi (production process), dan sign-off complete bus.

Pada Maret 2009 Adiputro mendapat sertifikat untuk keberhasilan merakit bus di atas sasis OH 1518 EIII. Setahun kemudian, Adiputro juga mendapat sertifikat dari MBI sebagai body builder di atas sasis OH 1526 EIII. Sertifikat serupa juga diterima PT Morodadi Prima, perusahaan karoseri pesaing Adiputro yang berlokasi di Desa Randuagung, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.

Perusahaan otobus pelanggan Adiputro yang memesan bus bersasis OH 1526 pemesannya antara lain Panorama (Jakarta), Zentrum (Purwodadi), dan Budiman (Tasikmalaya).

Dua sertifikat sejenis diterima Adiputro dari MBI pada 2012 untuk sasis OH 1626 LEIII dan OH 1830 EIII. Sertifikat sasis OH 1626 juga diberikan pada Morodadi Prima dan PT Tentrem. Namun, sertifikat OH 1830 hanya diberikan MBI kepada Adiputro.

Bus yang bersasis OH 1626 hasil rakitan Adiputro berwujud bus milik perusahaan otobus Bluestar (Jakarta), Nusantara (Kudus), Wisata Karya (Jakarta). Sedangkan sasis OH 1830, antara lain, berwujud bus kepunyaan PO Nusantara (Kudus), Pahala Kencana (Jakarta), dan Menggala (Makassar).

OH 1830 merupakan sasis keluaran terbaru dari Mercedes-Benz yang saat ini paling tenar di kalangan pengusaha bus. Sasis ini memang beda dengan sasis-sasis sebelumnya. Perbedaan mencolok adalah penggunaan teknologi frame space yang menggantikan model sasis konvensional berbasis besi besar dan panjang utuh.

OH 1830 terdiri dari dua modul, front modul (driver compartement dan front axel) dan rear modul (rear axel dan engine compartement). Engine OH 1830 keluar dari agen tunggal pemegang merek (ATPM) dihubungkan dengan sebuah sasis sementara yang pendek untuk pengiriman ke karoseri-karoseri. Tapi, setibanya di karoseri, sasis itu akan dilepas menjadi dua bagian, kemudian sasis akan dirancang dan dibuat oleh karoseri dengan standar material sasis yang diawasi langsung oleh MBI. 

Andre sangat bersyukur sekaligus bangga Adiputro mendapat empat sertifikat internasional dari MBI karena hubungan bisnis dengan Mercy relatif masih muda, yakni sejak 1996. Pada tahun itu Adiputro menjalin bisnis dengan Hino.

Seperti yang dialami PT Morodadi Prima, pesaingnya, Adiputro pun pernah mengalami masa terburuk. Kejayaan industri karoseri berlangsung sepanjang kurun 1970 sampai 1990-an. Semasa itu ada ribuan industri karoseri bus dan truk. Jumlah industri karoseri berkurang drastis saat Indonesia dilanda krisis ekonomi, keuangan, dan politik pada kurun 1996-1999.

Ketidakpastian usaha saat itu, ditambah suku bunga yang melambung dan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang terus merosot, memukul telak dunia usaha. Industri karoseri makin nelangsa setelah pemerintah mengeluarkan regulasi yang membolehkan agen tunggal pemegang merek (ATPM) mengerjakan sendiri (in-house) perakitan bodi. ATPM pun boleh mengimpor mobil jadi atau mobil utuh (completely built-up).

Padahal, sebelumnya, ATPM seperti Daihatsu, Mitsubishi, Toyota, dan Suzuki, menyerahkan produk-produknya kepada industri karoseri. Contoh hasil karya karoseri terkenal adalah Toyota Kijang dan Suzuki Carry.

Menurut Simon Jethrokusumo, kakak kandung Andre yang menjabat sebagai Direktur Utama PT Adiputro Wirasejati, puluhan tahun karoseri berperan penting mendukung perkembangan industri otomotif nasional. Karoseri juga mendukung penuh ambisi pemerintah yang sejak 1970 mengarahkan industri otomatif agar mampu memproduksi mobil nasional.

Pada 2010 Asosiasi Karoseri Indonesia merilis jumlah anggota sebanyak 375 industri karoseri yang tersebar di Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Yogyakarta, Jawa Timur, serta Sumatera Utara dan Lampung. Namun, baru 105 industri karoseri yang bersertifikat dan selebihnya belum bersertifikat.

Khusus di Jawa Timur terdapat 79 perusahaan karoseri—28 perusahaan sudah bersertifikat. Mayoritas perusahaan karoseri berlokasi di Surabaya dan Malang. Di masa kejayaan industri karoseri, di Malang terdapat 30-an perusahaan karoseri. Kini tinggal 5-6 perusahaan karoseri yang mampu bertahan.

Keadaan diperburuk semakin murahnya harga tiket pesawat. Perusahaan otobus terpaksa menurunkan harga tiket. Ketika harga tiket pesawat malah di bawah harga tiket bus, pengusaha bus tak lagi berani mengambil risiko dengan menurunkan harga tiket. Alhasil, orang lebih suka naik pesawat ketimbang naik bus sehingga banyak perusahaan otobus bangkrut. Order yang didapat perusahaan karoseri pun tergerus.

Perusahaan karoseri makin sulit berkembang setelah pemerintah mengeluarkan beberapa regulasi yang tidak mendukung eksistensi mereka, semisal pemberlakuan pajak barang mewah dan impor bus bekas.

Di masa terpuruk, Adiputro memangkas jumlah karyawan dari seribuan orang menjadi 700 orang. Jumlah produksi anjlok. Namun, Adiputro mulai bangkit pada 2004. Dengan sekitar 800 karyawan, Adiputro terus memproduksi bodi Mitsubishi, Colt L300, Suzuki Carry Futura, Suzuki Aventura 1300, 1500, serta Suzuki Carreta 1000.

Adiputro terus berkembang menjadi yang terbesar di Jawa Timur. Banyak varian produksi Adiputro. Namun, yang paling populer dan laris adalah bus besar yang diberi label sebagai Jetbus.

Menurut Andre, Jetbus kini menjadi bus varian andalan Adiputro yang pertama kali dipamerkan ke publik pada 22 Juli 2011 di ajang tahunan Indonesia International Motor Show. Pemberian nama Jetbus bukan dari Adiputro. Semula Jetbus bernama Royal Coach, tapi dijuluki Jetbus oleh klien-klien Adiputro agar namanya terkesan lebih keren dan bernilai jual tinggi.

Keunggulan Jetbus adalah penggunaan teknologi suspensi udara (air suspension), selain tampilan yang mewah, lapang, dan nyaman. ABDI PURMONO





Share this :

Previous
Next Post »