Kisah Perubahan Sebagian Kawasan Tinggi Raja Jadi Taman Wisata Alam

Jumat, Juli 12, 2019

Penampakan Kawah Putih Tinggi Raja pada Minggu, 2 Juni 2019. Foto-foto: ABDI PURMONO

Cagar Alam Dolok Tinggi Raja merupakan warisan raja-raja di Simalungun. 

INI CERITA tentang berubahnya sebagian kawasan Cagar Alam Dolok Tinggi Raja menjadi taman wisata alam atau TWA yang sebaiknya diketahui oleh siapa pun yang ingin ke sana.

Sebelum September 2018, luas Cagar Alam (CA) Dolok Tinggi Raja 167 hektare. Baik sebagai cagar alam maupun TWA, lokasinya tetap di Desa Dolok Merawa, Kecamatan Silau Kahean, Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara, serta masih dalam wilayah kewenangan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Sumatera Utara. Lokasi Tinggi Raja terpisah jarak 90 kilometer dari pusat Kota Medan. 

Dulu, di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda, Cagar Alam Dolok Tinggi Raja semula merupakan kawasan Hutan Lindung Sianak-anak I dan Hutan Lindung Sianak-anak II. Kedua kawasan konservasi ini ditetapkan sebagai hutan lindung masing-masing pada 1916 dan 1918 berdasarkan hasil kesepakatan bersama raja-raja di Simalungun.

Kemudian, karena keunikan ekosistem dan keanekaragaman hayati yang dimilikinya, maka raja-raja bersepakat lagi untuk meningkatkan status kedua hutan lindung tersebut menjadi cagar alam seluas 167 hektare. Kesepakatan ini diterakan dalam bentuk Zeelfbestuur Besluit No. 24 Tanggal 18 April 1924.

Tinggi Raja ditetapkan jadi cagar alam bersama Cagar Alam Batu Gajah. Batu Gajah terletak di Dusun Pematang, Desa Negeri Dolok, Kecamatan Dolok Panribuan, kabupaten yang sama. Luas CA Batu Gajah hanya 0,80 hektare.


Lho, bagaimana bisa raja-raja di Simalungun menetapkan sebuah kawasan konservasi sebagai hutan lindung maupun cagar alam di saat rezim Hindia Belanda berkuasa?

Pertanyaan itu bisa dijawab dengan membaca artikel berjudul Peran Sultan dan Raja dalam Penunjukan Kawasan Konservasi dan Pelestarian Jenis (1920-1938) di laman Direktorat Pemolaan dan Informasi Konservasi Alam (PIKA) Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK).

Pemerintah Hindia Belanda di masa itu mengakui para sultan dan raja sebagai kepala pemerintahan kesultanan dan kerajaan yang memiliki otonomi daerah sehingga mereka diberi kewenangan untuk menunjuk kawasan konservasi di bagian-bagian wilayahnya sebagai cagar alam (natuurmonument) maupun suaka margasatwa (wildreservaat) untuk melindungi kekayaan alam Hindia Belanda yang perlu dilestarikan.

Sesuai dengan sistem pemerintahan yang berlaku di masa itu, penunjukan kawasan konservasi oleh sultan atau raja harus diketahui oleh pengawas daerah (controlleur), dinas kehutanan (dienst van het boschwezen), asisten residen, dan residen, serta harus disetujui oleh gubernur.


Penunjukan kawasan konservasi di luar Pulau Jawa dalam peraturan perundangan waktu itu dikenal istilah ZB (zeelfbestuur besluit). ZB merupakan surat keputusan bersifat otonom yang diterbitkan oleh tingkat pemerintahan yang diwakili oleh gubernur dan raja/sultan yang diberi kewenangan untuk menerbitkan surat keputusan dalam menunjuk kawasan konservasi.

Surat keputusan yang diterbitkan mengacu pada peraturan, antara lain, Undang-Undang Cagar-Cagar Alam (Natuurmonumenten Ordonnantie) 1916 No. 278; Undang-Undang Perlindungan Binatang (Dierenbescherming Ordonnantie) 1931 No. 134; serta Undang-Undang Cagar-Cagar Alam dan Suaka-Suaka Margasatwa (Natuur-monumenten en Wildreservaten Ordonantie) 1932 No. 17.



Nah, baik tempo dulu maupun masa sekarang, orang-orang sebenarnya dilarang sembarangan memasuki Dolok Tinggi Raja karena statusnya sebagai cagar alam. Di masa sekarang, larangan itu mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya (UU Konservasi), serta Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam.

“Ya, memang sebenarnya siapa pun dilarang masuk kawasan konservasi seperti Tinggi Raja jika tujuannya ke sana tidak berkaitan dengan fungsi kawasan,” kata Kepala BBKSDA Sumatera Utara Hotmauli Sianturi kepada saya, Kamis pagi, 4 Juli 2019.


Dalam UU Konservasi dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 disebutkan bahwa kegiatan pemanfaatan yang bisa dilakukan dalam kawasan cagar alam hanya riset dan pengembangan sains, pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam, penyerapan atau penyimpanan karbon, serta pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk menunjang budidaya.

Namun, faktanya, sudah terlalu banyak orang mengunjungi CA Dolok Tinggi Raja sejak dekade 1980. Mayoritas pengunjung ke Tinggi Raja pasti bertujuan ingin melihat Kawah Putih, sebutan untuk sumber air panas campur belerang yang dikelilingi travertin atau endapan kapur.

Begitu pula dengan saya. Saya pertama kali ke sana bersama teman-teman kuliah pada 3-6 Desember 1995. Kami mengadakan kegiatan Studi Praktis Jurnalistik. Berselang hampir 24 tahun, saya melakukan lawatan kedua ke sana pada Minggu, 2 Juni 2019. Saya sendirian saja dengan bersepeda motor matik.

Waktu itu, berdasarkan pengamatan saya dan kawan-kawan dalam kunjungan pertama, semburan air panasnya bisa setinggi dua sampai 2,5 meter dengan volume air bisa dua tong sekali sembur, serta hampir seluruh area sekitar mata air panas memutih akibat endapan kapur yang luas. Endapan kapurnya pun sangat tebal dan berteras-teras mirip model pertanian terasering. Dominasi warna putih menjadi rujukan para pengunjung untuk menyebut hamparan kapur itu sebagai salju panas.

Dalam kunjungan kedua, cukup banyak wisatawan yang saya lihat datang. Padahal waktu itu masih bulan puasa Ramadan, tepatnya dua hari jelang Lebaran dan hari sedang terik-teriknya. Beragam kegiatan dilakukan para pengunjung di sana. Biasanya pengunjung membawa telur untuk direbus dalam lubang mata air panas.

Bahkan, menurut Yanti Supri, seorang pengunjung dari Kecamatan Bangun Purba, Kabupaten Deli Serdang, lokasi Kawah Putih beberapa kali dijadikan tempat pemotretan pre-wedding.

Tonton video: Pesona Kawah Putih Tinggi Raja.



Banyaknya wisatawan merupakan fakta yang tak bisa dipungkiri dan sekaligus jadi bukti besarnya potensi Tinggi Raja sebagai destinasi wisata. Kenyataan inilah yang dijadikan alasan oleh Pemerintah Kabupaten Simalungun saat mengusulkan kepada Kementerian LHK supaya sebagian kawasan diubah fungsinya sebagai kawasan wisata. Usulan disampaikan beberapa tahun silam, sebelum Hotmauli jadi Kepala BBKSDA Sumatera Utara.

Pemerintah Kabupaten Simalungun melibatkan tim Kebun Raya Bogor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk menguatkan dalil usulan. Hasil penelitian menyebutkan Kawah Putih Tinggi Raja sangat layak dijadikan sebagai objek wisata seperti halnya Kawah Putih Ciwidey di Kabupaten Bandung, Jawa Barat.   

Usulan Pemerintah Kabupaten Simalungun disetujui Menteri LHK Siti Nurbaya dengan mengeluarkan Surat Keputusan No.397/MENLHK/SETJEN/PLA.2/9/2018 tentang Perubahan Fungsi dalam Fungsi Pokok Kawasan Hutan dari Sebagian Kawasan Cagar Alam Dolok Tinggi Raja menjadi Taman Wisata Alam. Surat keputusan ini ditandatangani Bu Menteri pada 18 September 2018.

Kawasan yang ditetapkan jadi TWA seluas 60,94 hektare (pembulatan 61 hektare) atau 36,5 persen dari total luas CA Dolok Tinggi Raja, dengan Kawah Putih sebagai pusatnya.

“Kawasan yang jadi TWA meliputi kolam-kolam yang airnya biru, tidak sampai ke zona inti yang masih ditumbuhi pohon-pohon besar,” ujar Hotmauli. 


Dia memastikan, penetapan TWA sudah disosialisasikan ke publik secara luas dan khususnya kepada masyarakat desa setempat. Semenjak penetapan TWA, siapa pun yang masuk ke sana dikenai tarif Rp 5 ribu sebagai pendapatan negara bukan pajak (PNBP).

BBKSDA terus berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan, terutama dengan Pemerintah Kabupaten Simalungun dan Pemerintah Provinsi Sumatera, serta masyarakat desa setempat untuk mengembangkan pengelolaan TWA Dolok Tinggi Raja. Pada Maret 2019 sudah disepakati pembentukan badan usaha milik desa (BUMDes) Dolok Merawa.

Melalui BUMDes diharapkan adanya kegiatan yang bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar TWA, misalnya melalui pengelolaan parkir dan pembuatan cenderamata atau suvenir. Masyarakat setempat juga harus disiapkan mampu melayani wisatawan dengan baik. Sebagian dari mereka nantinya dilatih agar bisa menjadi pemandu wisata. ABDI PURMONO




Artikel terkait hasil editan redaktur di Jakarta:

Share this :

Previous
Next Post »
2 Komentar
avatar

Ituuu gak boleh buat berendam pak? Hahaha

Balas
avatar

@Wawa Yasaruna: Kawah Putih Tinggi Raja enggak boleh dibuat berendam karena panasnya bisa mencapai 90 derajat Celsius. Kalau mau berendam ya di sungai bawah Kawah Putih. Terima kasih ya....

Balas