Kanker Usus Merenggut Nyawa Petugas Pemilu di Tirtoyudo

Kamis, Mei 23, 2019

Sunaryo semasa hidup. Foto-foto: ABDI PURMONO 

Keluarga Sunaryo menolak pembongkaran makam untuk keperluan visum dan sekaligus mengecam penyebar hoaks petugas KPPS mati diracun serta penyebaran narasi pembantaian massal petugas KPPS oleh pihak tertentu untuk kepentingan politik pemilihan presiden.

SAYA menghabiskan waktu dua jam bersepeda motor sendirian dari Kota Malang menuju sebuah rumah sasaran di selatan Kabupaten Malang.

Pemandangan sepanjang jalan nasional kelas III antara Malang dan Dampit sejauh 40 kilometer, yang mengarah ke wilayah Kabupaten Lumajang, terasa hambar karena saya sudah beberapa kali melintasi rute itu. Sebaliknya, saya kian bergairah begitu sepeda motor butut saya memasuki wilayah Kecamatan Tirtoyudo.

Total, jarak tempuh sekitar 65 kilometer dari pusat kota Malang ke rumah sasaran. Jika perjalanan diteruskan dari rumah target ke selatan sejauh 10 kilometer lagi, maka bersua objek wisata Pantai Lenggoksono bersama air terjun Banyu Anjlok di Desa Purwodadi, plus Pantai Sipelot di Pujiharjo dalam kecamatan yang sama.

Jalanan sempit berkeluk-keluk di perbukitan, hamparan tebu berbunga majemuk warna pastel dan batang-batangnya kompak bergoyang ritmis mengikuti sapuan angin, keharuman aroma biji kopi yang disangrai, dan bau jemuran cengkeh, menjadi penawar lelah mata dan gerah badan akibat terpaan terik matahari.

Hampir pukul 11 siang dan Sujatwati tampak keluar dari dapur saat saya tiba di halaman rumahnya. Paras perempuan berusia 53 tahun ini agak dingin usai saya memperkenalkan diri, menunjukkan kartu pers, dan menerangkan tujuan mendatangi tempat tinggalnya di RT 05/RW 02 Dusun Kepatihan, Desa Kepatihan, Tirtoyudo.

Sujatwati tetap mempersilakan masuk. Sedikit tergesa, dia pamitan sebentar untuk memanggil abang iparnya yang bernama Djoni. Pria 67 tahun ini baru pulang dari ladang dan duduk di sebelah Sujatwati, perempuan yang baru sebulan ditinggal mati adik kandungnya: Sunaryo Andrianto.

“Saya sebenarnya sudah dipesanin polisi supaya mengarahkan siapa pun yang bertanya tentang kematian suami saya untuk menghubungi kantor polisi di sini (Markas Kepolisian Sektor Tirtoyudo). Tapi Sampean sudah jauh-jauh ke sini dan memang enggak ada wartawan yang ke rumah saya selain Sampean, maka saya agak bingung mau ngapain,” kata Sujatwati, membuka percakapan.

Saya berusaha membujuk Sujatwati dan Djoni sampai mereka bisa tenang dan rileks. Alhamdulillah, berhasil. Suasana tambah gayeng tatkala Freddyka Ade Sutantya alias Freddy, anak kedua pasangan Sunaryo dan Sujatwati, tiba di rumah dengan membawa beberapa kantong plastik belanjaan. 

Baca juga: Kisah Anggota KPPS Meninggal di Teras Rumah.

Pose perangkat Desa Kepatihan di kalender 2019. Sunaryo berdiri di barisan depan paling kanan.

SUNARYO Andrianto meninggal di Ruang ICU (intensive care unit) Rumah Sakit Umum Daerah dr Sjaiful Anwar alias RSSA dalam usia 57 tahun pada Minggu, 14 April 2019, atawa tiga hari jelang pemungutan suara pemilihan umum 2019. Ia meninggalkan tiga anak dan enam cucu.

Sunaryo pendiri dan sekaligus guru di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Fatkhul Ulum. Madrasah ini kemudian berganti nama jadi MTs Darul Khoirot. Selain menjadi guru, Sunaryo juga menjabat sekretaris desa atau carik Kepatihan.

“Saya sendiri anak kepala desa sini dulunya. Suami saya baru 4-5 tahun jadi carik, sebelumnya ya pegawai biasa di kantor desa,” kata Sujatwati.

Sunaryo seorang pekerja keras, amat berdisiplin, dan sangat suka bersepeda motor sendirian ke mana-mana, terutama ke kantor camat Tirtoyudo dan kantor Pemerintah Kabupaten Malang di Kecamatan Kepanjen. Suka pulang kemalaman, makan enggak teratur, malas berolahraga, Sunaryo juga seorang perokok berat dan penggila kopi. Ia lebih pilih secangkir kopi kental ketimbang minum segelas air putih.

Sujatwati sudah sering meminta pria kelahiran 25 Oktober 1962 itu berhenti merokok. Tapi sang suami selalu santai menjawab bahwa dirinya orang yang sangat sehat dan kuat sehingga penyakit takut padanya. Pria bertubuh tinggi besar ini memang berpembawaan ceria dan doyan bercanda.

“Bapak itu sukanya kerja terus dan sibuk mengurusi keperluan orang lain di kantor desa maupun di sekolahan. Bapak enggak pernah mikirin diri sendiri. Kesehatannya gimana juga tidak dipikirin, yang penting kerjaan beres dan orang-orang senang dibantunya,” ujar Sujatwati.

Volume kesibukan Sunaryo melonjak dalam setahun terakhir, terlebih-lebih saat ia dipercaya menjadi Ketua Panitia Pemungutan Suara (PPS) Kepatihan. Tapi Sunaryo tetap saja bersemangat dan ceria.

Sunaryo pantang mengeluhkan pekerjaan maupun membawa masalah pekerjaan ke rumah karena rumah tempat beristirahat. Toh balai desa hanya terpaut jarak sekitar 50 meter dari rumahnya. Pokoknya, pekerjaan harus beres di luar rumah. 

Hingga suatu saat Sunaryo terpaksa harus dibawa ke pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) Tirtoyudo untuk diperiksa pada Oktober 2018. Sunaryo sempat buang air besar campur darah. Ia mengira mengalami ambeien atau wasir, tapi petugas kesehatan menyatakan ia mengalami infeksi saluran kencing gara-gara kecapekan.

Kurang dari sepekan Sunaryo merasa sehat lagi. Ia kembali bekerja dan bahkan lebih sibuk dari biasanya. Energik dan ceria tetap jadi pembawaan khas seorang Sunaryo walau waktunya makin banyak tersita untuk persiapan pelaksanaan pemilu serentak.

Kesibukan membuat Sunaryo mengabaikan kesehatan sampai suatu hari ia terpaksa dibawa ke Rumah Sakit Ben Mari yang beralamat di Jalan Raya Kendalpayak, Desa Kendalpayak, Kecamatan Pakisaji—sekitar 25 kilometer dari Kepatihan. 

Djoni, abang kandung Sunaryo, bersama Sujatwati.
Namun, Djoni menimpali, pihak rumah sakit tidak bisa memastikan penyakit yang diderita Sunaryo. Keluarga tak puas. Dua hari kemudian, Djoni dan dua keponakannya, termasuk Freddy, membawa Sunaryo ke RSSA di Kota Malang. RSSA ini berada di seberang Markas Kepolisian Resor Malang Kota.

Djoni dan Freddy tidak ingat apa saja rangkaian pemeriksaan yang dilakukan tim medis RSSA. “Saya ingatnya di-USG (ultrasonografi), tapi hasilnya enggak bisa langsung kelihatan,” ujar Djoni.

Yang pasti mereka ingat, Sunaryo harus ke RSSA lagi. Total, tiga kali Sunaryo dibawa ke RSSA. Nah, kunjungan ketiga mengharuskan Sunaryo dirawat inap di Ruang ICU. Hasilnya, tim dokter memvonis Sunaryo menderita kanker usus dan harus dioperasi.

Operasi dilakukan pada Jumat, 12 April 2019. Sekitar pukul 11 malam Sunaryo dipindah ke Ruang ICU. Tiada seorang pun boleh masuk ruang ICU kecuali dokter dan tenaga medis yang bertugas.

Sujatwati mengaku enggak bisa tenang. Salatnya jadi tak khusyuk karena kepikiran terus ingin melihat suaminya tapi perawat melarang. Perawat bergeming walau Sujatwati berkali-kali memohon. Akhirnya, Sujatwati nekat nyelonong ke Ruang ICU. Perawat yang berjaga terpaksa membiarkannya sebentar.

Sujatwati dan Sunaryo bertemu sekitar 10 menit. Sunaryo sempat mengatakan merasa lebih bugar sehabis dioperasi. Sunaryo meyakinkan Sujatwati bahwa ia pasti lekas sembuh. Sujatwati dan anak-anak diminta tenang dan sabar.

Lalu, Sunaryo merasa haus dan meminta minum. Tapi dokter piket melarang Sujatwati memberikan minuman dengan alasan Sunaryo habis dioperasi dan pemberian minum bisa membuat pasien muntah.

Sujatwati pamit keluar dari Ruang ICU untuk melaksanakan salat. Sabtu pagi, 13 April 2019, pihak rumah sakit membolehkan keluarga Sunaryo memasuki Ruang ICU bergantian dan waktunya sebentar. Freddy ingat bapaknya berpesan supaya anak-anaknya tetap menjaga salat 5 waktu dan diusahakan selalu berjamaah. Mereka pun dipesani agar tetap rukun.

Jelang siang keluarga Sunaryo dilarang menjenguk. Sujatwati yang sangat cemas mengajak anak-anaknya memperbanyak doa. Tapi Sujatwati tetap tak bisa tenang saat menunaikan salat Ashar di musala. Sehabis salat, Sujatwati berlari kecil menuju Ruang ICU dan mendapati kabar duka: Sunaryo telah menghebuskan napas terakhir pada pukul 4 sore. 
Sujatwati menunjukkan sertifikat penghargaan
dari Gubernur Jawa Timur. 

Alhasil, Sunaryo batal mengenakan seragam baru warna biru saat bertugas bersama enam anggota Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) di hari pencoblosan surat suara pada 17 April. Sujatwati ingat, Sunaryo berkelakar merasa lebih gagah dan ganteng dalam balutan seragam biru.

“Tapi mau gimana lagi, Mas. Bapak sibuknya kerja, sibuk ngurusin orang-orang sampai lupa ngurusin diri sendiri dan tahu-tahu sakitnya sudah sangat parah. Kenapa saya dulu enggak bisa tegasin bapak agar hidupnya lebih teratur,” kata Sujatwati dalam nada agak menyesal. Matanya berkaca-kaca.

Saking cintanya, sampai sekarang Sujatwati merasa Sunaryo belum meninggal. Dia begitu terasa kehilangan Sunaryo setiap kali menjalankan salat karena suaminya selalu jadi imam bila pas ada di rumah. Satu kebiasaan lain Sunaryo yang mustahil dilupakan Sujatwati, yakni Sunaryo suka bergurau saat hendak masuk rumah.

“Bapak suka bergurau sepulang dari kantor dan kalau mau masuk rumah suka bilang ‘apakah ini rumah Bu Carik?’ seolah-olah bapak jadi orang lain,” kali ini Sujatwati bisa tersenyum kecil. “Itu yang enggak bisa saya lupakan sampai rasanya bapak masih hidup dan ada di ruangan ini bersama kita.”

Karena itu, Sujatwati dan anak-anaknya menolak wacana maupun usulan pembongkaran makam para anggota KPPS yang meninggal untuk divisum sebagaimana disampaikan pihak-pihak tertentu. Usulan itu menuai polemik cukup sengit di kalangan masyarakat, terutama di media sosial.

Dia pun mengecam pembuat dan penyebar hoaks yang menyebutkan adanya petugas pemilu yang meninggal diracun dan hoaks lain tentang ketidakwajaran penyebab kematian ratusan anggota KPPS, apalagi beredar narasi pembunuhan massal petugas pemilu.

Sujatwati meminta kepada siapa pun agar kematian suaminya jangan disangkutpautkan dengan politik pemilihan presiden. Sujatwati dan keluarga sudah mengikhlaskan kematian Sunaryo sebagai takdir.

“Kami sudah ikhlas, jadi enggak usah bongkar-bongkar (makam) karena enggak berguna kecuali hanya menambah beban mental dan pikiran kami,” kata dia.

Freddy mendukung penuh keputusan sang ibu. Pria berusia 30 tahun ini juga marah begitu membaca hoaks tentang kematian ratusan anggota KPPS. Freddy mengaku tahu betul beban kerja anggota KPPS karena berpengalaman jadi anggota KPPS pada pemilu 2014 dan 2019. Pada pemilu tahun ini Freddy bertugas jadi anggota KPPS di TPS 10 Desa Sumbertangkil, Tirtoyudo.

Menurut Freddy, banyak petugas KPPS yang benar-benar kelelahan lantaran beban kerja pemilu 2019 sangat berat, lebih berat dari beban kerja pemilu lima tahun lalu. Kelelahan akut ini memperparah kondisi fisik petugas KPPS yang aslinya sudah jelek. 

Banyak hal yang harus dikerjakan petugas KPPS di hari pencoblosan. Satu contoh saja, mereka sudah harus menyiapkan dan menata TPS sejak sehabis subuh. Jam 8 pagi membuka kotak, lalu menghitung seluruh 5 jenis surat suara, terus ditata rapi di meja, baru dibagikan.

“Sebelum hari H saja sudah banyak kerjaannya. Satu kerjaan saja bisa satu hari satu malam beresinnya. Selesaikan form C.1 saja bisa sampai jam 3 pagi, makanya saya marah bila ada yang ngomong kerja petugas KPPS hanya duduk dan mencatat, apalagi ada yang tega bikin hoaks tentang kematian petugas KPPS,” kata Freddy.

Beban kerja seberat itu tidak sepadan dengan honorarium Rp 470 ribu yang diterima Freddy dan kawan-kawan setelah pemungutan suara tuntas.

Freddy mengusulkan dua hal untuk perbaikan kualitas pemilu berikutnya. Pertama, tes kesehatan diperketat. Sebenarnya KPU mengharuskan setiap petugas pemilu seperti di PPS maupun KPPS untuk menyerahkan surat keterangan sehat. Tapi, faktanya, enggak semua aturan itu diterapkan.

Kedua, sistem pemilu 2024 nanti harus dipermudah. Misalnya dengan cara memisahkan pemilihan presiden dari pemilihan legislator. Lima jenis surat suara yang begitu lebar sudah sangat menyulitkan pemilih, khususnya mereka yang sudah renta. Freddy berharap, pemilu berikutnya bisa seperti pemilu lima tahun silam.

Walau tidak menyelesaikan tugasnya hingga hari pencoblosan surat suara, Sunaryo dianggap turut berjasa terhadap pesta demokrasi lima tahunan Indonesia.

Atas jasanya, Sunaryo diberi sertifikat penghargaan dari Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa pada 25 April 2019. Selain sertifikat, Pemerintah Provinsi Jawa Timur juga menyerahkan santunan Rp 15 juta. ABDI PURMONO



CATATAN:

Tulisan panjang ini diedit redaksi dan kemudian dipublikasikan melalui Tempo.co dengan judul Duka Ketua KPPS Meninggal di Malang: Kesal karena Hoaks, Jumat, 24 Mei 2019.  

Share this :

Previous
Next Post »