Pemerintah Diminta Cabut Pembatasan Akses Media Sosial

Jumat, Mei 24, 2019
Sumber gambar: Shutterstock.com
Pembatasan akses media sosial tidak sesuai dengan Pasal 28F UUD 1945 dan Pasal 19 Deklarasi Umum HAM.

JAKARTA — Pemerintah memutuskan membatasi akses terhadap media sosial, khususnya fitur penyebaran video dan gambar, pasca-demonstrasi yang berujung bentrokan dan pembakaran sejak Selasa malam, 21 Mei 2019, dan berlanjut hingga hari berikutnya. Kericuhan terjadi di Kawasan Thamrin, Jakarta Pusat dan Slipi, Jakarta Barat.

Para demonstran memprotes hasil pengumuman Komisi Pemilihan Umum pada Selasa dinihari yang menyatakan bahwa pemenang pemilu presiden adalah Pasangan Calon Nomor 01, Joko Widodo-Ma'ruf Amin, dengan perolehan suara 85.607.362 atau 55,50 persen. Sedangkan Pasangan Calon Nomor 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, mendapat 68.650.239 atau 44,50 persen suara.

Pembatasan akses itu disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto dalam konferensi pers di kantornya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Rabu, 22 Mei 2019. Kebijakan ini dibuat dengan merujuk pada Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai dasar hukumnya.

Menurut Wiranto, pembatasan yang bersifat sementara itu bertujuan untuk menghindari berita bohong atau hoaks tersebar luas kepada kepada masyarakat terkait peristiwa kerusuhan. Wiranto tidak memastikan kapan kebijakan pembatasan akses media sosial dicabut karena sangat bergantung pada situasi dan kondisi keamanan dalam negeri.

Menyikapi kebijakan itu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) menyatakan sikap:

1. Mendesak pemerintah segera mencabut kebijakan pembatasan akses media sosial. Kami menilai kebijakan itu tidak sesuai dengan Pasal 28F Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, serta Pasal 19 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia yang memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi.

2. Meminta pemerintah menghormati hak publik untuk memperoleh informasi. Kami menyadari bahwa kebijakan itu ditujukan untuk mencegah meluasnya informasi yang salah demi melindungi kepentingan umum. Namun kami menilai kebijakan itu juga menutup akses masyarakat terhadap kebutuhan lainnya, yaitu untuk mendapat informasi yang benar.

3. Menyerukan kepada semua pihak untuk menggunakan kebebasan berekspresi dengan sebaik-baiknya. Kami menolak segala macam tindakan provokasi dan segala bentuk ujaran kebencian karena bisa memicu kekerasan lanjutan, serta memantik perpecahan yang bisa membahayakan kepentingan umum dan demokrasi.

4. Mendorong pemerintah meminta penyelenggara media sosial untuk mencegah penyebarluasan hoaks, fitnah, hasutan, dan ujaran kebencian secara efektif melalui mekanisme yang transparan, sah, dan bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.


Jakarta, 23 Mei 2019
Ketua Umum AJI Indonesia Abdul Manan
Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia Sasmito Madrim



Share this :

Previous
Next Post »