Wisata Murah Taman Buaya Kota Medan

Selasa, Juni 18, 2019

Foto-foto: ABDI PURMONO

Taman Buaya Asam Kumbang di Kota Medan merupakan pusat penangkaran buaya tertua dan terbesar di Indonesia. Tahun ini usianya genap 60 tahun.

SUHERMAN bersama keluarga ke Kota Medan bukan sekadar buat mudik. Ia juga ingin menyenangkan ibu mertua dan dua anaknya yang penasaran ingin melihat buaya dari dekat tapi aman.

Keinginan itu dipicu oleh cerita Suherman tentang Taman Buaya Asam Kumbang yang berlokasi dekat rumah orangtuanya di Medan. Suherman menyebut Taman Buaya Asam Kumbang merupakan pusat penangkaran buaya tertua dan terbesar di Indonesia dan bahkan salah satu pusat penangkaran terbesar di kawasan Asia Tenggara.

Selain itu, kata Suherman, melihat buaya satu-dua ekor saja di kebun binatang sudah jadi sensasi tersediri, apalagi bisa melihat ribuan ekor buaya dari dekat dengan tiket masuk yang murah. 

Maka, Taman Buaya Asam Kumbang menjadi agenda pertama wisata keluarga Suherman di Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara itu. Bukan usaha yang mudah karena Suherman harus menyetir mobil selama 13 jam dengan menyusuri jalan nasional sepanjang 540 kilometer dari tempat tinggalnya di Duri, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, dua hari lalu.

“Mamak (ibu) mertua ingin sekali ke sini. Kalau aku sudah sering ke sini sejak kecil karena rumah bapak dan mamakku dekat-dekat sini saja, Bang,” kata Suherman dalam logat bicara khas orang Medan kepada saya, Minggu sore, 2 Juni 2019.


Bagi pria berusia 40 tahun itu, berwisata di Taman Buaya Asam Kumbang alias Taman Buaya Medan—orang-orang Medan menyebutnya ternak buaya—menjadi pilihan yang menyenangkan. Selain berlokasi dekat rumah orangtuanya, ongkos masuknya pun sangat murah.

Taman Buaya Asam Kumbang berlokasi di Jalan Bunga Raya II, Kelurahan Asam Kumbang, Kecamatan Medan Selayang. Lokasinya berjarak sekitar 7 kilometer dari pusat Kota Medan dan gampang dicari karena hanya terpaut jarak 400 meter dari Kantor PDAM Tirtanadi Cabang Sunggal. Jalan masuknya ditandai sebuah gapura berlogo Pemerintah Kota Medan dan bertulisan nama objek wisata tersebut.

Menurut Jemari, salah seorang pegawai senior yang juga merangkap sebagai pawang buaya, taman buaya seluas 2 hektare itu dibangun warga setempat bernama Lo Kie Yoe alias Lo Than Muk pada 1959.

Pria kelahiran Aceh Timur, 11 Maret 1928, itu memang hobi memelihara binatang, terutama buaya. Than Muk mengawali hobinya dengan memelihara 12 ekor buaya yang didapat dari sungai dan rawa-rawa di sekitar Kota Medan. Saat itu populasi buaya masih banyak dan belum berstatus dilindungi. Medan pun belum dipadati penduduk dan bangunan.

Pada 1984, Lo Than Muk terpilih sebagai seorang Perintis Lingkungan Terbaik Tingkat Sumatera Utara. Di tahun yang sama, Than Muk menerima rombongan turis kapal pesiar Columbus yang mendarat di Pelabuhan Belawan. Saat itu pula kantor wilayah pariwisata Kota Medan meminta Than Muk membuka peternakan buayanya menjadi objek wisata.

Jemari bekerja di sana mulai 1990 setelah cukup lama bekerja sebagai pendodos atau pemanen kepala sawit di Sumatera Selatan. Awalnya, pria berusia 50 tahun ini sangat takut terhadap buaya tapi lama-lama jadi terbiasa berkat diajari Lo Than Muk. Sang juragan meninggal pada 25 September 2008 dalam usia 80 tahun. Usaha taman buaya kemudian diteruskan oleh istrinya, Lim Hui Chu.

Saking banyaknya, Jemari dan sang pemilik taman buaya pun sudah tak ingat lagi berapa persisnya jumlah buaya yang dipelihara. Seingat Jemari, hingga kini ada antara 2.600 sampai 2.800 ekor buaya yang dipelihara dan kebanyakan jenis buaya muara. 

Buaya-buaya ditempatkan dalam 78 bak bersemen. Mayoritas bak ukuran kecil dan sedang yang diisi buaya-buaya berusia kurang dari 10 tahun. Tiap bak memang berisi buaya dengan umur berbeda. Saya sempat mencatat, bak-bak berukuran besar dihuni buaya berusia 10, 11, 12, 15, 16, 28, dan 46 tahun.

Khusus buaya berumur 28 dan 46 tahun ditempatkan masing-masing sendirian di bak. Ada seekor buaya berusia 28 tahun yang ekornya buntung, makanya disebut buaya buntung.  

“Kalau bayi-bayi buaya ditempatkan di bak-bak kecil. Mereka harus dijemur tiap hari supaya enggak gampang kena penyakit. Kalau yang sudah besar-besar, cukup dibersihkan saja baknya tiap hari,” kata Jemari, pria kelahiran Kutoharjo, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, pada 1969.

Selain di bak, banyak buaya berusia lebih dari 20 tahun yang menghuni telaga buatan seluas satu hektare dan sedalam tiga meter. Telaga ini dikelilingi tembok tebal setinggi 4 meter. Antara area pengunjung dan telaga disekat pagar tembok semeter dan berteralis besi panjang.

Buaya jantan dewasa memiliki panjang rata-rata antara tiga sampai 5 meter. Sedangkan buaya betina dewasa berukuran rerata 2,5 sampai 3 meter. Di dalam telaga hijau itu pula diperkirakan ada buaya yang berumur 60-an tahun. Dulu pernah ada buaya berusia 78 tahun.

Seluruh permukaan telaga berwarna hijau berkat ditumbuhi paku air (Azolla microphylla). Tanaman air yang mengandung protein tinggi dan banyak dimanfaatkan untuk budidaya perikanan ini menyamarkan kemunculan buaya yang sepintas tampak seperti batang kayu mengapung.

Permukaan air baru mengombak saat buaya-buaya diberi makan. Pemberian makanan dilakukan tiap dua-tiga hari sekali dengan total pakan sebanyak 300 kilogram. Pakannya berupa potongan daging maupun kepala ayam dan bebek. Dulu, pengelola biasa mendapatkan ayam dan bebek mati gratis di pasar-pasar terdekat maupun peternakan unggas di sekitar taman buaya. Potongan kepala ayam dan bebek pun biasa didapatkan dengan mudah.

Tapi, sekarang, pengelola harus membelinya dalam kisaran harga Rp 500 sampai Rp 1.000 per kilogram. Untungnya, selera makan buaya tidak merepotkan. Mereka bisa makan apa saja binatang yang mereka temukan, seperti tikus, ular, mamalia kecil, burung, dan ikan. Mereka juga gampang udang dan kepiting, bahkan bangkai.

Jemari mengatakan, buaya sejatinya reptil yang jarang makan dan mereka jago menghemat energi. Buaya umumnya makan besar 50 kali dalam setahun. Di hari-hari biasa mereka makan sekadarnya atau bahkan tidak makan. Energi dari makanan disimpan buaya untuk digunakan bila mereka tidak mendapatkan makanan. 

Buaya tidak menggunakan energi untuk menghangatkan tubuh. Mereka suka berjemur di bawah sinar matahari untuk menghangatkan tubuh. Jika mereka kepanasan, maka mereka berdiam diri sambil membuka mulutnya.

“Kalau buaya yang besar-besar makannya gampang. Mereka mau makan apa saja, termasuk tanaman hijau itu (paku air). Kalau anakan buaya makannya harus daging yang sudah dibersikan dan halus,” kata Jemari. 

Tentu saja semua butuh biaya. Sebagian besar pemasukan digunakan untuk membeli pakan dan biaya pemeliharaan. Jemari tak tahu berapa jumlah subsidi dari Pemerintah Kota Medan. Subsidi diberikan karena Taman Buaya Asam Kumbang ditetapkan sebagai salah satu cagar budaya sekaligus destinasi wisata andalan Kota Medan.

Kata Jemari, tempatnya bekerja masih dikelola secara sederhana seperti dulu. Alih-alih memiliki homepage sendiri, pemilik juga tidak mengandalkan media sosial untuk promosi. Untungnya, Taman Buaya Asam Kumbang sudah lebih dulu terkenal lewat pemberitaan media massa sebelum media sosial hadir, ditambah promosi dari mulut ke mulut atau gethok tular.

Selama ini pembiayaan operasional Taman Buaya Asam Kumbang lebih banyak mengandalkan pemasukan dari penjualan tiket masuk dan usaha lain di dalam taman buaya. Namun, jumlah pengunjung tidak lagi sebanyak dulu. Dulu, pengunjung datang dari banyak daerah, termasuk wisatawan mancanegara yang didominasi dari Singapura dan Malaysia. Jemari merasakan penurunan jumlah pengunjung sejak terjadi tragedi Mei 1998. 

Di masa jayanya, saat pakan gratis didapatkan dengan gampang dan wisatawan bejibun, harga tiket masuk sangat murah. Jemari ingat pemilik taman buaya pernah mematok tiket masuk Rp 1.000, Rp 2.000, Rp 3.000, Rp 5 ribu, dan Rp 6 ribu. Baru dalam lima tahun terakhir harga tiket dipatok Rp 8 ribu dan sekarang Rp 10 ribu per orang.

Tiket masuk Rp 10 ribu sudah termasuk sangat murah seperti diakui Suherman dan beberapa pengunjung lainnya. Dengan tiket sebesar itu, semua pengunjung bebas berlama-lama sepanjang jam operasional taman buaya, yakni mulai pukul 9 pagi sampai 18.00 WIB.

Tentu sulit betah lama-lama di sana karena tidak banyak fasilitas yang memanjakan pengunjung kecuali untuk anak-anak. Mereka masih bisa bermain ayunan, perosotan, dan jungkat-jungkit. Seluruh pengunjung bisa bersantai di warung dalam taman buaya. Disediakan pula musala bagi kaum muslim yang ingin melaksanakan salat.

Secara keseluruhan, kegiatan yang dilakukan pengunjung memang memandangi buaya di dalam bak-bak setinggi semeter yang diberi tambahan pagar kawat setinggi setengah meter. Anak-anak bertubuh lebih dari semeter bisa langsung melihat buaya dari sela-sela kawat. Orangtua maupun orang dewasa harus menggendong anak-anak usia di bawah 5 tahun maupun yang tingginya kurang dari semeter jika mereka ingin melihat para buaya.

Sedangkan buaya-buaya besar di dalam telaga bisa bebas dilihat oleh seluruh pengunjung dari balik teralis besi. 

Seluruh pengunjung dilarang menjulurkan tangan ke atas bak karena bisa saja disambar buaya. Pengunjung dilarang melemparkan makanan ke dalam bak karena bisa membuat buaya menjadi agresif. Lemparan apa pun ke dalam bak bisa direspons buaya sebagai ancaman.

Para pengunjung hanya boleh memberi makanan dengan seizin Jemari dan dua juru pelihara lainnya. Caranya, pengunjung harus membeli dulu seekor bebek yang disediakan pengelola. Per ekor Rp 35 ribu. Kenapa bebek dan bukan ayam?

“Bebek kan bisa berenang sehingga jadi atraksi sangat menarik saat bebeknya dikejar-kejar buaya. Sedangkan ayam enggak bisa berenang. Begitu dilempar ke kolam bisa langsung tenggelam atau langsung dimakan buaya sehingga atraksinya enggak seru,” jawab Jemari.

Dengan fasilitas yang terbatas, atraksi melemparkan bebek ke telaga merupakan salah satu atraksi paling disukai pengunjung. Pembelian bebek oleh pengunjung hanya dilayani pengelola tiap pukul 5 sore atau 1 jam sebelum taman buaya tutup.

Atraksi lainnya adalah berfoto dengan buaya dan ular. Pengelola memang memelihara ular piton di kandang terpisah, tapi kebanyakan pengunjung lebih suka berfoto bersama anakan buaya. Satu orang pengunjung dikenai Rp 5 ribu untuk satu pemotretan. Pawang hanya mengamati dan mengarahkan pengunjung yang ingin berpose dengan buaya. Mulut buaya sudah dilakban biar aman.

Demi keamanan pengunjung pula, maka semua kegiatan pengunjung mulai dari halaman parkir sampai ke area utama utama dipantau pengelola lewat enam kamera pengawas atau CCTV. Saat sepi pengunjung, kamera pengawas tetap diaktifkan untuk memantau kondisi buaya, terutama buaya-buaya besar di telaga hijau. ABDI PURMONO



CATATAN:

Tulisan panjang ini diedit redaksi dan menjadi tiga tulisan yang lalu dipublikasikan di laman Tempo.co:




Share this :

Previous
Next Post »