Jurnalis Harusnya Jadi Juru Damai Sepak Bola

Selasa, Oktober 02, 2018
Pemain dan ofisial timnas Indonesia melakukan selebrasi setelah memenangi laga final Piala AFF U-16 di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur, Sabtu, 11 Agustus 2018. ANTARA.


KAWAN dan sedulur sekalian…

Kita sering menyamakan begitu saja pengertian pekerjaan dengan profesi.
Padahal ada kualifikasi yang harus dipenuhi agar suatu bidang pekerjaan bisa dikategorikan sebagai profesi dan pelakunya disebut profesional, yakni pendidikan, keterampilan khusus, standar kompetensi, organisasi, dan kode etik.

Tukang ojek itu pekerjaan, pilot itu profesi: semua orang bisa mengendarai sepeda motor, tapi enggak semua orang bisa jadi pilot. Tukang pijat itu pekerjaan, dokter itu profesi: semua orang bisa jadi tukang pijat dan memijat, tapi enggak semua orang bisa dan berhak menyuntik pasien. Tukang parkir sepeda motor itu pekerjaan, tukang parkir pesawat itu profesi. Begitulah kira-kira gambarannya.

Bahkan, dalam konteks pekerjaan wartawan, bila kode etik saja dianggap tidak cukup, bisa ditambahkan kode perilaku. Kode etik bersifat lebih umum, kode perilaku lebih bersifat operasional.

Dalam kasus cuitan Oryza Ardiansyah, sejatinya ia harus bijak bermedia sosial walau media sosial itu wilayah privat. Dalam konteks jurnalisme damai, cuitan Oryza tentu bisa—bukan berarti pasti atau mutlak—dianggap ingin merawat rivalitas purba antarsuporter. Padahal, mungkin maksudnya ingin mengkritisi penegakan regulasi pertandingan.

Namun, dalam momentum upaya perdamaian di kalangan kelompok suporter, bejibunnya penonton hingga di pinggir lapangan masih bisa dimaklumi karena laga Arema FC versus Madura United merupakan pertandingan persahabatan atau laga amal. Masih bisa dimaklumilah.

Diskresi bolehlah berlaku, toh rasa-rasanya enggak bakalan pertandingan berlangsung ricuh. Paling-paling banyak penonton yang menjadi tidak nyaman karena berjubelnya penonton di tepi lapangan. Tentu saja hal seperti itu haram terjadi bila pertandingan tersebut merupakan laga resmi Liga.

Cuitan Oryza juga bisa saja dikesankan—namanya juga kesan bukanlah hal yang mutlak pasti—sebagai opini yang menghakimi, memberikan stigma, atau ingin menyudutkan pihak tertentu. Di sini berlaku wilayah tafsir terhadap pilihan kata (diksi) dan kalimat, serta gambar yang ditampilkan.

Apa yang dilakukan Oryza juga berlaku umum di kalangan wartawan olahraga, khususnya para pewarta sepak bola. Boleh sajalah wartawan menjadi suporter sebuah klub, tapi kepatuhan terhadap kode etik sejatinya harus dinomorsatukan.

Begitu si wartawan mengerjakan sebuah laporan hasil pertandingan, saat itu juga ia bukan lagi seorang suporter. Ia seorang wartawan yang diikat dengan kode etik—di organisasi wartawan tertentu malah berlaku kode etik dan kode perilaku—yang harus menjaga sikap independen, membuat berita yang akurat, berimbang atau cover both side, tidak beriktikad buruk untuk merugikan pihak lain, tidak mencampurkan fakta dan opini, dan hal-hal lain yang diatur dalam Kode Etik Jurnalistik.

Lantaran pekerjaan wartawan merupakan profesi yang menuntut pemenuhan sejumlah kualifikasi seperti kusebutkan di atas, maka kawan-kawan yang biasa mengurus halaman penggemar atau fanpage maupun pengelola media sosial fansbase sesungguhnya tidak patut dianggap sebagai seorang jurnalis sebagaimana yang dimaksud dalam UU Pers.

Ia lebih layak sebagai pengelola media sosial, atau minimal disebut sebagai jurnalis warga. Tentu beda regulasi dan aturan mainnya, termasuk sanksi hukum bila terjadi pelanggaran pemberitaan. Lain soal bila kemudian para pengelola halaman suporter itu bertransformasi membentuk badan hukum perusahaan pers dan berusaha memenuhi seluruh kualifikasi itu.

Nah, kembali ke soal upaya perdamaian antarsuporter. Wartawan tentu diwajibkan dan mempunyai kesadaran etis untuk mendorong terjadinya perdamaian permanen di kalangan suporter. Kalau pengelola halaman komunitas suporter enggak mutlak ada kewajiban serupa. Paling banter hanya diharapkan kesadarannya saja.

Jurnalis harus mau dan mampu jadi wasit yang berdiri di tengah, bukan memihak kubu sebelah. Jurnalis harus mau dan mampu menjadi suluh penerang, bukan penyulut perang. Jurnalis harus mau dan mampu menjadi juru damai, bukan juru tikai.

Wartawan sejak lama menjadi profesi terbuka, tapi percayalah bahwa jadi jurnalis itu sungguh enggak gampang tapi sekaligus sangat asyik bila kalau benar-benar dihayati dan ditekuni.


CATATAN TAMBAHAN:

1. Tulisan ini sebenarnya saya buat untuk menanggapi obrolan di grup WhatsApp Playgroup Olga yang dihuni para wartawan olahraga, khususnya pewarta sepakbola. Tema yang diobrolkan tentang cuitan Oryza Ardyansyah Wirawan, wartawan yang menekuni peliputan sepak bola di media siber Berita Jatim, melalui akun Twitter pribadinya, yakni @oryza_wirawan. 

2. Cuitan Bung Oryza sebenarnya biasa-biasa saja, tapi jadi enggak biasa lantaran Oryza mencuit begitu di saat banyak pihak seperti pengelola klub dan komunitas suporter sedang berupaya mewujudkan perdamaian agar iklim sepak bola Indonesia menjadi lebih beradab dan maju.

Seperti sudah diketahui secara luas lewat pemberitaan media massa dan media sosial, sepak bola Indonesia dianggap banyak pihak sedang dalam situasi gawat darurat karena berjatuhannya korban jiwa. Terakhir Haringga Sirla, suporter klub Persija Jakarta tewas akibat pengeroyokan suporter Persib Bandung, Minggu, 23 September lalu. Akibat kematian Haringga, PSSI memutuskan menghentikan sementara Go-Jek Liga 1 sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

Cuitan Bung Oryza juga sebenarnya biasa-biasa saja sebagai tulisan di media sosial apabila dibandingkan dengan judul berita utama atau headline dua koran lokal di Malang yang vulgar dan dan provokatif terkait rencana pertandingan antara klub Arema FC melawan Persebaya Surabaya, maupun saat terjadi bentrokan antarsuporter kedua klub. Kalau di media sosial orang lebih bebas berpendapat, tidak demikian halnya di media massa karena ada kode etik yang harus ditaati wartawan.  

Namun sebagai jurnalis yang berpikiran terbuka, Bung Oryza sebaiknya lebih sensitif dan bijak menuliskan pesan di media. Ada konteks sosial dan momentum yang harusnya diperhatikan supaya proses perdamaian di jagat sepak bola nasional bisa lebih cepat terwujud.

3. Tulisan saya di grup WhatsApp sejatinya tidak ditujukan secara khusus kepada Bung Oryza, melainkan juga bagi semua wartawan yang jadi anggota grup Playgroup Olga dan wartawan lain di luar grup. Tulisan Bung Oryza saya jadikan pintu masuk tulisan yang saya sesuaikan dengan konteks dan momentum yang saya maksudkan di atas.

4. Silakan bersaing, tapi cukup saat pertandingan berlangsung di dalam stadion. Rivalitas bukan alasan untuk bertindak rasis dan bahkan sampai melukai dan membunuh. Di luar stadion tetaplah rukun. Jangan sampai jadi suporter barbar. 

Suporter yang beradab turut mempengaruhi kemajuan dan prestasi persepakbolaan Indonesia seperti yang pernah diraih Tim Nasional U19 dan Tim Nasional U16 yang masing-masing jadi juara Piala AFF 2013 dan Piala AFF 2018. ***




Share this :

Previous
Next Post »