Becermin pada Ulama Salaf

Kamis, Februari 16, 2017
Majalah PANJI MASYARAKAT Nomor 25 Tahun III, 6 Oktober 1999

Lokasi pembangunan Masjid Salafy di Jalan Panglima Denai (sekarang Jalan Rivai A. Manaf Nasution), Kelurahan Denai, Kecamatan Medan Denai, Kota Medan, Sumatera Utara. (Foto: ABDI PURMONO)

Dakwah Salafi: Gerakan ini ingin menghidupkan kembali ajaran salafi dengan segala atributnya. Satu gerakan pemurnian yang sangat ketat, mirip dengan wahabi.

SEKITAR seribuan orang bergamis berkumpul di lapangan Masjid Salafi, Medan, Ahad pekan lalu. Mereka datang dari Medan, Pematang Siantar, Asahan, Langkat, dan Langsa (Aceh Timur). Dengan khusyuk mereka bertadarus sambil menggelar pengajian bertajuk “Dakwah Salaf, Dakwahnya Para Ulama Ahli Hadis.”

Pemandangan seperti itu kini ramai muncul di Medan menandai semangat jamaah dakwah salafi, yang ingin kembali menghidupkan ajaran-ajaran ulama salaf atau ulama terdahulu. Ini dilakukan karena ajaran-ajaran ulama salaf banyak ditinggalkan.

“Umat nyaris tak lagi mengendal akidah salaf. Misalnya, kini sukar kita jumpai pria berpakaian gamis dan kaum wanita memakai hijab. Jamaah salaf selalu salat lima waktu berjamaah di masjid, kecuali ada uzur,” papar Jamaluddin Al-Batahany, pembina jamaah Dakwah Salafi.

Ustaz Ja’far Umar Thalib, direktur Pondok Pesantren Ihya’us Sunnah, Yogyakarta, juga melihat manhaj salaf telah lama terkubur karena berbagai penyelewengan kaum yang melampaui batas syariat, seperti kaum Khawarij, Syiah, dan Muktazilah. Akibatnya, terjadi perpecahan di kalangan umat Islam. “Karena itu, manhaj Salafi harus dihidupkan kembali,” katanya seraya menjelaskan dia sudah keliling ke Singapura, Malaysia, dan Indonesia untuk mendakwahkan hal serupa.

Untuk menghidupkan kembali ajaran-ajaran salaf itu, Ja’far—mengutip Ibnu Taimiah—menekankan agar umat Islam benar-benar mengenal dan mengamalkan ajaran Islam dengan merujuk Al-Quran dan hadis serta meninggalkan pendapat ulama mazhab yang tidak berdasar dan segala bid’ah. Umat Islam juga harus banyak belajar dari kitab-kitab salaf dan ulama-ulama salaf.

Dalam prakteknya, jamaah dakwah salaf membahas sejumlah kitab ulama salaf dengan metode pengajian tradisional. Misalnya Majmu’ Fatawa karya Ibnu Taimiha; Zadul Ma’ad karya Ibnu Katsir; Syarhus Sunnah karya Al-Barbahary; Al-Ajwibah Mufidah karya Shalih Fauzan; Ta’zhimus Sunnah karya Syekh Shalih Suhaimy; kitab Aqidah Salaf Ashhabul Hadits karya Abu Ismail Ash-Shabuny, dan lain-lain.

Ada juga pengajian setiap hari. Khusus malam Jumat dan Sabtu, peserta pengajian umum yang digelar setiap malam Ahad di Masjid Al-Muhajirin di Pulobrayan rata-rata diikuti seratusan orang. Di luar ini, hanya 20-an orang saja yang ikut, terdiri atas remaja dan orang dewasa. Sementara pengajian khusus ibu-ibu (ummahat) dan remaja putri (akhwat) diadakan setiap Ahad pagi di rumah salah seorang jamaah.

Yang menarik, dakwah salafi rupanya mulai masuk ke perguruan tinggi. Rio Bravo, mahasiswa Politeknik Elektro Universitas Sumatera Utara, mengaku diajak temannya mengikuti pengajian tersebut. “Mulanya saya tak peduli. Tapi saat saya memulainya, saya mendapatkan ‘sesuatu yang selama ini asing bagi saya’. Saya putuskan untuk bergabung dan sekarang sudah hampir setahun,” katanya.

Kegiatan dakwah salafi sendiri di Indonesia, menurut Jamaluddin, sudah ada semasa Perang Paderi di Sumatera Barat, yang dipelopori sejumlah ulama Minangkabau seperti Haji Sumanik, Haji Miskin, dan Haji Piabang, disusul kemudian Haji Nan Renceh. Namun kegiatan itu oleh Belanda dirintangi dengan cara mengadu domba masyarakat sehingga muncul dikotomi Kaum Tua dan Kaum Muda.

Sifat dakwah salafi mencakup berbagai bidang kehidupan (akidah, ibadah, muamalah). Menurut Jamaluddin, doktrin salafi yang menonjol antara lain: pintu ijtihad terbuka sepanjang masa; taklid tanpa mengetahui sumbernya diharamkan; perlu kehati-hatian dalam berijtihad dan berfatwa; perdebatan teologis dihindarkan; ayat Al-Quran dan hadis yang mutasyabihat (tidak jelas menunjuk pada satu arti) diartikan dengan cara tafwidh (menyerahkan) kepada yang ahli, bukan ditafsirkan dan ditakwilkan.

Adapun para ulama salaf yang dijadikan panutan oleh dakwah salafi ini antara lain Ibnu Taimiah, Ibnu Qayyim Al-Jauziah dan Muhammad ibn Abdul Wahab, Jamaluddin Al-Afgani, Syekh Muhammad Abduh, dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha, serta Sayid Ahmad Khan. Sedangkan tokoh sekaligus ulama salaf sekarang adalah Syekh Al-Bani (Yordania), Syekh ibn Baz dan Syekh Husaimin (Arab Saudi), dan Syekh Muqbil ibn Hadi Al-Wadi’i (Yaman), guru Ja’far Umar Thalib.

Di Indonesia, menurut Jamaluddin, memang belum ada ulama Salafi. Namun, untunglah ada tokoh-tokoh seperti Ja’far Umar Thalib, Muhammad Umar Sewed, dan sejumlah alumnus Jami’ah Islamiyah Al-Madinah. “Insya Allah, pendidikan tadribud du’at (pendidikan kader) yang kini digiatkan akan menghasilkan tokoh-tokoh salafi yang baru,” katanya. NASRULLAH ALI-FAUZI, ABDI PURMONO (MEDAN)

Share this :

Previous
Next Post »