Oase Ramadan di Hamamatsu

Minggu, Agustus 19, 2012

Acara berbuka puasa bersama di Masjid Mohammadi, Kota Hammatsu, Jepang, 8 Oktober 2006. (Foto-foto: ABDI PURMONO)

Bulan Ramadan baru saja berlalu dan kini hari pertama Lebaran 2012 atau Idul Fitri 1 Syawal 1433 Hijriah. Ini catatan lama tentang kegiatan Ramadan di Kota Hamamatsu, Prefektur Shizuoka, Jepang bagian tengah (Pulau Honshu), pada Minggu, 8 Oktober 2006, dan dimuat di
Koran Tempo sekitar sepekan kemudian.


FITRI membereskan dapur. Perempuan berumur 36 tahun ini lalu mengemas sambal goreng kentang, bihun goreng, dan rempeyek bikinannya ke dalam tiga kotak plastik. Sepanci nasi disertakan pula. 

Pada pukul 14.00 JST (Japan Standard Time) atau pukul 12.00 WIB, perempuan asal Banyuwangi, Jawa Timur, itu berangkat dari rumahnya di Iwata menuju Hamamatsu, dua kota industri ini ada di Prefektur Shizuoka, Jepang. Prefektur sederajat dengan provinsi.


Gedung Act City, penanda kota Hamamatsu.


Fitri berangkat bersama Abdurahman Kataoka, sang suami yang berkebangsaan Jepang, dan Nia, putri tunggal mereka. Mereka mencapai Masjid Mohammadi dengan mengendarai mobil selama 40 menit.

Pada Minggu, 8 Oktober 2006, di masjid yang berlokasi di Distrik Terawaki, pinggiran Hamamatsu, itu sedang berlangsung tablig akbar. Acara ini diselenggarakan Keluarga Muslim Indonesia Hamamatsu (KMIH), bekerja sama dengan komunitas muslim Pakistan.

Fitri dan Nia bergabung dengan sekitar 30 perempuan yang menempati sebuah ruangan di lantai satu. Ada belasan bocah bersama mereka. Sedangkan Kataoka-san naik ke lantai dua, tempat sekitar 65 pria sedang khusuk menyimak ceramah agama yang disampaikan seorang imam keturunan Pakistan dari Inggris.

Ceramah dalam bahasa Inggris itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Heru Susetyo, advokat dari Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta. Heru sendiri kemudian menjadi penceramah kedua sampai berbuka puasa (iftar) tiba pada pukul 17.27 JST sekaligus ditandai dengan kumandang azan magrib.

Jamaah pria turun ke lantai satu. Mereka duduk rapi memanjang di atas karpet biru dan saling berhadapan seturut bentangan kain putih panjang di tengah mereka. Jamaah perempuan tetap berada di ruangan terpisah di lantai satu. Acara berbuka puasa bersama ini dimulai dengan meneguk sari buah, kopi, teh manis, dan teh susu, plus menikmati lumpia, puding dan agar-agar, serta bubur Pakistan. 

Acara berbuka puasa dilanjutkan dengan salat magrib berjamaah.


Makan malam dilakukan selepas salat magrib. Karena tempatnya sempit, para pria bergantian menikmati hidangan. Makanan buatan Fitri disajikan di atas beberapa baki bulat (tampah) besar bersama makanan buatan jamaah lainnya. Ada urap, opor ayam, bakwan, kolak pisang, nasi pela dan roti cepeti khas Pakistan. Setiap makanan di atas tampah disantap 5-6 pria.

Usai makan malam, acara dilanjutkan dengan salat isya dan tarawih. Jamaah sempat pula menyaksikan ritual pengucapan syahadat oleh seorang pria Jepang yang masuk Islam.

Kaum muslim di Hamamatsu dan sekitarnya sungguh beruntung. Mereka tidak lagi pusing mencari tempat beribadah yang layak dan permanen. Sebelumnya, sebagai contoh, sekitar 12 majelis taklim terpaksa harus berpindah-pindah tempat untuk mengadakan pengajian.


Masjid Mohammadi 
"Dulu, kita berpindah-pindah tempat; dari apato ke apato, dan sesekali bertemu di tempat yang lebih luas," ujar Doktor Ratno Nuryadi, salah seorang pentolan KMIH yang sudah 13 tahun bermukim di Jepang. Apato adalah lafal Jepang untuk menyebut apartemen.

Idealnya, menurut pria asal Yogyakarta itu, masjid menjadi pusat kegiatan ibadah bagi seluruh muslim di Hamamatsu dan sekitarnya. Namun, ketatnya jadwal dan beratnya beban kerja membuat banyak muslim di Hamamatsu tak sempat beribadah rutin di Masjid Mohammadi.

Kebanyakan muslim Indonesia yang biasa mendatangi masjid itu adalah peserta magang kerja (kenshusei). Mereka membaur dengan muslim dari negara lain, terutama Pakistan dan Malaysia. Beberapa muslim yang warga Jepang asli juga rajin ke masjid. Baru tiga tahun belakangan komunitas muslim Hamamatsu membentuk Hamamatsu Mosque Project (HMP) untuk mempersiapkan pembangunan sebuah masjid.

Bambang Harianto, salah seorang anggota komite HMP menambahkan, penggalangan dana yang dilakukan HMP menghasilkan 26 juta yen atau sekitar Rp 2,08 miliar. Uang ini dipakai untuk membeli tanah beserta bangunan bekas pub dan karaoke milik orang Filipina. Luas tanah 100 tsubo atau sekitar 333 meter persegi. Luas bangunan 70 tsubo atau sekitar 232 meter persegi. Sumber dana terbesar berasal dari komunitas muslim Pakistan.

Bangunan itu diubah fungsinya menjadi Masjid Mohammadi. Inilah masjid pertama di kota seluas 1.511 kilometer persegi itu. Penggunaanya diresmikan pada Jumat, 22 September, lalu. Islamic Center Hamamatsu dipusatkan di masjid itu pula.

Berdirinya Masjid Mohammadi menambah jumlah masjid di Jepang menjadi lebih dari 16 buah, ditambah sekitar 16 musala.

Masjid itu terus direnovasi. Dana renovasinya 22 juta yen atau sekitar Rp 1,76 miliar. Saat ini HMP masih membutuhkan 5-7 juta yen atau sekitar Rp 400 juta sampai Rp 560 juta untuk menambal kekurangan dana renovasi. 

Ayo, siapa yang mau membantu? ABDI PURMONO

Share this :

Previous
Next Post »