Nuansa Ramadan di Nagoya dan Toyohashi

Minggu, Agustus 19, 2012
Suasana lalu lintas di Kota Toyohashi, Prefektur Aichi, Jepang, 17 Januari 2006. (Foto-foto: ABDI PURMONO)


Bulan Ramadan baru saja berlalu dan kini hari pertama Lebaran 2012 atau Idul Fitri 1 Syawal 1433 Hijriah. Ini catatan lama tentang kegiatan Ramadan di Nagoya, Ibu Kota Prefektur Aichi (Aichi-ken), pada Minggu, 15 Oktober 2006, atau sepekan dari "safari Ramadan" di Kota Hamamatsu, Prefektur Shizuoka.


BERBUKA puasa bersama di lantai empat Masjid Nagoya membuat Wawan Wahyudi girang sekaligus merindukan suasana Ramadan di Tebing Tinggi, Sumatera Utara.

“Dua kali bulan puasa yang saya jalani di Jepang. Walau jamaahnya dari macam-macam negara, ikut berbuka puasa seperti ini saya jadi ingat dan rindu suasana Ramadan di kampung,” ujar lajang 26 tahun ini kepada saya.

Wawan seorang pekerja magang (kenshusei) di sebuah perusahaan pembuat sukucadang mobil di Nagoya, ibu kota Prefektur Aichi, Jepang.

Sebelum berbuka, Wawan dan 28 kenshusei lainnya yang berhimpun dalam Ukhuwah Muslim Indonesia Nagoya (UMIN) lebih dulu khusyuk menyimak pengajian yang dipandu Edi Suharyadi, dosen fisika Universitas Gadja Mada yang sedang menempuh jenjang post-doctoral di Universitas Nagoya, yang juga aktivis Keluarga Muslim Indonesia Nagoya.

Sehabis pengajian, mereka lalu bergabung dengan sekitar 40 pria muslim berkebangsaan Uganda, Pakistan, Banglades, Turki, Senegal, Srilanka, Filipina, Malaysia, dan Jepang. Mereka buka puasa dengan air mineral, kurma, pisang, jeruk, dan kaki atau buah kesemek

Kegiatan selanjutnya salat magrib yang diimami orang Uganda, makan malam dengan menu Turki, dakwah 30 menit dalam bahasa Inggris oleh ustad Pakistan, salat isya, dan tarawih. Azan dikumandangkan seorang pemuda muslim Jepang. Jamaah perempuan mengikuti serangkaian kegiatan itu di lantai dua.

Menurut Anto Satriyo Nugroho, peneliti di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang saat ini menjadi visiting professor di Universitas Chukyo, komunitas muslim di Nagoya, khususnya yang WNI, semula berpindah-pindah tempat untuk bisa beribadah.

“Waktu itu belum ada masjid. Kami pernah menyewa apato (apartemen) di belakang kampus untuk salat Jumat dan lain-lain. Baru tahun 1998 ada masjid. Tapi untuk salat Idul Fitri, biasanya dilakukan di kawasan Kanayama dan Nagoya-Port,” kata pria Solo yang tinggal di Jepang lebih dari 15 tahun ini.


Parkir sepeda di satu distrik di Nagoya, 15 Oktober 2006.
Anto, Edi, dan Wawan bertekad memakmurkan masjid yang terletak di kawasan Honjin, Distrik Nakamura, itu semampunya. Tekad serupa dinyatakan M. Ismail Yusuf alias Ustad Mael, warga Pontianak, Kalimantan Barat, yang sedang menempuh jenjang post-doctoral di Universitas Teknologi Toyohashi—masih di Prefektur Aichi, sekitar satu jam dengan kereta api dari Nagoya.

Walau kegiatan selama Ramadan tidak “semakmur” di Nagoya, Ustad Mael tetap bersemangat menggelar pengajian, buka puasa, dan salat berjamaah dengan menyulap ruangan olah raga tenis meja di pojok wisma internasional (kokusai koryu kaikan) menjadi musala sementara. Ia bekerja sama dengan 40-an mahasiswa muslim dari Indonesia, Mesir, Uzbekistan, Pakistan, dan Malaysia.

Ustad Mael menambahkan, kegiatan keislaman di kampus itu sudah berlangsung sejak sekitar 10 tahun silam. Perintisnya seorang profesor muslim asal India yang kini mengajar di salah satu perguruan tinggi bergengsi di Amerika Serikat.

Goresan gambar masjid terpampang di sebuah white board dalam musala itu. Ustad Mael dan umat Islam lainnya memang bercita-cita membangun sebuah masjid di Toyohashi. Modal duit mulai dikumpulkan. Komunitas muslim Pakistan sudah bersedia menyumbang 5 juta yen atau sekitar dengan Rp 400 juta asal lokasi yang pasti sudah didapat.

Ustad Mael dan mahasiswa muslim lainnya sudah cukup puas bisa merayakan Ramadan dan menyambut Lebaran di Toyohashi, meski harus beribadah di musalah yang sempit. Musim gugur bulan Oktober ini tidak ikut menggugurkan semangat mereka untuk lebih mengintimkan diri pada Dia. ABDI PURMONO 


Share this :

Previous
Next Post »