Impian Amerika

Kamis, Februari 25, 2010

Tanggal 22 Februari lalu menjadi tahun kelima wafatnya budayawan Kuntowijoyo. Catatan ini kubuat tujuh tahun sebelum ia meninggal pada 22 Februari 2005, tepatnya dimuat di rubrik Budaya harian Waspada, Medan, Minggu, 4 Oktober 1998.

TIDAK MUDAH menjadi pengarang walau ada yang bilang mengarang itu gampang. Tetapi, dalam esensinya, setiap orang mempunyai modal dasar menjadi pengarang karena manusia adalah homo narrans, makhluk penutur cerita—pengarang dalam tulisan ini sama dengan produsen karya sastra, bukan tukang gosip.

Seorang pengarang selalu terlibat dan bersentuhan dengan berbagai kaidah dan aktivitas sosial yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Setiap aktivitas yang dilibati maupun yang disaksikan pengarang akan menumbuhkan serbaneka pengalaman bagi dirinya, yang beberapa di antaranya tentu ada yang (lumayan) menarik untuk diekspresikan dan direfleksikan menjadi sebuah karya sastra.

“Selain sebagai pengalaman individual, sastra juga merupakan hasil pengalaman sosial pengarang. Kalau saja sastra itu tidak mengekspresikan masyarakatnya, maka sastra itu mereflesikan masyarakatnya,” kata Abdul Hadi W.M., doktor ilmu sastra, seperti dikutip Satyagraha Hoerip dalam prolog makalahnya untuk acara Temu Sastra 1982 di Jakarta.

Agaknya, dalam frame pemikiran demikian novel Impian Amerika (The American Dream atau The American Myth) lebih enak didekati. Apalagi novel ini bak diary Kuntowijoyo sewaktu mengikuti program doktoral di Universitas Columbia, Amerika Serikat, di ujung 1970-an sampai 1980. Mungkin.

Impian Amerika dimuat pertama kali di harian Republika, dari 20 Agustus sampai 30 Oktober 1996 (5 Rabiul Akhir-30 Jumadil Awal 1417 Hijriah). Sengaja saya mengkliping novel ini dari awal sampai tamat. Tepatnya sejak bagian kesatu hingga ke-55. Novel ini diterbitkan berbentuk buku pada Maret 1998 atas kerja sama Pustaka Republika dan Penerbit Bentang, Yogyakarta; setebal 272 (viii + 264) halaman.

Sebagaimana diketahui, Amerika sudah lama dikenal sebagai tempat pembauran etnis terhitung sejak imigran asal Inggris mendirikan koloni pertama di Jamestown, Virginia, pada 1607 sampai pada periode puncak 1880-1920. Puluhan juta pendatang (kebanyakan dari Eropa selatan dan timur) memasuki Amerika.

Dengan luas 9.372.614 kilometer persegi yang mencakup 50 negara bagian (Alaska dan Hawaii menjadi negara bagian ke-49 dan ke-50 pada 25 April 1959), Amerika bakal terus kedatangan imigran, termasuk dari Indonesia, kayak yang dikisahkan Kuntowijoyo dalam novelnya itu.

Impian Amerika mengisahkan sejumlah harapan para imigran di Amerika: kebebasan, mobilitas ekonomi (melarat jadi konglomerat), mobilitas sosial (jongos jadi bos), dan mobilitas budaya (keterbelakangan jadi kemajuan). Namun yang tersisa barangkali cuma kebebasan, termasuk kebebasan untuk berengsek, kafir, dan mati. Novel ini bertemakan pekerjaan, keluarga, dan gegar budaya (culture shock).

Dalam Impian Amerika terdapat 30 cerita tentang 30 orang Indonesia di New York, kota metropolitan terbesar di Amerika. Mereka memiliki cita-cita dan latar belakang berbeda. Ada orang Jawa, Aceh, Batak, Manado, Sunda, Minang, Makassar, dan lain-lain.

Novel ini menghadirkan problematika etnik antarorang Indonesia dengan warga negara lainnya akibat pergaulan kelewat multidimensi. Keseharian orang Indonesia yang khas dideskripsikan secara faktual dan ringan, menjadikan alur novel ini terasa asyik dengan tetap menghadirkan makna perenungan. Gaya bertutur Kuntowijoyo yang tak zakelijk (baca: sakelek) atau payah sangat memungkinkan pembaca merasa puas.

Novel ini mirip “cerita berbingkai”, tapi “bingkainya” sengaja dihilangkan. Lazimnya sebuah novel memiliki pelaku tunggal sehingga pembaca hanya dapat mengikuti satu alur perkembangan. Namun Kuntowijoyo menabrak kelaziman itu dengan menyajikan satu novel dengan 30 cerita berbeda sehingga pembaca “diminta” mengikuti 30 alur berbeda pula. Jadinya novel ini persis kompilasi (bunga rampai) cerita pendek.

Tapi jangan khawatir. Pembaca tak mesti mengikuti cerita sedari awal sampai akhir “baru ketahuan ceritanya”. Dalam hal ini Kuntowijoyo terasa amat moderat; pembaca dipersilakan membaca bagian cerita yang disukai tanpa takut kehilangan jejak, tak harus berurutan. Kalau bosan, stop. Lain waktu bisa dimulai lagi. Pokoknya, pembaca mendapat semacam garansi.

Bangunan karakter orang-orang yang menjadi tokoh utama begitu hidup, dilengkapi stereotip atau “bahasa bersama” yang biasa kita dengar dan obrolkan. Misalnya, “biasanya orang Madura itu pendiam,” dan “orang Madura itu benar memang di luarnya lemah, tapi di dalamnya jangan ditanya,” ujar Kuntowijoyo di bagian awal novelnya yang bertitel Orang Madura.

Soal pengetahuan Kuntowijoyo ihwal orang Madura jangan ditanya pula. Lha wong disertasi doktoralnya dalam bidang sejarah (1980) berjudul Social Change in an Agrarian Society: Madura 1850-1940.

Contoh yang lain, “Orang Aceh itu seperti orang Batak, suka tembak langsung,” dan “kalau tidak keras bukan orang Aceh,” tulisnya dalam Satria Kabur Kanginan alias Kesatria Mengembara. Atau dalam Anak Mami, “Gambaran orang tentang Makassar ialah badik, tapi orang sering kecele karena ternyata mereka halusnya melebihi orang Jawa, tidak pendendam, prianya jantan, wanitanya setia.”

Atau, meskipun Kuntowijoyo orang Jawa tulen bukan berarti sukunya “uber alles”. Setidaknya dalam cerita From New York with Love terbukti: “Maklumlah orang Jawa—maaf yang merasa Jawa jangan tersinggung—di mana saja sama, sukanya obor blarak, hanya sebentar, dan demenyar, kalau masih baru semangat, tetapi lama-kelamaan bosan.”

Dan masih banyak contoh lain yang berkenaaan dengan karakter maupun stereotip dari beberapa etnis kita.

Bukan Kuntowijoyo namanya jika tak menyelipkan petuah dalam setiap tulisannya. Sekitar separo petuah dalam novel itu bersumber dari khazanah kebudayaan Jawa semisal dalam nasihat perkawinan: “madhep, menghadap, artinya iman dan takwa pada Tuhan. Meneb, mengendap, artinya orang itu harus sabar. Manteb, mantap, artinya sudah jadi jodoh itu harus dimantapkan. Adapun sedhakep, sedekap, artinya kalau sudah kawin tangan tak boleh jowal-jawil, jangan menggoda dan tergoda,” tulisnya dalam Indonesia di Atas Segala Bangsa.


Rubrik Budaya Waspada, Minggu, 4 Oktober 1998.
Kuntowijoyo terlahir dalam naungan zodiak Virgo di Yogyakarta, 18 September 1943. Salah satu tipikal orang berbintang Virgo—maaf pembaca, Anda jangan salah paham—adalah dalam menjalin hubungan, lebih baik tidak ada kedekatan fisik ketimbang harus terlibat dalam affair yang dirasa tidak baik.

Maka rasanya tak heran bila ia bertutur dalam Orang yang Berhasil, “Cintamu itu hanya karena sering ketemu, witing tresna jalaran saka kulina. Kau mengira itu cinta, padahal hanya karena terbiasa. Kau mengira itu cinta, padahal nafsu. Cinta itu abadi, nafsu itu sesaat.”

Bagi yang biasa ingkar janji, Kuntowijoyo “berpesan” bahwa “ajining diri jalaran saka lathi, kemuliaan pribadi karena janji yang ditepati. Kalau sudah mengingkari janji itu prasat aji godhong garing, lebih berharga daun kering.”

Yang pasti, nuansa keagamaan selalu dihidupkan hampir di semua cerita Kuntowijoyo. Di tangannya agama (Islam) itu menjadi lebih hidup. Kuntowijoyo pun mengkritik banyak tradisi yang dianggapnya old an absolute tradition, tradisi yang kedaluwarsa dan tak ada gunanya.

Dengan cara bertutur yang jauh dari kesan menggurui, Kuntowijoyo bertutur langsung bagai orang tua kepada anaknya. Karena memang dalam novel ini Kuntowijoyo seakan “dituakan” oleh komunitas masyarakat Indonesia di Amerika. Pengungkapan budaya secara jujur menjadikan pembaca mudah menyerap pesan-pesan dari setiap ceritanya. Tiada kesan munafik.

Impian Amerika adalah karya inovasi Kuntowijoyo, dengan pretensi apakah “sastra koran” dapat menjadi sebuah novel. Dan dari novel ini pula kita tahu bahwa Ramos Horta, mantan Menteri Penerangan Fretelin, tak layak beroleh Hadiah Nobel karena gobloknya kebangetan. ***

Share this :

Previous
Next Post »