Merosotnya Wibawa Pendeta

Senin, September 14, 2015
Majalah PANJI MASYARAKAT Nomor 12 Tahun IV, 12 Juli 2000


Pendeta GKPI, akhir Juni 2000. (Foto: ABDI PURMONO)

GKPI menggelar sinode istimewa untuk menyelesaikan konflik internal. Proses kaderisasi dan regenerasi pendeta pun terganggu.

S.M. Gurning rada kecewa terhadap anaknya. Ketua Urusan Pengabaran Injil Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) Pematang Siantar ini ingin anaknya menjadi pendeta. Si anak menolak. Pasalnya, wibawa pendeta di Siantar sedang anjlok menyusul perpecahan dan konflik internal GKPI. Gurning pun pasrah.

“Saya tak boleh memaksakan kehendak. Alasan anak saya betul. Wibawa pendeta anjlok karena perpecahan di gereja,” kata Gurning. “Ini dapat mempengaruhi proses kaderisasi dan regenerasi di kalangan pendeta.”

Konflik di lingkungan GKPI sebenarnya sudah berlangsung kurang lebih lima tahun terakhir, terutama menyangkut pemilihan bishop dan sekjennya. Tapi secara terbuka baru muncul pada sinode ke-12 di Medan (1996) dan mencapai puncaknya pada sinode ke-13 di Kisaran dan Pematang Siantar (1998). Sebagai jalan keluar, pada 1999 ditandatangani piagam perdamaian dan keutuhan. Berdasarkan piagam ini pula kepengurusan GKPI hasil sinode Kisaran dan Pematang Siantar membubarkan diri.

Namun tak dinyana, Panjaitan dan Hutagalung tiba-tiba tampil selaku bishop dan sekjen GKPI. Kedua orang ini bahkan memberhentikan semua anggota majelis pusat yang dipilih dan dikukuhkan Sinode Am XIII (periode 1998-2003). Setengah dari mereka dipilih dan diangkat menjadi anggota MP untuk periode 1999-2000. Sisanya dipecat atas dasar ketidaksetiaan dan tidak mengakui keabsahan Panjaitan sebagai bishop dan Hutagalung sebagai sekjen.

Menurut T.M. Hutauruk, salah seorang jemaat GKPI Sei Agul, Medan, para warga awam GKPI juga sudah cukup letih, bosan, bahkan muak dengan konflik berkepanjangan. Untuk itulah Gurning dan Hutauruk beserta kawan-kawannya mendesak diselenggarakan acara istimewa untuk menyelesaikan perpecahan. Lalu diadakanlah sinode istimewa akhir Juni lalu di Pematang Siantar. Acara ini dibuka Dirjen Bimas Kristen Protestan P. Siahaan.

Pada perhelatan yang diikuti sekitar 428 orang itu (terdiri atas kalangan pendeta, majelis pusat, guru jemaat, peserta utusan, peninjau, serta undangan utusan dari gereja tetangga), terjadi perdebatan seru. Hutauruk, misalnya, melihat bahwa cara penyelesaian damai dan konstitusional adalah dengan cara menolak kepemimpinan Panjaitan dan Hutagalung, sekaligus memilih penggantinya dari kalangan pendeta yang mempunyai track record yang bagus dan meyakinkan.

Panjaitan enggan menanggapi seputar kepemimpinannya yang kontroversial itu. namun, secara implisit ia membenarkan adanya konflik di tubuh GKPI. “Untuk itulah sinode ini dilaksanakan. Yang lalu biarlah berlalu,” katanya. “Sekarang kami ingin berbenah menuju harapan yang lebih baik sehingga GKPI bisa tampil berperan dengan paradigma baru. Kita tak ingin mengambinghitamkan siapa-siapa dalam persoalan tiga tahun ini. Tapi waktulah yang kurang bersahabat sehingga masa lalu harus kita tinggalkan.”

Sementara itu, peserta dari kalangan nonpendeta juga menuntut agar mereka diberi hak untuk menentukan siapa calon yang akan duduk di pimpinan pusat. “Sebenarnya yang dipilih nanti pimpinan GKPI atau pimpinan para pendeta,” kata salah seorang peserta dengan agak kesal. Namun, Panjaitan bersikukuh, memang ada beberapa kalangan nonpendeta yang mengenal pendeta secara baik, namun itu hanya dua sampai lima pendeta saja yang mereka kenal. “Jadi yang mengetahui dan mengenal betul siapa pimpinan yang cocok adalah kalangan pendeta.”

Salah seorang tokoh pendiri GKPI, Apul Panggabean, mengharapkan para peserta sinode mengingat dan mengutamakan mukadimah pendirian GKPI dan menjadikan sinode kali ini sebagai sinode yang kristiani. Menurut dia, pendirian GKPI dilatarbelakangi keinginan beberapa orang pembaru untuk mengubah paradigma “gereja menjadi milik pribadi atau golongan” menjadi “gereja milik Tuhan”. Untuk itu ia bersama teman dan mahasiswa rela melakukan long march selama 10 hari dari Medan ke kantor pusat HKBP Paeraja, Tarutung, supaya para pemimpin gereja sadar bahwa gereja adalah milik Tuhan.

Setelah perdebatan yang panjang, Manurung dan Hutagalung akhirnya terpilih menjadi bishop dan sekjen GKPI periode 2000-2005. Terpilih pula anggota majelis pusat. Manurung tak banyak memberikan komentar. Hanya saja, sebelum penutupan sinode, ia berpesan kepada pimpinan pusat terpilih untuk saling menjaga jangan timbul lagi kegoncangan atau kekacauan seperti pada masa lalu. Horas, bah! ■ NASRULLAH ALI-FAUZI. LAPORAN: ABDI PURMONO (PEMATANG SIANTAR)


CATATAN:

Bishop GKPI Periode 1998-2000 Pendeta CW Panjaitan
Sekretaris Jenderal GKPI Periode 1998-2000 Pendeta SP Hutagalung

Bishop GKPI Periode 2000-2005 Pendeta GOP Manurung
Sekretaris Jenderal GKPI Periode 2000-2005 Pendeta SP Hutagalung

Share this :

Previous
Next Post »