Seabad Lebih Gereja Immanuel Malang Mewarnai Toleransi

Kamis, Desember 26, 2019
Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel, Kota Malang, terlihat pada Kamis, 19 Desember 2019. Foto: ABDI PURMONO

KEGAIRAHAN menyambut Hari Natal 2020 di Kota Malang mulai tampak sepekan sebelum 25 Desember. Sejumlah gereja Protestan dan Katolik mulai berhias. 

Malang merupakan salah satu kota tertua di Jawa Timur. Jejak riwayatnya sudah ada sejak abad pertengahan, ketika Singasari berkuasa. Saat Belanda menguasai Nusantara, Malang merupakan salah satu kota besar di Jawa Timur milik Belanda.

Dalam kurun waktu itu, setidaknya terdapat tiga gereja kuno, yang telah seabad lebih menjadi pusat peribadatan umat Kristiani di Malang. 

Secara berurutan sesuai usianya, ketiga gereja itu ialah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel alias Gereja Immanuel atau disebut pula Gereja Jago.

Kemudian, Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus (HKY) alias Gereja Kayutangan, serta Gereja Santa Theresia alias Gereja Katolik Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel yang populer dengan sebutan Gereja Katedral Ijen. 

Ketiganya merupakan gereja pertama yang dibangun oleh Pemerintah Hindia Belanda dan kini jadi landmark Kota Malang yang kemudian ditetapkan oleh Pemerintah Kota Malang sebagai bangunan cagar budaya. Penetapannya mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Cagar Budaya. Dengan demikian, tidak boleh mengubah maupun menambah bangunan baru di tiga gereja itu.

Tonton video: Alkitab Umur Ratusan Tahun Milik Gereja Tertua di Kota Malang

Gereja Immanuel Malang terlihat pada Rabu, 11 Desember 2019. Foto: ABDI PURMONO

Gereja Immanuel mulai dibangun 30 Juli 1861 dan resmi digunakan sejak 31 Oktober tahun yang sama dengan nama Protestanche Gemente te Malang sebagai tempat ibadah orang-orang Belanda dan Eropa. Pendeta pertamanya bernama JFG Brumund yang meninggal di Malang pada 1863.

Gereja Kayutangan dibangun pada 1905. Sedangkan Gereja Ijen mulai dibangun 11 Februari 1934 dan diresmikan penggunaannya pada 28 Oktober 1934. 

Arsitektur Gereja Immanuel dan Gereja Kayutangan bergaya gotik, yang merupakan ciri khas gereja-gereja masa Abad Pertengahan, baik gereja Protestan maupun gereja Katolik. Sedangkan Gereja Ijen bergaya neogotik atau neo-Gothic, perkembangan dari arsitektur gereja sesuah Abad 19. 

Lokasi Gereja Immanuel dan Gereja Kayutangan terpisah jarak sekitar 250 meter. Berbeda dengan Gereja Immanuel, Gereja Kayutangan tidak langsung berhadapan dengan Alun-alun Merdeka Kota Malang, melainkan menghadap Jalan Basuki Rahmat (dulu Jalan Kayutangan), jalan protokol yang menghubungkan Malang-Surabaya.

Sebaliknya, Gereja Immanuel merupakan jiran terdekat Masjid Agung Jamik, masjid yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda sepanjang 1890-1903. Kedua tempat ibadah Protestan dan Islam ini sangat berdekatan, hanya dipisahkan sebuah bangunan perusahaan asuransi milik negara, serta sama-sama menghadap alun-alun atau persisnya di barat alun-alun. 

“Gereja ini dibangun setelah alun-alun dibangun lebih dulu pada tahun 1700 oleh VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie atau Persatuan Dagang Hindia Timur). Setelah VOC bubar (31 Desember 1799), maka kendali pemerintahan dan kegiatan perdagangan diambil alih oleh Pemerintah Hindia Belanda, termasuk mendirikan gereja ini dan Masjid Agung Jamik,” kata Ketua Majelis Jemaat GPIB Immanuel Pendeta Richard Agung Sutjahjono kepada saya, Jumat, 20 Desember 2019.

Rabu, 11 Desember 2019
Menurut Richard, pembangunan Gereja Immanuel oleh Pemerintah Hindia Belanda berhubungan erat dengan pembangunan pusat kota sebagai pusat pemerintahan sekaligus pusat perekonomian yang dicirikan oleh, antara lain, pembangunan alun-alun, gereja, masjid, bank, penjara, kantor pos, tempat hiburan, serta pertokoan yang memenuhi kebutuhan sandang dan pangan warga kota, khususnya bagi warga Belanda dan warga Eropa lainnya. 

Pembangunan Gereja Immanuel dan Masjid Agung Jamik juga merupakan strategi politik imperialisme Pemerintah Hindia Belanda demi menjaga kenyamanan dan ketenangan, serta kemapanan Malang yang sudah tercipta pada 1729. Dulu, Malang masih bagian dari Karesidenan Pasuruan. 

Strategi serupa diterapkan Pemerintah Hindia Belanda di Jakarta dan Semarang untuk mengantisipasi munculnya pemberontakan rakyat jajahan, termasuk pemberontakan yang bermuatan agama melawan Belanda maupun konflik horisontal antarumat beragama, sehingga Belanda tetap bisa tenang dan berkonsentrasi menjalankan politik imperialisme mereka. 

“Belanda juga memainkan politik toleransi agama-agama untuk melindungi kepentingan imperialisme mereka. Namun ada positifnya juga bahwa politik toleransi yang digunakan Belanda merupakan momentum yang mempersatukan keragaman atau kebinekaan seperti yang kita kenal sekarang. Dulu, orang yang sengaja mengganggu atau merusak toleransi berarti telah melakukan tindakan makar terhadap pemerintahan Belanda,” kata Pendeta Richard. 

Pendeta Richard menekankan bahwa toleransi antarumat beragama seperti tercermin oleh posisi Gereja Immanuel dan Masjid Agung Jamik yang berdampingan tidak melulu harus diekspresikan lewat kegiatan gotong-royong maupun saling bantu-membantu. 

Gereja Immanuel Malang di Jalan Merdeka Barat, Kota Malang, terlihat pada Rabu, 11 Desember 2019. Foto: ABDI PURMONO

Sudah jamak diketahui, jemaat Gereja Immanuel rutin membantu menyediakan parkir bagi para jemaah salat Jumat atau salat Idul Fitri dan Idul Adha, maupun saat pelaksanaan acara keagamaan Islam. Begitu pula sebaliknya. 

Namun, toleransi bukan hanya sebatas saling bersilaturahim maupun saling memberikan fasilitas. Lebih dari itu, toleransi harus terwujud dalam pola hidup yang praksis melalui lembaga-lembaga ukhuwah keagamaan, misalnya lewat Forum Komunikasi Umat Beragama dan forum-forum dialog tentang agama. ABDI PURMONO


Share this :

Previous
Next Post »