Gereja Jago, Tempat Ibadah dan Rahasia Negara

Senin, Desember 30, 2019
GPIB Immanuel Malang terlihat pada Kamis, 19 Desember 2019. Foto: ABDI PURMONO

DI KOTA MALANG terdapat tiga gereja pertama yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda dan pada 2018 ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya atau heritage. 

Menurut Kepala Bidang Promosi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang Agung Harjaya Buana, pada 2018 Wali Kota Malang Sutiaji menandatangani surat keputusan tentang penetapan 32 bangunan dan struktur cagar budaya, yang terdiri dari gedung pemerintahan, gedung perusahaan negara, gedung sekolah, kantor bank, brandweer, dan tempat ibadah. 

Penetapannya merupakan pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya serta Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 1 Tahun 2018 tentang Cagar Budaya. 

“Dari seluruh bangunan cagar budaya, ada empat yang merupakan bangunan tempat ibadah, yaitu satu gereja Protestan, dua gereja Katolik, dan satu kelenteng. Keempatnya sudah jadi landmark Kota Malang,” kata Agung kepada saya, Minggu, 22 Desember 2019. 

Keempat tempat ibadah itu juga telah didaftarkan dalam Sistem Registrasi Nasional Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai penegasan legalitas bahwa keempatnya merupakan bangunan cagar budaya sehingga tidak satu pihak pun yang boleh mengubah atau menambah bangunan baru di empat tempat ibadah tersebut. 

Sesuai urutan nomor dalam daftar bangunan dan struktur cagar budaya, keempat tempat ibadah itu ialah Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel alias Gereja Immanuel aliasGereja Jago (nomor urut 4), Gereja Santa Theresia alias Gereja Katolik Santa Perawan Maria dari Gunung Karmel alias Gereja Katedral Ijen (nomor 5), Gereja Katolik Paroki Hati Kudus Yesus alias Gereja Kayutangan (nomor urut 21), serta Kelenteng Eng Ang Kiong (nomor urut 28). 

Biasanya, kata Agung, ketiga gereja mendapat perhatian khusus masyarakat, dan juga para wisatawan, menjelang dan saat pelaksanaan Hari Natal dan perayaan tahun baru. Terlebih lagi jika dihubungkan dengan toleransi dan kerukunan antarumat beragama, khususnya antara pemeluk Kristen dan Katolik dengan pemeluk Islam. 

Dari ketiga gereja, Gereja Immanuel yang paling tua usianya. Gereja Immanuel dibangun pada 1861. Pembangunan Gereja Ijen dimulai pada 11 Februari dan diresmikan penggunaanya pada 28 Oktober tahun yang sama. Sedangkan Gereja Kayutangan dibangun pada 1905. 


GPIB Immanuel Malang dipotret pada Rabu, 11 Desember 2019. Foto: ABDI PURMONO

Sekretaris Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kota Malang itu menjelaskan, Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Immanuel mulai dibangun 30 Juli 1861 dan resmi digunakan sejak 31 Oktober tahun yang sama, dengan nama Protestanche Gemente te Malang.

Arsitektur Gereja Immanuel dan Gereja Kayutangan bergaya Gotik, yang merupakan ciri khas gereja-gereja masa pertengahan Abad 19Sedangkan Gereja Ijen bergaya neogotik atau neo-Gothic, perkembangan dari arsitektur gereja selepas Abad 19. 

Posisi Gereja Immanuel dan Gereja Kayutangan terpisah jarak sekitar 250 meter. Berbeda dengan Gereja Immanuel, Gereja Kayutangan tidak langsung berhadapan dengan Alun-alun Merdeka Kota Malang, melainkan menghadap Jalan Basuki Rahmat (dulu Jalan Kayutangan), jalan protokol penghubung Malang-Surabaya. 

Sebaliknya, Gereja Immanuel merupakan jiran terdekat Masjid Agung Jamik, masjid yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda sepanjang 1890-1903. Kedua tempat ibadah ini sangat berdekatan, hanya dipisahkan sebuah bangunan perusahaan asuransi milik negara, serta sama-sama menghadap alun-alun atau persisnya di barat alun-alun, tepatnya di Jalan Merdeka Barat. Gereja Immanuel berada di ujung paling utara atau pojok sisi dalam pertemuan Jalan Merdeka Barat dan Jalan Arif Rahman Hakim. 

Menurut Agung, struktur bangunan Gereja Immanuel tidak berubah dalam usia 158 tahun. Gereja Immanuel pernah dibongkar pada 1912 dan dibangun kembali sesuai bentuk aslinya. Cetak biru rancangan renovasi ini bertanggal 25 April 1910 dan masih dipajang di salah satu ruangan. Gambar rancangan sedikit berbeda dengan bangunan asli, antara lain jumlah jendela hanya lima buah. Padahal di bangunan gereja berjajar tujuh jendela. 

Gereja Immanuel juga pernah mengalami perbaikan, antara lain pada 1998 dan 2015. Pihak pengelola gereja mengganti rangka kayu yang lapuk dengan rangka besi. 
“Secara keseluruhan, kegiatan renovasi pada 1912 dan beberapa perbaikan di masa lalu tidak sampai mengubah bentuk asli bangunan gereja,” ujar Agung. 

Rabu, 11 Desember 2019. Foto: ABDI PURMONO
Bangunan Gereja Immanuel terdiri dari dua lantai dengan luas tanah sekitar 1.375 meter persegi. Di lantai satu terdapat ruang peribadatan, perpustakaan, dan ruang konsistori. Di lantai dua terdapat ruang serbaguna untuk kegiatan kesekretariatan gereja. 

Di bagian samping bangunan utama gereja dibangun sebuah ruang tambahan yang difungsikan sebagai tempat pengajaran umat. 

Di masa lalu, Gereja Immanuelmempunyai halaman luas nan hijau, dipenuhi banyak pohon sampai seolah-olah menyatu dengan alun-alun di seberang gereja. Namun, karena posisinya persis di persimpangan jalan utama, halaman gereja ikut menyempit saat Kota Malang makin berkembang maju dan mapan. Kondisi serupa juga dialami bangunan-bangunan di sekitarnya. 


Menurut Ketua Majelis Jemaat GPIB Immanuel Malang Pendeta Richard Agung Sutjahjono Agung, selain keaslian bentuk bangunan, Gereja Immanuel menyimpan sejumlah ornamen dan peninggalan kuno Belanda. 

Salah satu peninggalan terpenting berupa dua buah Alkitab Protestan yang berangka cetakan tahun 1618 dan 1715 Masehi atau sudah berusia 401 dan 304 tahun. Bahasa dalam Alkitab menggunakan bahasa Belanda kuno. 

Alkitab tersebut bersampul warna cokelat yang terbuat dari kulit domba jantan Belanda. Terdapat pengait sampul depan dan belakang yang terbuat dari logam berkadar emas muda. Ketebalannya sekitar 10 sentimeter dengan berat hampir 5 kilogram. 

Saya melihat kedua Alkitab Protestan disimpan dalam sebuah lemari kaca berbingkai kayu jati. Kedua Alkitab disinari lampu untuk mencegah pelapukan. 
 
Ketua Majelis Jemaat GPIB Immanuel Malang Pendeta Richard Agung Sutjahjono, Jumat, 20 Desember 2019. Foto: ABDI PURMONO

Menurut Ketua Majelis Jemaat GPIB Immanuel Malang Pendeta Richard Agung Sutjahjono, kedua Alkitab pernah diminta oleh Pemerintah Kota Malang untuk disimpan. Pernah pula wisatawan Belanda hendak membeli kedua Alkitab untuk dikembalikan ke Belanda. 

Namun, permintaan pemerintah kota dan keinginan pembeli ditolak dengan alasan kedua Alkitab merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah Gereja Immanuel, serta “saksi” pertumbuhan dan perkembangan Kota Malang. 

“Enggak ada artinya sejarah gereja ini tanpa dua Alkitab Protestan tersebut,” ujar Richard. 

Selain Alkitab, Gereja Immanuel juga mempunyai sebuah brankas besi setebal 5 sentimeter. Di dalam brankas terdapat berkas-berkas penting dan berharga milik gereja, termasuk berkas notulensi Belanda. 

Di lantai dua terdapat piano klasik yang bisa dipakai untuk mengiringi prosesi peribadatan. Namun, pianonya sudah tidak bisa digunakan lagi sehingga dijadikan pajangan di sisi ruang serbaguna. 

Keunikan lain Gereja Immanuel ada di puncak menara yang dilengkapi jam dan lonceng yang masih asli sejak gereja selesai dibangun dan resmi difungsikan. Loncengnya berbahan besi dengan diameter sekitar 1 meter dan setebal 5 sentimeter. 

Siapa pun yang ingin ke puncak menara harus melewati tangga besi berbentuk spiral yang umurnya sebaya dengan usia gereja. Antara lantai dua dan menara dihubungkan dengan dengan sebuah tangga kayu jati. 

“Sebenarnya, yang lebih unik lagi, di pucuk menara terdapat ornamen ayam jago terbuat dari besi. Itulah sebabnya gereja kami disebut Gereja Jago,” ujar Richard. 

Gereja Immanuel atau Gereja Jago semula hanya dikhususkan sebagai tempat ibadah orang-orang Belanda dan Eropa. Pendetapejabat gereja, serta guru agama berasal dari Belanda. Seluruh peribadatan pun memakai bahasa Belanda. Pendeta pertamanya bernama JFG Brumund yang meninggal di Malang pada 1863. 

Kaum pribumi Protestantermasuk para tentara KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indische Leger) beserta keluarganya, dilarang beribadah di Gereja Immanuel. Sebagai gantinya, mereka dibuatkan gereja setengah permanen yang sekarang dikenal sebagai Gereja Ebed di Jalan Pattimura 10, Kota Malang. Namun, pendeta dan pejabat gereja atau majelis gereja tetap dijabat orang Belanda. 

Larangan itu terkait kerahasiaan politik pemerintahan, dagang, dan pertahanan Belanda. 

GPIB Immanuel Malang, Rabu, 11 Desember 2019. Foto: ABDI PURMONO

Menurut Richard, dulu pejabat pemerintahan Belanda, perwira militer, dan pengusaha Belanda sering mengadakan pertemuan khusus di Gereja Immanuel. Tentara Belanda juga menyimpan persenjataan dan logistik di dalam gereja. 

“Tidak salah juga bila gereja ini dulunya bekas gudang walau fungsi utamanya tetaplah tempat ibadah Protestan. Penyebutan bekas gudang sebenarnya sangat terkait dengan sistem politik pemerintahan, pertahanan, dan perekonomian Belanda di masa itu, serta dinamika sejarah setelahnya,” kata Richard. 

Di masa itu terdapat dua majelis gereja, yaitu Majelis Gereja Belanda dan Majelis Gereja Melayu. Tapi Majelis Gereja Melayu belum diakui oleh pejabat gereja pemerintah (Kerkbestuur) sehingga urusan keuangan tetap dipegang oleh Bendahara Majelis Gereja Belanda. Kerkbestuur baru mengakui eksistensi Majelis Gereja Melayu lewat pemberian otonomi pengelolaan keuangan kepada Gereja Melayu pada 18 September 1938. 

Di masa Perang Dunia Kedua, Gereja Immanuel berfungsi sebagai tempat Perkumpulan Kerohanian Kristen. Saat Jepang menguasai Malang, para jemaat asal Belanda melarikan diri. Gereja Immanuel kemudian dijadikan sebagai gudang logistik, khususnya untuk menyimpan beras. 

Kondisi berubah lagi setelah Jepang kalah perang. Pada 3 Desember 1948, segala hak milik jemaat Belanda diserahkan kepada GPIB Jemaat Malang termasuk Panti Asuhan Kristen (PAK Kampar). Keputusan ini dilakukan berdasarkan Staatsblad Indonesia tahun 1948 No.305 tanggal 3 Desember 1948 tentang penetapan GPIB sebagai gereja mandiri yang berbadan hukum. 

Semenjak itulah pendeta dan pejabat gereja berasal dari orang-orang Indonesia dan jemaatnya pun beragam suku bangsa di Indonesia. 

Saat ini, ujar Richard, Gereja Immanuel mempunyai jemaat lebih dari 500 keluarga yang tersebar di 9 wilayah. Gereja Immanuel mempunyai gedung gereja di wilayah Kota Malang dan satu gereja lagi di Kecamatan Pakisaji, Kabupaten Malang. ABDI PURMONO 

Share this :

Previous
Next Post »