Sekilas tentang Majalah Horison

Rabu, Agustus 03, 2016

Majalah Horison nomor perdana kenangan (Juli 1966) dan edisi cetak terakhir (Juli 2016).
Foto: ABDI PURMONO

MAJALAH Horison genap berusia 50 tahun pada 26 Juli 2016. Majalah sastra ini didirikan oleh Mochtar Lubis, PK Ojong, Zaini, Arief Budiman, dan Taufiq Ismail, serta pertama kali diumumkan terbit di Balai Budaya Jakarta di Jalan Gereja Theresia, Menteng, Jakarta Pusat, 26 Juli 1966.

Kelahiran Horison menandai era kebebasan kreatif pada masa pergantian rezim Orde Lama ke Orde Baru. Jagat sastra menikmati masa gemilang sampai kemudian melahirkan W.S. Rendra, Taufiq Ismail, Sapardi Djoko Damono, Umar Kayam, Goenawan Mohamad, Arifin C. Noer, Teguh Karya, Sutardji Calzoum Bahri, Danarto, Budi Darma, Hamsad Rangkuti dan sastrawan besar yang lain.

Semasa berjaya, Horison menerima bantuan dari banyak pihak. Kompas, Tempo, Femina, dan Sinar Harapan, misalnya, rutin memberikan suntikan fulus. Seturut perkembangan zaman, banyak media menyediakan rubrik sastra. Kemunculan banyak rubrik sastra di media lain mulai menggerus pasokan tulisan sastra bermutu ke Horison.

Tantangan yang dihadapi Horison lebih besar besar di era milenium baru, sebuah era yang ditandai oleh dominasi teknologi internet. Horison pun kesulitan membeli kertas yang kian mahal lantaran hampir 100 persen isi kocek Horison bersumber dari sponsor.

Sebagai media cetak, Horison mengalami senjakala. Sebelum kolaps dan tamat riwayatnya, pengelola Horison bersiasat dengan mengakhiri wujud fisiknya hingga edisi Juli 2016. Majalah Horison bersalin rupa dari bentuk cetak menjadi Horison Online tepat di usia setengah abad. Sebagai media siber, Horison kini hanya bisa dibaca di www.horison-online.com.   

Dalam peringatan bertajuk 50 Tahun Horison” di Taman Ismail Marzuki, Selasa, 26 Juli 2016, Taufiq Ismail menyampaikan bahwa Horison Online sejatinya sudah ada sejak beberapa tahun silam. Horison berformat digital itu digagas oleh Amin Sweeney (13 Desember 1938-10 November 2010). 

Ahli bahasa Melayu keturunan Irlandia itu meyakinkan Taufiq tentang betapa pentingnya dunia “dalam jaringan” alias online bagi masa depan Horison. Sejujurnya Taufiq mengaku kala itu tak paham dan kurang bersemangat.

Sebelum meninggal, Sweeney sempat memimpin Horison Online beberapa lama. Horison Online sempat vakum beberapa bulan. Salah satu penyebabnya: administratur meninggal dan password­ yang tidak diketahui lagi. Jadilah Horison Online yang sekarang sebagai tampilan baru sebagaimana dinyatakan Sastri Sunarti, Pemimpin Redaksi Horison Online.

Rubrik Budaya Harian Waspada, Jumat, 14 Februari 1997.

Nah, selain catatan di atas, 19 tahun silam catatan saya tentang majalah Horison dimuat di rubrik Budaya harian Waspada edisi Jumat, 14 Februari 1997. Sebuah catatan sederhana yang agak tergesa saya tulis. Semoga berguna…

ADA mahasiswa bertanya perihal Horison. Lugu terasa. Agak kaget juga, memang. Namun setidaknya dia jujur menyatakan ketidaktahuan dan peduli. Saya pun awas. Jangan-jangan dia berlagak pilon kayak Sokrates (470-399 Sebelum Masehi), tokoh Athena paling sarat teka-teki dan setengah sedeng dalam seluruh babad filsafat. Mungkin.

Dan terima kasih. Lantaran dia—pemain teater—saya merasa perlu membagi informasi seputar majalah sastra tersebut. Inilah hasilnya, yang leceh-leceh begini. Mudah-mudahan memberi banyak manfaat.

Jakarta 1966. Orde Baru mulai mengesot. Di masa-masa runyam seperti ini, Horison dilahirkan. Pada nomor perdana, sajak Karangan Bunga karya Taufiq Ismail menjadi pilihan dekor sampul depan. Alhamdulillah, sampai sekarang tetap hidup meski napasnya sudah lama tersengal-sengal. Separo tahun lagi, tepatnya di bulan Juli nanti, Horison berusia 31 tahun. Usia yang cukup matang bagi sebuah majalah sastra dan budaya, yang tidak mengkhususkan diri pada pemuatan-pemuatan berita aktual dan bersifat sensasional. Apalagi sebelumnya di Indonesia pernah terbit majalah Poedjangga Baroe, Kisah, Sastra, dan lain-lain.

Horison bermula dari kongko-kongko menggagas dan menjangkau kemungkinan-kemungkinan pemikiran baru, khususnya dalam perspektif seni dan kebudayaan. Adalah Mochtar Lubis (7 Maret 1922), Petrus Kanisius Ojong alias Auwjong Peng Koen (pendiri Kompas, 25 Juli 1920-31 Mei 1980), Zaini (1924-1977), Soe Hok Djin/Arief Budiman (3 Januari 1941, orang Indonesia pertama yang mendapat gelar profesor di Universitas Melbourne, Australia) yang mendirikan Horison sebagaimana tercantum dalam masthead (boks susunan redaksi).

Sampai hari ini, Mochtar Lubis dipercayakan sebagai pemimpin umum/pemimpin perusahaan. Orang baru di jajaran pengelola, Ati Ismail dan Arwan Hamir, masing-masing diserahi mandat sebagai direktur eksekutif dan wakil. Dan pemimpin redaksi dipegang Hamsad Rangkuti.

Wajah lawas seperti Hans Begue Jassin (Gorontalo, 31 Juli 1917), Taufiq Ismail, Sutardji Calzoum Bachri, menempati posisi redaktur senior dan dewan redaksi (DR). Untuk DR ditambah satu nama lama: Ikranegara, dan muka anyar: Aant S. Kawisar, Fadli Zon, dan Jamal D. Rahman. Sementara penyantun/penasihat didukung oleh Jakob Oetama/BMKN (Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional).

Sebelum diberedel, Tempo pernah tercatat selaku donatur Horison. Begitu pula dengan koran Suara Pembaruan, yang terbit sore hari. Kini cuma Kompas dan Pia Alisjahbana (direksi Femina Group) yang masih mensubsidi dengan setia.

“Tak ada yang permanen dalam hidup ini kecuali perubahan itu sendiri,” kata Heraclitus (kira-kira 540-480 SM), filosof asal Epheseus di Asia Kecil. “Segala sesuatu terus mengalir.” Enaknya omongan kita: perubahan itu abadi.

Begitulah. Pers Indonesia mengalami banyak perubahan dalam segi-segi kehidupannya. Mencakup segi kelembagaan, pembinaan idiil dan pembinaan pengusahaan pers, sampai kepada sistem kebebasan pers. Yang paling heboh, ketika lembaga perizinan yang semula berbentuk Surat Izin Terbit (SIT) ditukar menjadi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP).

Lembaga perizinan ini, yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Penerangan No. 01/PER/MENPEN/1984 tanggal 31 Oktober 1984, mengandung sifat restriktif (serba membatasi) dan protektif (serba melindungi). (Baca: Sistem Pers Indonesia, Drs. T. Atmadi, 1985:35). Dan nyata, ada beberapa penerbitan pers yang rontok.

Apa boleh buat. Horison lekas berbenah diri dan mengajukan permohonan SIUPP. Pada 3 Juni 1986, Horison mendapatkannya dengan No. 184/SK/MENPEN/SIUPP/D.1/1986.

Di samping itu, di jagat penerbitan dikenal istilah ISBN (International Standart Book Number) atau Nomor Baku Buku Internasional, dan ISSN (International Standart Serial Number) atawa Nomor Baku Berkala Internasional. ISBN bersifat khusus untuk satu judul buku saja. Ada tapinya, satu judul buku bisa mempunyai dua ISBN. Untuk hal ini, sedikit lebih ruwet diterangkan di sini. Mau contoh, sebaiknya, kunjungilah toko buku. Jika tak bengong melulu, banyak manfaat yang didapat di sana.

Sedangkan ISSN adalah nomor pada terbitan berkala seperti suratkabar dan majalah, baik majalah umum maupun jurnal ilmiah. Contoh: ISSN Waspada 0215-3017, Republika 0854-3968, Kompas 0215-207X; ISSN Islamika 0854-7653, Al-Hikmah 0854-24114. ISSN digunakan pada setiap nomor penerbitan berkala tersebut, tanpa mengalami perubahan sedikit pun. Horison sendiri ber-ISSN 0125-9016.

Ada kabar lain yang cukup menarik. Dalam format baru, Horison kini memiliki rubrikasi yang populer. Malah mulai No. 8-11/Agustus-November/1996 (di ujung Bulan Bahasa dan Sastra), majalah yang diterbitkan Yayasan Indonesia ini mengaktifkan kembali rubrik lama “Apresiasi” ke dalam bentuk baru, yakni suplemen Kakilangit. Inilah kontribusi Horison untuk mengatasi masalah “sastra yang tidak sampai pada siswa-siswa kita”, sebagaimana ditulis Taufiq Ismail di halaman Catatan Kebudayaan. Sisipan setebal 16 pagina itu dirancang spesial untuk siswa SMU, madrasah aliyah dan pesantren. Jadi, mohon didukung dan didoakanlah.

Di edisi Desember 1996, tercantum alamat baru Horison: Jl. Daksinapati Barat II No. 5, Rawamangun, Jakarta Timur (13220). Berjiran dengan IKIP Jakarta, yang disewa Rp 1,7 juta per bulan. Kepindahan ini dimungkinkan dari kerjasama bagi hasil dalam pameran lukisan di Taman Ismail Marzuki (TIM), September tahun lalu (sumber: tabloid Adil, 25-31 Desember 1996).

Dan Mochtar Lubis pernah “mengeluh”. Di edisi Mei-Juli 1996 terungkap bahwa Horison seakan tak pernah bergerak dari hitungan 3.000 tiras, bahkan terkadang cuma 500 eksemplar. Belum lagi iklan yang sungkan mendaftarkan diri.

Tetapi, di bawah manajemen Ati Ismail selaku direktur eksekutif, oplah Horison sudah melewati angka sepuluh ribu. Suatu peningkatan yang signifikan.

Soal harga? Masih Rp 5.000. Terbilang murah, karena terbit sekali dalam sebulan. Apalagi jika dibandingkan dengan kebutuhan merokok dalam kurun waktu yang sama. ABDI PURMONO

Share this :

Previous
Next Post »