Gurihnya Bisnis Tahu Organik

Rabu, April 09, 2014
Majalah TEMPO Edisi 17-23 Februari 2014

Foto-foto: ABDI PURMONO


SEHAT dengan konsumsi makanan organik. Kredo yang kian berkembang di masyarakat, terutama di kalangan menengah ke atas, itu ditangkap dan dimaknai sebagai peluang bisnis oleh Rudik Setiawan.

Itu sebabnya, sejak 2007, pengusaha tahu asal Klampok, Singosari, Kabupaten Malang, ini berani berinovasi menciptakan tahu organik. Ini adalah tahu yang dibuat dengan bahan baku biji kedelai organik, yakni tanaman kedelai yang tidak melibatkan zat kimia, seperti pestisida dan pupuk kimia, dalam proses penanaman dan pemeliharaannya.

Feeling bisnis Rudik terbukti benar. Pangsa tahu organik masih besar. Tak aneh jika minat orang terhadap tahu buatannya yang diberi merek Pelangi itu terus berkembang. Selain menjual di Malang dan sekitarnya, Rudik mengirim produk serupa ke swalayan dan sejumlah hotel di Surabaya, Jakarta, dan Bogor. Bahkan, di Kota Hujan, Rudik menggandeng pamannya untuk membuat pabrik khusus organik di Kampung Babakan, Kelurahan Ciluar, Kecamatan Bogor Utara. Pabrik yang beroperasi sejak pertengahan tahun lalu ini mengolah dua kuintal kedelai organik menjadi 1.500-2.000 potong tahu.

“Tahu organik banyak kelebihan. Itu sebabnya penjualan terus meningkat,” kata Rudik saat ditemui Tempo di rumahnya, Selasa sore dua pekan lalu.

Mengutip pengakuan konsumen, ia menyebutkan sejumlah keunggulan tahunya. Antara lain, rasa lebih gurih, tidak sangit, tidak masam, dan tidak memakai pengawet, seperti formalin yang biasa dipakai untuk pengawet makanan. Garam pun tidak dipakai dalam proses pembuatan tahu ini.

Yang tak kalah penting, bahan baku kedelainya tidak bersentuhan dengan zat kimia, terutama pestisida dan pupuk, sehingga lebih alami. Dengan begitu, mengkonsumsi tahu organik lebih sehat karena tak memasukkan residu zat kimia ke dalam tubuh. Rudik memperoleh bahan baku ini dari tiga pemasok di Bogor, Surabaya, dan Malang, plus impor dari Kanada dan Amerika Serikat. Seperti lazimnya bahan makanan organik lain, kedelai organik harganya lebih mahal Rp 1.000-2.000 per kilogram dibanding kedelai biasa.

Haris Abdullah, penggemar tahu asal Desa Sumberpucung, Kecamatan Sumberpucung, Kabupaten Malang, membenarkan ihwal kelebihan tahu organik itu. Lantaran kepincut oleh cita rasa dan kualitas tahu itu, Haris tertarik memasarkannya di wilayah selatan Kabupaten Malang, seperti Sumbermanjing Wetan, Kalipare, dan Sumberpucung, plus tiga kecamatan di Kabupaten Blitar yang berdekatan dengan Kabupaten Malang.

“Konsumen suka tahu organik karena enak dan segar serta teksturnya halus. Di pasar banyak tahu bertekstur halus, tapi rasanya masam atau kecut,” kata mahasiswa semester VII Sekolah Tinggi Agama Islam Raden Rahmat, Kabupaten Malang, ini.

Kelebihan lain, Rudik melanjutkan, tahu organik aromanya segar, kadar airnya rendah, dan kenyal sehingga sangat cocok untuk menu makanan berbahan tahu, seperti tahu campur, tahu isi, dan tahu petis. Untuk tahu goreng, jenis tahu ini lekas mekar dan lebih cepat masak sehingga waktu menggorengnya lebih cepat 50 persen dibandingkan dengan menggoreng tahu biasa. Kekenyalan tahu diperoleh bukan lantaran ada campur tangan bahan pengawet, melainkan karena proses pengolahan dan bahan-bahannya memang beda.

Sebagai contoh, berbeda dengan perlakuan terhadap kedelai biasa, kedelai organik perlu dicuci dua kali sebelum digiling. Kedelai juga harus digiling sampai benar-benar halus. Pengasaman dengan cuka pada keledai organik yang sudah dihaluskan berlangsung 20-25 menit. Pada kedelai biasa cukup 15 menit. Dengan proses serupa itu, tahu organik mampu bertahan sepekan di luar kulkas dan dua bulan di dalam kulkas. Bandingkan dengan tahu non-organik, yang hanya tahan tiga hari di luar kulkas dan sebulan di dalam kulkas.

Jika dihitung dari proses sejak awal, rata-rata, butuh waktu 45 menit untuk membuat tahu biasa. Sedangkan pembuatan tahu organik bisa memakan waktu dua-tiga jam. Dengan bahan baku yang lebih mahal, plus proses pengolahan yang lebih lama, wajar jika harga tahu organik juga lebih mahal—selisih sekitar seribu rupiah per potong dibanding tahu biasa.

Harga tahu organik Pelangi kualitas biasa berlabel warna merah dibanderol Rp 3.000 per potong. Sedangkan tahu kualitas super yang berlabel hijau bisa mencapai Rp 6.000 per potong di pasar-pasar swalayan. Harga tahu organik super lebih mahal karena dalam proses pembuatannya menggunakan air yang dihasilkan dari teknologi reverse osmosis sehingga lebih jernih dan steril. Teknologi ini lazim dipakai di tempat penjualan air isi ulang.

Rudik Setiawan
“Saya senang meneliti dan bereksperimen,” kata Rudik, yang lahir di Malang, 4 Oktober 1984.

Saban hari, pabrik tahu RDS—akronim dari nama Rudik dan huruf pertama nama depan ketiga anaknya, Rasendria El Furqonia, Dzufairo El Kamila, dan Muhammad Sirhan Syahzani—memerlukan empat kuintal kedelai untuk membuat 5.000 potong tahu. Dari jumlah itu, sekitar 40 persen adalah tahu organik. Dalam sehari, omzetnya mencapai Rp 3-4 juta. Kini juara kedua Wirausaha Mandiri 209 tingkat nasional ini memiliki 16 karyawan pembuat tahu, 22 tenaga pemasaran ke pasar-pasar tradisional, serta 5 tenaga pemasaran khusus ke hotel-hotel, pasar swalayan, dan kompleks perumahan.

Keberhasilan Rudik mengembangkan tahu organik tak lepas dari “pergaulan”-nya yang lama dengan urusan tahu. Ia menggeluti usaha itu sejak berusia 17 tahun. Kala itu, Rudik tak bertindak sebagai pembuat tahu, tapi sebagai investor. Dari uang hasil tabungan, bantuan orang tua, dan pinjaman tetangga, ia menanamkan modal Rp 25 juta untuk dikelola sejumlah teman.

Tak ada perhitungan bisnis yang njelimet untuk memulai usaha saat itu, kecuali mengandalkan insting dagang, ditambah kejelian melihat banyak sumber air di desanya. Sumber air yang bening sangat bagus dipakai dalam proses pembuatan tahu. Usaha Rudik dan kawan-kawan sempat berkembang. Namun, karena fluktuasi harga kedelai ditambah masalah modal usahanya dikemplang salah satu temannya, pelan-pelan usaha mereka meredup, lalu tutup.

Rudik ogah menyerah. Bermodalkan Rp 15 juta dari hasil menjual tanah, ia kembali berbisnis tahu pada akhir Mei 2004 dengan bendera usaha RDS. Pengetahuan membuat tahu ia peroleh secara otodidaktik semasa jadi mahasiswa Jurusan Matematika Universitas Brawijaya, Malang, ditambah pengetahuan dari jagat maya. Kemampuan dan keterampilannya membuat tahu makin terasah saat menjadi mahasiswa pascasarjana agrobisnis Universitas Muhammadiyah Malang.

“Banyak dosen yang senang hati berbagi ilmu dan pengetahuan membuat tahu dan produk olahan dari kedelai lainnya,” ujarnya.

Usahanya mulai berkembang dan makin maju setelah Rudik berinovasi membuat tahu spesial berbahan baku kedelai organik, yang dipasarkan untuk kalangan menengah ke atas pada 2007. Selama pabrik beroperasi, lonjakan produksi paling terasa pada hari besar Islam, terutama pada masa Lebaran, bisa mencapai 300 persen dibanding hari-hari biasa. Tentu saja kebutuhan bahan baku ikut melompat.

“Pengiriman bergantung permintaan, dan selama ini hubungan bisnis kami lancar-lancar saja,” kata Surya, perwakilan PT Tritunggal Artha Makmur di Surabaya, pengimpor kedelai dari Amerika yang berkantor pusat di Jakarta.

Keberhasilan Rudik merembes kepada para karyawan. Ia menggaji mereka dengan upah minimum. Tahun ini upah minimum Kabupaten Malang adalah Rp 1,635 juta. Bahkan khusus tukang—sebutan untuk karyawan yang menguasai seluruh proses produksi—gajinya di atas upah minimum.

Gaji itulah yang kini dinikmati Basori. Bekas pekerja serabutan, termasuk menjadi kuli bangunan, ini sudah tujuh tahun bekerja di tempat Rudik. Enggan menyebutkan jumlah, pria 36 tahun ini menyatakan gajinya cukup untuk menghidupi keluarga. “Lebih gede dibanding saat kerja serabutan,” ucapnya. DWI WIYANA, ABDI PURMONO (MALANG) 

Share this :

Previous
Next Post »