Merayakan Nagashi Soumen di Musim Panas

Jumat, September 07, 2012
Foto dan Naskah: ABDI PURMONO


FUJIEDA — Saya sudah berniat menyaksikan anak-anak muda Jepang berpesta yakiniku atau barbeku di Sungai Seto (Setogawa) di Kota Fujieda, Prefektur Shizuoka, Jepang bagian tengah. Sepeda dan kamera sudah saya siapkan.

Sungai menjadi ruang publik terbuka yang sangat disuka orang-orang Jepang (Nihon-jin) selama musim semi (haru) dan musim panas (natsu). Banyak sekali tepi sungai yang lapang disulap jadi taman (koen) terbuka yang cantik dan tempat warga berolahraga. Tepian sungai rutin dirawat sehingga tampak rapi dan bersih. Ditambah air nan bening, sungai pun menjadi tempat favorit bermain, berolahraga, berekreasi, dan berpesta di akhir pekan.


Tapi, niat itu mendadak saya batalkan gara-gara Kazuko Nanjo mengundang ke acara memikat dan belum pernah saya alami. Perempuan berumur 60 tahun itu mengajak mengikuti pesta kecil nagashi soumen di halaman rumahnya di Horinouchi, sebuah desa yang dikelilingi perbukitan di Fujieda. Nanjo-san juga mengajak sejumlah bocah agar kedua cucu perempuannya punya teman bermain. Keiji Nanjo, sang suami, turut terlibat.

“Ini yang keenam kali kami buat acara nagashi soumen. Biasanya bersama keluarga saja, tapi kali ini sengaja mengundang tetangga agar kita semua, khususnya anak-anak, menjadi lebih akrab,” kata Keiji Nanjo pada Senin siang, 20 Agustus 2012. 

Acara berlangsung sederhana tapi menyenangkan. Tuan rumah menyediakan semua kebutuhan. Anak-anak sangat bersemangat “menangkap” mie yang mengalir terbawa air dengan hashi (sumpit). Mie dimasukkan ke cangkir plastik dan cangkir bambu berisi kuah (tsuyu) dari kaldu (dashi) ikan cakalang (katsuobushi).

Keberadaan dashi teramat penting dalam khasanah kuliner Jepang. Hampir semua masakan Jepang mengandung dashi. Bahan dasar untuk dashi bisa berbeda di tiap daerah, tapi yang populer berbahan dasar dari ikan cakalang dan rumput laut atau kombu. Warga Osaka, misalnya, sangat menyukai dashi dari sababushi atau ikan makarel. Ikan makarel biasa diolah menjadi sarden.

Selain terkenal dengan Gunung Fuji serta teh hijau (ocha) dan jeruk (mikan), Prefektur Shizuoka juga terkenal sebagai salah satu daerah utama penghasil ikan cakalang sehingga wajar bila hampir semua kaldu berbahan dasar ikan tuna atau cakalang.

Ikan teri (niboshi) dan jamur shiitake juga merupakan bahan dasar dashi yang cukup populer. Bergantung pada jenis masakannya, dashi bisa ditambah dengan shoyu, mirin, dan cuka. “Kalau untuk nagashi soumen ini pakai dashi ikan tuna,” kata Mako Sugegaya, tetangga Nanjo-san.
                                                                                     
Di atas meja terhidang irisan bongkot atau kantan, rajangan kemangi jepang (shiso), dan jahe yang dihaluskan, ditambah rebusan ubi jalar ungu (beni imo) dan kentang. Sebotol besar minuman ocha dingin dan air mineral juga disuguhkan. Teh berasal dari kebun teh milik keluarga Anjo-san. Semua suguhan di meja tergantung selera.

Namun, prinsip dasar dan cara menikmati nagashi soumen tak berbeda-beda amat. Nagashi soumen merupakan kegiatan yang biasa dilakukan di musim panas. Secara harfiah, nagashi berarti “terbang”.

Sedangkan soumen (agar gampang diucapkan kita lafalkan saja jadi “somen”) adalah salah satu jenis mie yang populer dinikmati di musim panas. Somen biasanya dibuat dari tepung terigu. Ada juga yang dibuat dari gandum dan sayuran. Apa pun bahannya, somen bertekstur sangat lembut dan lazimnya dimakan dalam keadaan dingin. Makan somen dingin dipercaya berguna mendinginkan atau menenangkan perasaan di saat panas sedang menyengat tapi lembab.

Biasanya, di desa-desa, somen dialirkan bersama air bersih—bisa langsung diminum—lewat batang bambu yang dibelah dan disambung dengan posisi lurus melandai agar somen gampang dialirkan. Sekat-sekat di bagian dalam bambu sudah dibersihkan. Di ujung bambu diletakkan wadah saringan bambu untuk menampung somen yang lolos dari jepitan sumpit.

Seturut perkembangan zaman, peran bambu untuk nagashi soumen banyak diganti dengan pipa plastik seukuran bambu yang bisa dibongkar pasang dan biasanya disusun berkelok. Cangkir atau gelasnya pun diganti dengan cawan biasa. Wadah saringan bisa diganti dengan baskom berbahan keramik atau plastik.

Tapi, apa pun medianya, somen tetap saja “ditangkap” dengan sumpit (hashi) dan lalu dimasukkan atau dicelupkan ke dalam cangkir atau gelas berisi kuah. Boleh juga dimakan langsung. Dan, seperti kebiasaan orang Jepang makan mie, terdengar suara slurrrp saat somen diseruput ke dalam mulut. Acara makan somen boleh diselingi dengan menikmati menu lain sesuai selera masing-masing.

Menurut Nanjo-san, somen buatan sendiri jauh lebih nikmat dan segar dibanding somen kering yang dijual di toko-toko. Masalahnya, tak semua orang mampu membuat mie. Alhasil, somen kering jadi pilihan praktis. Somen kering ditiris ke dalam air yang mendidih dan setelah matang dicuci dengan air dingin—biasanya dengan menambahkan es batu.

Sejatinya, cara makan somen itu amat praktis tapi jadi tampak “meriah” saat dirayakan ala  nagashi soumen karena melibatkan banyak orang dan orang-orang yang terlibat senang-senang saja. Untuk urusan kreativitas, orang Jepang memang terkesan suka merepotkan diri atau “kurang kerjaan”, tapi esensi sosial dari nagashi soumen adalah mengakrabkan komunikasi dan hubungan personal.

Setelah puas merayakan nagashi soumen, saya langsung pergi ke Setogawa. Sayang sekali, pesta yakiniku di sana sudah selesai. ABDI PURMONO


CATATAN:
Artikel dengan judul yang sama dapat dibaca di:

https://travel.tempo.co/read/news/2012/09/03/204427182/merayakan-nagashi-soumen-di-musim-panas

Share this :

Previous
Next Post »