Bernostalgia Bersama Galeri Malang Bernyanyi

Jumat, September 07, 2012

Galeri Malang Bernyanyi di Jalan Citarum 17, Kota Malang.
Foto-foto: ABDI PURMONO

Bermula dari sebuah garasi, Galeri Malang Bernyanyi makin serius dikembangkan menjadi Museum Musik Indonesia pertama di Indonesia.
DUA pria sibuk membersihkan ruangan Galeri Malang Bernyanyi atau GMB pada Rabu, 29 Agustus 2012.

Lalu mereka berbagi tugas. Achmad Djauhari merapikan susunan ribuan kaset album lagu di rak papan. Fauzi Faisol memeriksa kardus-kardus berisi ratusan piringan hitam, cakram padat (compact disc), poster, buku, majalah, dan foto-foto artis.

Di hari yang sama Hengki Herwanto mengirim pesan pendek gembira dari Jakarta. Ketua Komunitas Pecinta Kajoetangan (Kapeka) ini memberitahu Ebiet G. Ade menyumbang sekeping album Masih Ada Waktu untuk GMB sesuai acara halalbihalal di kantor pusat PT Jasa Marga. Koleksi GMB pun bertambah menjadi 6.301 album.

“Hampir semua album di GMB berasal dari sumbangan. Tercatat ada 261 nama penyumbang yang terdiri dari masyarakat umum, musisi, dan institusi. Mayoritas album musik era 1970 dan 1980-an,” kata Hengki.

Sekitar 80 persen dari seluruh koleksi album berupa kaset. Album dalam bentuk piringan hitam dan cakram padat masing-masing sebanyak 5 persen. Sisanya campuran poster, buku, majalah, dan foto-foto. Belum semua tertata rapi. Banyak koleksi kaset masih utuh dalam tas-tas plastik. Sebagian malah menumpuk sehingga ruangan berukuran sekitar 24 meter persegi itu terasa sesak.

Hengki mengaku GMB belum bisa diurus optimal. Biasanya galeri baru buka jika ia sedang berada di Kota Malang tiap akhir pekan, Sabtu-Minggu. Sebagai Direktur Utama PT Transmarga Jatim Pasuruan, anak perusahaan PT Jasa Marga yang menangani pembangunan jalan tol Gempol-Pasuruan, Hengki lebih banyak berada di Sidoarjo. Lima temannya sesama pendiri Kapeka juga orang-orang sibuk.

Komunitas Pecinta Kajoetangan dibentuk oleh pada 8 Agustus 2009 oleh Hengki bersama Pongki Pamungkas, Agus Saksono, Lutfi Wibisono, Retno Mastuti, dan Rudi Widiastuti. Tiga seniman musik asal Malang, yakni Donny-Prass, Sylvia Saartje, dan Sigit Hadinoto juga tercatat sebagai pendiri. Kapeka beralamat di Jalan Bunga Gladiol 8, Kelurahan Jatimulyo, Kecamatan Lowokwaru.

Penggunaan nama Kajoetangan atau Kayutangan merujuk nama kawasan jalan protokol warisan Belanda yang menjadi pusat keramaian di Malang era 1960-1970-an agar bisa kembali menjadi ikon seperti Braga di Bandung, Malioboro di Yogyakarta, dan Tunjungan di Surabaya. Jalan Kayutangan kini jadi Jalan Jenderal Basuki Rahmat.

Enam pendiri Komunitas Pecinta Kajoetangan.
Pada tanggal yang sama, Kapeka mendirikan GMB. Pendirian galeri dicanangkan oleh Wali Kota Malang Peni Suparto di Hotel Kartika Graha. Sejak berdiri, kegiatan GMB dipusatkan di rumah kuno milik orangtua Hengki di Jalan Citarum 17, Kelurahan Purwantoro, Kecamatan Blimbing, Kota Malang.

Di rumah ini perwakilan majalah musik Aktuil pernah berkantor. Menempati bekas garasi berukuran 24 meter persegi, tak ada penanda apa pun untuk galeri kecuali sebidang halaman yang asri oleh serbaneka tanaman hias dan pintu kayu besar bercat putih.

Melalui pendirian GMB para pendiri Kapeka mempunyai visi ingin melestarikan sejarah musik Indonesia. Kapeka mengusung misi mengumpulkan rekaman musik Indonesia dan barang-barang lain yang terkait dengan musik yang berasal dari masyarakat. “Galeri bukan milik pribadi tapi milik komunitas atau organisasi, juga milik masyarakat,” kata

Di awal berdiri, GMB baru memiliki sekitar 100 album. Jumlah koleksi cepat bertambah berkat jejaring pertemanan. Profesi wartawan musik yang pernah digeluti Hengki sepanjang 1973-1980 juga membawa keberuntungan karena banyak seniman, khususnya musisi, yang mau membantu. Hingga pertengahan Oktober 2010, GMB sudah mengumpulkan sekitar 4 ribu rekaman dari sekitar 122 penyumbang. Dan kini jumlah koleksi sudah 6.301 album dari 261 penyumbang.

“Semua nama penyumbang dan album yang disumbang kami catat dengan diberi nomor urut. Nama dan nomor itu kami taruh di rak-rak kayu biar bisa dibaca,” kata pria 55 tahun itu.

Para penyumbang berasal dari hampir seluruh kota di Indonesia, seperti Jakarta, Bandung, Bekasi, Semarang, Solo, Surabaya, Bogor, Cirebon, Ponorogo, dan Malang. Bahkan, GMB juga menerima sumbangan dari Malaysia, Singapura, Amerika Serikat, Belanda, Prancis, Rusia, Kazakstan, Uzbekistan, dan Turki, sehingga GMB akhirnya “terpaksa” pula mengoleksi album-album musik dari luar Indonesia. Grup musik dan musisi asing yang tercatat antara lain Beatles, CCR, Deff Lepard, Fletwood Mac, Grand Funk, Railroad, Jean Michel Jarre, Judas Priest, Kool & The Gang, Pink Floyd, dan Ten Years After.

Galeri pun mengoleksi semua aliran musik dan penyanyi. Musik dangdut dan campusari pun ada. Namun, album pop dekade 1970-1980 paling banyak dikoleksi. Album rekaman paling tua antara lain album rekaman Oslan Husein, Harry Nurdi, Elly Kasim, Alfian, dan Titiek Puspa. Album-album dari era 1990 hingga 2000-an ada tapi tak banyak.

Untuk musik rock, misalnya, GMB mengoleksi antara lain album God Bless (Jakarta), Giant Step (Bandung), The Rollies (Bandung), serta SAS dan AKA (Surabaya).

“Kami memang tak membatasi genre atau aliran musik dan era musiknya. Karena kami memang bercita-cita menjadikan GMB tak hanya sebagai galeri musik pertama di Indonesia, tapi juga museum musik pertama di negeri kita. GMB ini embrio menuju ke sana,” kata dia.

Menurut Hengki, sampai sekarang tak ada lembaga yang khusus mengurusi penyelamatan sejarah musik Indonesia dengan cara mendokumentasikan album-album rekaman dalam rupa piringan hitam, kaset, dan cakram padat. Ada sejumlah kolektor album, tapi biasanya bersifat eksklusif untuk kepentingan pribadi kolektor. Sang kolektor hanya mengoleksinya sesuai tema atau aliran musik yang ia suka.

Koleksi terus bertambah tapi tak semuanya bisa diurus. Masalah tempat menjadi kendala utama yang dialami GMB. Saat ini Kapeka sudah mendapat rumah kontrak yang sangat layak di perumahan eksklusif Permata Jingga di Kecamatan Lowokwaru. Biaya kontrak tiga tahun ditanggung sepenuhnya oleh enam pendiri.

“Ya, kami juga yang menanggung biaya operasional sehari-hari. Banyak yang bantu dan rumah itu belum kami tempati karena masih diberes-beresi dulu agar layak dijadikan galeri.”

Agar dikenal luas, Kapeka rutin menggelar Festival Band Kajoetangan sejak 2010. Festival diikuti band-band di Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu) dan sekitarnya, seperti Pasuruan dan Surabaya.

Mayoritas band peserta adalah band indie. Tercatat ada Be Bee, Blater, Caramel, Cupid, Dey, Doketo, Dop, EMY, Fan, Flanela, Friends, Hectic, Kopi, Lima57, Mail Box, My Dear Friend, Rhea, Sakala, The Day, Violet, dan Volcano.

Dari tiap festival Kapeka membuat album kompilasi dari 10 band finalis.  Di tahun ketiga festival album kompilasi diberi judul “Malang Kembali Bernyanyi” dari band indie The Cigarette, Deja Vu, Iphot, Ishoku Ichi, Lunar, Psychoetnic, Seven-Q, Betterman, The Rolling Doors, dan Pirates.

Penggelaran festival band itu ditujukan untuk mengembalikan kejayaan musik Malang. Di era 1970-an, Kota Malang terkenal sebagai salah satu barometer musik Indonesia. Banyak musisi dan penyanyi top Indonesia berasal dari kota seukuran Singapura itu: Ian Antono, Abadi Soesman, Anto Baret, Sylvia Saartje, Totok Tewel, Inung Basuki, Kharisma Alam, Laily Dimjathie, Mickey Melkerbach, Mira Soesman, Mira Tania, Syaharani, Yuni Shara, dan Krisdayanti.

Cita-cita menjadikan GMB sebagai museum musik pertama di Indonesia itu mendapat dukungan banyak pihak, terutama dari kalangan musisi. Wartawan sekaligus pengamat musik Bens Leo termasuk pendukung berat GMB. Musisi senior ternama Ian Antono bahkan bersedia menjadi penasihat.

“Untuk sementara,” kata Hengki, “baru Mas Ian saja jadi penasihat GMB. Kami minta Mas Ian jadi penasihat bukan semata-mata karena ia arek Malang asli, tapi karena kontribusinya terhadap dunia musik sangat luar biasa.”

Hengki mencatat Ian sebagai musisi senior yang paling banyak berkolaborasi dengan musisi dan penyanyi lain tanpa membedakan jenis musik dan usia. Saat masih bersama grup Bentoel Band di kurun 1969-1974, Ian sudah menangani album-album penyanyi seperti Emilia Contessa, Trio The Kings, dan Anna Manthovani.

Di luar God Bless, antara lain, Ian pernah bekerja sama dengan Dolf Wemay, Franky Sahilatua, Grace Simon, Gong 2000, Hetty Koes Endang, Berlian Hutauruk, Ikang Fawzi, Iwan Fals, Micky Rainbow, Pretty Sisters, Titiek Hamzah, dan Nicky Astria.

Hasil kerja sama itu berbuah banyak hits dan sekaligus meroketkan penyanyinya, seperti vokalis Dara Puspita, Titiek Hamzah; Grace Simon, dan Nicky Astria dengan Jarum Neraka. Bahkan, kesuksesan Ian meroketkan nama Nicky Astria berdampak baik dengan munculnya sejumlah rocker perempuan seperti Cut Irna, Nike Ardilla, Mel Shandy, Ita Purnamasari, Conny Dio, dan Inka Christie.

Ian mendukung betul GMB. Setahu dia, belum ada orang atau lembaga di Indonesia yang sudi mengumpulkan karya-karya musisi dan penyanyi lama, yang belum tentu sang musisi atau penyanyi masih punya karyanya sendiri. Kehadiran GMB menjadi oase dari kekosongan itu.

“Saya malah tak punya beberapa album lama. Justru saya merasakan kehadiran GMB sangat tepat dan membantu. Saya akan ajak teman-teman saya untuk bantu Kapeka mewujudkan museum musik itu agar (GMB) tak hanya jadi galeri,” kata gitaris kawakan kelahiran Malang, 29 Oktober 1950 itu.

Ian sangat ingin memiliki album lawas Runtuhnya Keangkuhan (1980), hasil kerja sama dengan Hutauruk Sisters. Girlband ini terdiri dari Tarida, Rugun, Bornok, dan Berlian. 

Hengki bilang album Runtuhnya Keangkuhan ada di GMB, berupa kaset yang diproduksi Sky Record dan tercatat di GMB dengan nomor registrasi K 0349. Album ini disumbangkan oleh Hengki sendiri pada 22 Agustus 2009.

GMB butuh kerja keras untuk menjadi museum musik. Ian berharap GMB merapikan dulu database koleksi agar lebih mudah diakses bagi masyarakat yang membutuhkan. ABDI PURMONO 


CATATAN: 
Artikel serupa yang lebih pendek dimuat di halaman IV lembar sisipan Jawa Timur Majalah Tempo edisi 3-9 September 2012 dengan judul Museum Musik 'Kapeka'.


Share this :

Previous
Next Post »