Berpacu Menyelamatkan Ranu Pani

Jumat, September 07, 2012
Pembersihan Salvinia molesta Ranu Pani, 30 Juni 2012
Foto-foto: ABDI PURMONO

Kondisi Danau Ranu Pani terus memburuk akibat sedimentasi dan tertutup tumbuhan liar. Bila dibiarkan, dalam 20 tahun, danau itu lenyap.


DANAU Ranu Pani begitu biru dan tenang. Berada di kaki Gunung Semeru di Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, udara di sekitarnya selalu sejuk. Airnya pun dingin. Danau ini menjadi tujuan favorit wisatawan. Tapi itu cerita lima tahun lalu.

Kini, keindahan danau seluas 6,3 hektare itu mulai pudar. Hampir 80 persen permukaannya tertutup tanaman liar kiambang (Salvinia molesta), sejenis eceng gondok (Eichornia crassipes). Penduduk setempat menamainya gambas.

Tak hanya dipenuhi kiambang, air danau pun mulai surut. Dulu, kedalaman Ranu Pani mencapai 12 meter, kini tinggal 6 meter. Di sebagian titik malah kurang dari itu. Pendangkalan terjadi akibat erosi lahan pertanian dan ladang penduduk di sebelah barat danau.

“Laju erosi berkontribusi besar terhadap terjadinya sedimentasi, selain sampah rumah tangga dan sampah pertanian,” kata Luchman Hakim, dosen biologi Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya. “Kehadiran Salvinia molesta memperparah keadaan.” Bila dibiarkan, Luchman memperkirakan, dalam 20 tahun mendatang Ranu Pani akan lenyap.

Bukan tak ada usaha perbaikan oleh penduduk sekitar, terutama pemberantasan populasi kiambang. Masalahnya, laju pertumbuhan dan penyebaran tanaman liar ini sangat cepat. Sudah beberapa kali dilakukan, tapi selalu gagal.

Pada awal Juni lalu program pembersihan kembali digalakkan. Jangka waktu yang ditetapkan 60 hari. Targetnya, akhir Juli ini tanaman liar itu harus habis. “Kami harus cepat mengangkatnya agar tumbuhan ini tak berkembang biak,” kata Markasan, warga Dusun Besaran, Desa Ranu Pani, salah satu sukarelawan program ini.


Aksi bersih-bersih kali ini dimotori Japan International Cooperation Agency (JICA), yang bekerja sama dengan Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya, Kementerian Kehutanan, dan Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru.

Keterlibatan JICA, menurut Chief Advisor Hideki Miyakawa, adalah untuk membuat pedoman restorasi. Sebab, kerusakan Ranu Pani cukup serius. “Permukaannya sudah tertutup Salvinia molesta. Kami sedang melakukan restorasi untuk mengembalikan Ranu Pani seperti sediakala yang bebas dari Salvinia, termasuk bebas dari sedimentasi,” katanya.

Ranu Pani merupakan satu dari enam danau yang ada dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Lima danau lainnya adalah Ranu Regulo, Ranu Kumbolo, Ranu Darungan, Ranu Tompe, dan Ranu Pakis.

Dari enam danau tersebut, Ranu Darungan sudah mengering. Danau seluas 5.000 meter persegi itu berlokasi jauh di selatan Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang. “Kami berharap Ranu Pani tak seperti Ranu Darungan,” kata Sarmin, Kepala Resor Ranu Pani Balai Besar TNBTS.

Tanaman kiambang sebenarnya tak berbahaya. Bahkan berguna menyerap racun. Hanya, dalam jumlah besar, tanaman ini menjadi parasit. “Tidak saja mengancam satwa air seperti ikan, tapi juga bisa mematikan jasad renik penyeimbang ekosistem danau,” kata Anggoro Dwi Sujiarti, Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II.

Keberadaan kiambang di Ranu Pani hingga kini masih misterius. Ada dugaan tumbuhan ini dibawa oleh penduduk sekitar. “Rasa-rasanya tak mungkin bisa hadir begitu saja tanpa intervensi manusia. Sebab, Salvinia molesta bukan tanaman asli Indonesia,” ucap Anggoro.

Tanaman ini berasal dari Brasil. Kiambang biasa digunakan sebagai tanaman hias di dalam kolam atau akuarium. Semula, tumbuhan ini tak diberantas tapi dicoba dimanfaatkan oleh penduduk sebagai bahan pupuk. “Bakterinya tidak kuat,” kata Luchman Hakim, dosen biologi MIPA Universitas Brawijaya.

Emmy Endah Suwarni, Kepala Bidang Teknis Konservasi Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, mengatakan kegiatan restorasi Ranu Pani masuk proyek nasional Pedoman Restorasi Ekosistem Hutan Konservasi. Salah satu keluaran dari proyek ini adalah kajian, peraturan pedoman rehabilitasi atau restorasi, serta penyusunan draf pedoman restorasi di kawasan konservasi.

Sebenarnya kerusakan tak hanya di alami Ranu Pani tapi juga Ranu Regulo. Kedua danau tersebut terpisah 400 meter. Namun kerusakan terparah dialami Ranu Pani.

Luchman menjelaskan, ekosistem Ranu Pani dan Ranu Regulo merupakan salah satu ekosistem penting dalam taman nasional. Secara ekologis, peran dari ekosistem ini sangat penting sebagai habitat bagi organisme dalam lingkungan perairan dan organisme air lainnya.

Secara hidrologis, area Ranu Pani dan Ranu Regulo, serta Ranu Kumbolo, menjadi daerah tangkapan air. Ketiga danau tersebut mendapat air saat hujan (tadah hujan). Air juga muncul dari rembesan perbukitan yang masih hijau dan berhutan.

Berdasarkan analisis geomorfologi, diketahui bahwa Ranu Pani menjadi titik berkumpulnya debris erosi yang telah menampung debris setebal 9 meter di bagian tepi hingga 20 meter pada jarak sekitar 125 meter dari bibir danau. Sumber erosi dan gerakan massa ini yang menyebabkan tertutupnya danau.

Dari perspektif ekologi perairan, Ranu Pani dan Ranu Regulo sudah menderita eutrofikasi atau gangguan kesehatan dan keseimbangan ekosistem perairan karena limbah fosfat yang masuk ke badan perairan. Kondisi ini sering menyebabkan perkembangbiakan alga dan tumbuhan air berukuran mikro lainnya sangat cepat—dikenal dengan istilah blooming—yang secara ekologis berdampak negatif pada ekosistem danau.

Kondisi ini dicirikan oleh air danau yang berwarna hijau, mengeluarkan bau tak sedap, dan menyebabkan kualitas air menurun, serta sering diikuti dengan penurunan konsentrasi oksigen terlarut yang dapat menyebabkan kematian berbagai organisme di dalam air.

“Eutrofikasi itu dapat terjadi karena masukan limbah pertanian dan rumah tangga yang berada di sekitar Ranu Pani. Namun, yang sangat mengejutkan adalah perairan Ranu Regulo yang relatif alami (karena berbatasan dengan hutan) justru memiliki total phosphate yang sangat tinggi,” ujar Luchman.

Keberadaan fosfat di perairan mendorong pertumbuhan plankton dan tanaman air. Peningkatan produktivitas fitoplankton sebagai dasar dari rantai makanan di perairan akan menyebabkan peningkatan populasi zooplankton dan keseluruhan diversitas biologi di dalam sistem tersebut. Tapi penambahan fosfat terus-menerus justru mempercepat penuaan perairan. Perairan yang sehat mengandung fosfat kurang dari 0,05 miligram per liter (mg/L).

Area perairan Ranu Pani dan Ranu Regulo, yang berbatasan dengan hutan homogen, mencapai tingkat hipertrofik dan nilai fosfat melebihi baku mutu yang ditetapkan, yaitu 0,2 mg/L. Hal ini diduga karena kegiatan manusia di sekitar danau yang berkontribusi terhadap masuknya limbah ke dalam perairan.

Rata-rata kadar ortofosfat di Ranu Pani adalah 0,018-0,020 mg/L, lebih tinggi daripada kadar ortofosfat di Ranu Regulo (0,017-0,018 mg/L). Adapun kadar amonium di Ranu Pani berkisar antara 0,02 sampai 0,04 mg/L. Tingginya kadar amonium yang bersifat racun ini mengindikasikan perairan tersebut mengandung bakteri berbahaya.

“Warga di sini tahu Ranu Pani rusak berat, tapi tak tahu cara menyelamatkannya. Untungnya, mereka tak menolak dilibatkan dalam kegiatan restorasi, ucap Luchman. ABDI PURMONO


CATATAN: 

Artikel ini dimuat di rubrik Lingkungan majalah Tempo edisi 30 Juli-5 Agustus 2012, halaman 72-73.

Enam foto terkait bisa dilihat di sini: 

1. Gotong Royong Membersihkan Ranu Pani
2. Menikmati Keindahan Danau Ranu Kumbolo di Gunung Semeru







Share this :

Previous
Next Post »
6 Komentar
avatar

mohon untuk mengkonfirmasi kepada sumber berita dengan sebenar-benarnya untuk mendapatkan informasi yang valid dan akurat. informasi yang dimuat ini tidak semuanya benar ada yang perlu diklarifikasikan terlebih dahulu.

Balas
avatar

Terima kasih komentarnya, Mas. Tolong saya diberitahu informasi apa saja yang tidak valid dan akurat.

Balas
avatar

Cak Andik iku lho ditakoki Abel.

Roim

Balas
avatar

Suwun Cak Imron. Saya juga perlu bertanya ke Cak Andik karena dia yang menyebut adanya ketidakbenaran dalam laporan

Saya sudah berusaha bekerja sesuai kaidah jurnalistik yang berimbang, proporsional, dan yang terpenting akurat dan verikatif.

Bahwa kemudian ada orang yang "menuduh" ada informasi yang tidak valid dan akurat sehingga meminta saya mengkonfirmasi ke sumber berita (entah siapa sumber berita yang dimaksud karena ada 5 sumber berita), maka silakan saja ajukan langsung keberatan ke yang bersangkutan.

Jika memohon kepada saya untuk mengkonfirmasi ke "sumber berita dengan sebenar-benarnya...", bagaimana caranya jika saya tak tahu apa yang sebenarnya dipersoalkan.

Jadi wajar saya balik meminta tolong ke Cak Andik untuk memberitahu saya. Itu pun tak otomatis bisa mengubah isi berita karena bagi saya laporan itu sudah klir. Hingga sekarang tak ada keberatan atau komplain dari narasumber-narasumber yang dikutip dalam laporan itu.

Logikanya, narasumber itulah --bukan orang di luar pemberitaan--yang sepantasnya keberatan jika memang ada hal-hal yang tak patut dan tak benar dalam berita itu. Proses kerja jurnalistik yang saya lakoni tak sesederhana atau tak segampang pembaca berkomentar.

Jangan sampai masalah pribadi masuk ke ranah jurnalistik. Ini semata-mata untuk menghindari bias dan kemungkinan munculnya fitnah.

Sekali lagi, bagi saya, laporan itu sudah klir. Bila ada masalah pribadi, selesaikanlah sendiri "secara adat" dengan narasumber saya itu.

Demikian tanggapan saya. Mohon maaf lho bila saya terlalu lugas dan berterus terang. Matur sembah nuwun untuk Cak Andik dan Cak Roim untuk tanggapannya. Monggo ditanggapi jika masih ada unek-unek yang ingin disampaikan.

Abel

Balas
avatar

Aksi bersih-bersih kali ini dimotori Japan International Cooperation Agency (JICA), yang bekerja sama dengan Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Brawijaya, ( ini yang tidak benar)..... sejak april UB sudah tidak bekerjasama lagi dalam upaya pembersihan salvinia, semuanya udah dihandle sendiri oleh masyarakat setempat)....

Balas
avatar

Nah, saya jadi tahu apa yang dimaksud Cak Andik.

Menurut saya, dalam nalar jurnalistik, informasi itu bukan tidak benar, tapi kurang akurat. Bahwa benar JICA dan MIPA Unibraw pernah terlibat dalam aksi bersih-bersih Ranu Pani, tapi itu sebelum April 2012.

Saat di Ranu Pani sebelum bersama teman-teman ke Ranu Kumbolo, saya sempat keliling danau. Saya melihat ada tenda besar JICA di dekat kampung, persis di belakang warga yang sedang membersihkan Ranu Pani. Keberadaan tenda JICA itu saya tanyakan ke narasumber saya di Unibraw dan TNBTS—sebelumnya JICA sudah bertemu teman-teman wartawan di kantor TNBTS pada medio Desember 2011.

Didapat jawaban bahwa JICA memang terlibat, bahkan boleh dibilang sebagai sponsor utama. Tidak cuma di Ranu Pani, JICA membuat program restorasi berskala nasional di beberapa taman nasional.

Namun, yang disebut Cak Andik adalah MIPA Unibraw sudah tak terlibat lagi dalam pembersihan Ranu Pani sejak April. Hal ini saya tidak teliti karena fokus saya saat bertemu Pak Luchman memang bukan di situ. Saya ingin mencari tahu seberapa parah ancaman kerusakan Ranu Pani. Saya pelajari dokumen laporan restorasi yang berlogo JICA, TNBTS, dan MIPA Unibraw.

Cak Andik senang fotografi—itu bisa dilihat dari foto profilnya. Penggunaan foto warga sedang membersihkan Ranu Pani mengandung pesan bahwa warga sebenarnya berperan aktif besar dalam program restorasi. Makna dan kesan yang muncul akan berbeda misalnya jika foto yang saya kirim ke kantor hanya berupa foto danau yang tertutup Salvinia molesta tanpa aktivitas pembersihan oleh warga.

Warga yang jadi narasumber saya ada beberapa orang. Tapi Markasan yang paling lancar memberikan informasi. Seingat saya, si Markasan itu ada dalam foto. Posisinya persis menghadap ke saya tanpa menatap kamera saat membuang Salvinia molesta ke tepi danau dengan sekop garpu besar. Namun tak semua keterangan Markasan dan kawan-kawan relevan untuk dikutip dan dimasukkan dalam laporan. Begitu pula tak semua keterangan dari JICA, MIPA Unibraw, dan TNBTS layak dikutip.

Lagi pula substansinya bukan di situ. Saya tak sedang menulis siapa yang paling berperan dan berjasa besar dalam program restorasi. Keterlibatan dan atau sinergitas para pemangku kepentingan justru lebih baik bagi kelestarian Ranu Pani tinimbang mempersoalkan hal-hal semacam itu. Semua pihak berkontribusi besar.

Cak Andik, matur sembah nuwun untuk tanggapannya.

Balas