Mengulik Lima Kisah Klasik di Relief Candi Jago

Kamis, April 12, 2012
TEMPO, Rabu, 11 April 2012

Candi Jago, 31 Desember 2011
Foto-foto: ABDI PURMONO

TEMPO.COMalang — Suasana Candi Jago di Dusun Jago, Desa Tumpang, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang, yang biasanya hening menjadi semarak dari siang hingga sore pada Senin, 9 April 2012.

Penyebabnya adalah tarian yang disajikan sejumlah seniman dari Malang, Solo, Klaten, Yogyakarta, dan Bali. Mereka menarikan cerita klasik Arjunawiwaha dan Kunjakarna untuk menandai perhelatan Tahun Kunjungan Candi Jago 2012 yang digagas oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Malang.


Cerita wayang Arjunawiwaha aslinya berbentuk kakawin (tembang atau semacam pantun) karya Empu Kanwa yang hidup pada masa Raja Airlangga (1019-1042). Kecuali para penari Kunjarakarna, semua penari di kisah Arjunawiwaha tidak mengenakan topeng Malang.


Tarian kisah Kunjarakarna memang ditarikan dengan gaya topeng malangan, sedangkan tarian cerita Arjunawiwaha lebih banyak menampilkan unsur gerak dan mantra tanpa topeng. “Ditambah sentuhan gaya kontemporer,” kata Suryadi, juru kunci Candi Jago yang merangkap Koordinator Wilayah Malang Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur, kepada Tempo.


Menurut Suryadi, tarian Arjunawiwaha dan Kunjarakarna bersumber dari lima cerita klasik yang tertera pada relief-relief di tiga lapis dinding Candi Jago. Ia menjelaskan, pada kaki candi terdapat relief yang mengisahkan cerita Kunjakarna dan Pancatantra.


Cerita Kunjarakarna bertutur tentang seorang tokoh raksasa bernama Kunjarakarna yang taat beribadah menyembah sang Buddha.


Suatu saat, Kunjarakarna ditunjukkan para dewa keadaan mengerikan di neraka, tempat bagi orang-orang yang berdosa dan tidak taat pada ajaran Buddha. Kunjarakarna memiliki teman bernama Purnawijaya yang telah lasuk neraka. Kunjakarna meminta tolong pada para dewa untuk menyelamatkan Purnawijaya. Para dewa mengabulkan permintaan Kunjarakarna berkat kebaikan hati dan ketaatan Kunjarakarna pada sang Buddha.

Cerita Pancatantra ingin menguatkan kesan keutamaan sikap kebaikan seperti cerita Kunjarakarna. Namun, Pancatantra merupakan cerita klasik fabel (bertema binatang), mengisahkan seekor kerbau menolong seekor buaya yang tertimpa pohon tumbang. Namun, setelah ditolong, buaya malah ingin memangsa kerbau. Sekuat tenaga sang kerbau menanduk buaya hingga ke daratan. Lalu, penduduk di sekitarnya secara beramai-ramai datang dan membunuh buaya yang tak tahu berterima kasih pada si kerbau.


Relief dinding tingkat kedua mengisahkan cerita Parthayajna dan Arjunawiwaha. Kisah ini bersambungan, yaitu mengisahkan tokoh-tokoh Pandawa yang diusir dari istana dan dibuang ke hutan selama 12 tahun akibat kalah bermain dadu melawan Kurawa.



Salah satu tokoh Pandawa, Arjuna, melakukan tapa brata. Pada saat bertapa Arjuna mendapat senjata sakti dari Dewa Siwa. Dengan senjata ini Pandawa berhasil memenangkan Perang Bharatayudha melawan Kurawa.


Relief dinding tingkat ketiga Candi Jago mengisahkan cerita Kresnayana dengan tokoh Kresna pada masa muda. Ia juga tokoh utama selain Pandawa dalam cerita Mahabharata dari India. Kresna muda selalu nakal. Dan, karena kenakalannya, ia dikejar-kejar oleh raksasa bernama Kalayawana. Kresna lalu berlindung kepada pendeta sakti Resi Mucukunda.

Kalayawana terus memburu Kresna. Karena tak tahu sopan santun di hadapan Resi Mucukunda, akhirnya Kalayawana mati terbakar api yang keluar dari jari Sang Resi.

“Kalau berdasarkan relief-relief yang ada, memang sulit memahami semua cerita cerita klasik di tiga lapis dinding Candi Jago. Namun, dengan imajinasi dan kerja keras, alur cerita di masing-masing dinding bisa lebih dipahami. Setidaknya pengunjung bisa memahami moral ceritanya,” kata pria 52 tahun itu. ABDI PURMONO


http://www.tempo.co/read/news/2012/04/11/203396221/Mengulik-Lima-Kisah-Klasik-di-Relief-Candi-Jago

Share this :

Previous
Next Post »