Sebuah Kastil di Belantara Beton

Minggu, November 23, 2008
Majalah TEMPO, 17/XXXV 19 Juni 2006

Kastil Osaka (Osaka-jo), Selasa, 9 Mei 2006.
Foto-foto: ABDI PURMONO

Dalam sejarahnya, Jepang pernah memiliki 25 ribu kastil. Kastil Osaka adalah salah satu situs yang paling banyak dikunjungi pelancong.

SAYA tertegun sejenak. Agak keheranan. Saya menyangka, sebagai kota terbesar ketiga di Jepang setelah Tokyo dan Yokohama, Osaka tentu bersuasana supersibuk. Ternyata saya keliru.

Tiba di stasiun Shin-Osaka (Osaka Baru), setelah menempuh perjalanan selama satu jam 45 menit dari Stasiun Shizuoka, Selasa pagi pekan lalu, saya menyaksikan tiga ratusan penumpang keluar dari kereta mahacepat Hikari Shinkansen 401 dengan santai. Saya pun bebas melenggang tanpa khawatir bertubrukan dengan ribuan orang yang memacu langkah secepatnya dan bahkan sampai berlari, seperti yang saya lihat dan rasakan di sejumlah stasiun di Tokyo.


Saya melihat petugas stasiun berkemeja pendek bergaris-garis biru vertikal, dipadu celana panjang berwarna krem dan topi dinas berwarna hitam. Mereka kompak membungkukkan tubuh seraya mengucapkan ”Arigato gozaimasu” pada orang-orang yang keluar-masuk stasiun. Vokal dan aksentuasinya mantap. Mata berbinar, senyum mereka necis.


Orang Osaka (Osaka-jin) lebih hangat dan terbuka dibanding orang Jepang di daerah lain. Mereka punya dialek lokal, Osaka-ben. Boleh dikata, Osaka-jin mirip-mirip orang Surabaya dan Medan. Selera humor orang Osaka tinggi. Buktinya, pelawak manzai populer di Jepang kebanyakan berasal dari kota berpenduduk 2,63 juta jiwa itu. Banyak dari mereka yang kemudian menjadi presenter di stasiun televisi dan radio.


Komedi manzai bermula dari periode Nara (710-794) di daerah Kansai—ini sebutan umum untuk wilayah sekitar Kyoto, Osaka, dan Kobe. Seni melawak ini kemudian menyebar ke seluruh Jepang selama periode Edo (1600-1868). Pelawak manzai biasanya selalu sepasang: satu orang berperan sebagai si pintar (tsukkomi) dan seorang lagi bertugas sebagai si bodoh (boke).


Kini saya bergegas menuju ruang pusat informasi pariwisata. Cuma ada dua petugas perempuan. Mereka sangat cekatan. Saya diberi beberapa lembar kanko annai (panduan wisata). Gratis. Sebenarnya, tidak hanya di Osaka, di terminal bus dan stasiun kereta api di seantero Jepang disediakan brosur pariwisata daerah setempat secara cuma-cuma. Kebanyakan beraksara Jepang. Kini di kota-kota besar dan utama sudah mulai gampang didapati brosur pariwisata yang ditulis dalam bahasa Inggris dan atau bahasa asing lainnya.


Yang agak membedakan, petugas di stasiun dan tempat-tempat wisata di Osaka yang mampu berbahasa Inggris mungkin jauh lebih banyak dibanding di kota-kota lain. Hampir semua brosur pariwisata Osaka ditulis dalam dua-tiga bahasa sekaligus: Jepang-Inggris dan Jepang-Korea. Saya malah menemukan banyak brosur pariwisata yang ditulis dalam bahasa Korea saja.

Harap maklum. Beberapa orang Jepang kenalan saya memberi tahu bahwa Osaka juga menjadi kota tempat tinggal komunitas terbesar imigran Korea di Jepang. Mereka tinggal di sekitar Tsuruhashi, yang dicap sebagai Korean Town. Dulu, mereka adalah tawanan perang yang dijadikan buruh kasar di Jepang.



Dengan kereta komuter akhirnya saya tiba di sebuah taman seluas 1.070.000 meter persegi. Luas ini sudah mencakup lahan seluas 730 ribu meter persegi, yang menjadi zona inti dengan Kastil Osaka tegak menunjuk langit. Zona inti ini dikelilingi tembok sepanjang lebih dari 2 kilometer. Terik mentari mulai menyengat.

Di Taman Kastil Osaka, hampir semua tanaman menghijau di musim semi (haru). Semua amat mempesona, sampai akhirnya saya melihat lima tenda biru terpacak di kelindapan pohon-pohon. Di situ tampak pula sejumlah perabotan rumah tangga yang agak kumal. Tiga buah sepeda tergeletak begitu saja. Saya urung memotret pemandangan ganjil itu gara-gara dua pria yang berdiri dekat saya menatap penuh curiga. Kian jauh menyusuri taman, saya melihat banyak tenda biru berukuran besar milik para gelandangan.


Jepang yang makmur tidak sepi dari gelandangan. Departemen Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan (Kosei Rodosho) Jepang mencatat ada 25.296 orang tunawisma pada 2003, atau 0,019 persen dari 128 juta penduduk Jepang. Mayoritas mereka berada di dua prefektur (sederajat dengan provinsi): Osaka dan Aichi, plus Ibu Kota Tokyo. Di Prefektur Osaka ada 7.757 gelandangan, 6.603 orang di antaranya tinggal di Kota Osaka.


Tapi, bagaimanapun, Puri Osaka tetap menjadi kiblat. Bangunan lima lapis dengan delapan tingkat itu mudah dilihat dari kejauhan karena berada di dataran tinggi dan luas (flatland). Warnanya hijau muda, putih, dan keemasan. Saya sempat menyaksikan puluhan turis sibuk mengarahkan lensa kameranya ke arah landmark kebanggaan warga Osaka itu.


Halaman kastil nan luas sudah dipenuhi manusia. Ratusan anak sekolah berseragam putih-biru dari berbagai sekolah yang asyik bermain menambah riuh suasana. Dasar orang Jepang yang suka berkelompok, saya melihat 30 bocah dari sebuah taman kanak-kanak susah diajari dan diatur gurunya untuk berkumpul dan berbaris rapi. Salah satu kelompok pelajar saya lihat terburu-buru merapikan pakaian, duduk manis, dan mengeluarkan buku catatan ketika sang guru mulai bercerita sambil sesekali menengok ke belakang dan mengarahkan jari telunjuknya ke bangunan kastil.


Kastil Osaka ditetapkan pemerintah Jepang sebagai situs sejarah spesial. Saya harus membayar 600 yen (setara dengan Rp 48 ribu) untuk masuk ke dalam bangunan kastil. Petugas langsung membawa saya dan sejumlah turis ke lantai delapan dengan menggunakan lift. Semua pengunjung diperlakukan demikian dan selanjutnya silakan sibuk sendiri-sendiri.


Di lantai delapan semua bebas memotret. Dari lantai ini pula saya melepaskan pandang sepuasnya berdasarkan petunjuk foto berukuran besar yang ditempatkan di empat arah mata angin. Selain bagian taman yang asri, rimbun, menghijau, dari lantai delapan kita bisa mengenali hutan beton yang melingkungi area kastil.


Menatap ke timur, tampak JR Stasiun Osakajokoen, gedung Sumitomo, dan Hotel New Otani Osaka. Ke selatan, Rumah Sakit Nasional Osaka, gedung NHK, dan Museum Sejarah Osaka. Osaka City Hall, gedung Kantor Pusat Bank Daiwa, dan Gedung Internasional Osaka. Ke utara, Rumah Sakit Umum Kota Osaka, Stasiun JR Kyobashi, Menara Nasional, Osaka Business Park, dan gedung Matsushita milik Matsushita Electric Industrial. Grup Matsushita yang beken dengan merek Panasonic, memang berkantor pusat di Osaka.

Di lantai 7, 5, 4, dan 3 pengunjung disuguhi segala informasi yang berkaitan dengan riwayat hidup Toyotomi Hideyoshi dan keluarganya, Perang Musim Panas Osaka (Summer War of Osaka) yang termasyhur, dilengkapi dengan layar vision yang canggih dan bersuara bening, serta miniatur Kastil Osaka di era Toyotomi Hideyoshi, periode Edo, dan masa Restorasi Meiji.

Memang banyak kejadian menimpa kuil itu. Tapi mungkin yang paling menggetarkan adalah saat Toyotomi Hideyori, penguasa setempat, menghadapi mesin perang Tokugawa Ieyasu, penguasa wilayah timur yang tak terbendung, pada abad ke-16. Dunia di sekitar telah takluk, tapi sang Kastil tetap tegak, tak tersentuh. Keluarga Toyotomi dibela oleh ribuan ronin (prajurit dan samurai yang tidak lagi mengabdi pada penguasa wilayah dan bangsawan) yang mendendam karena junjungan dan keluarga mereka dihancurkan rezim Tokugawa.


Lanskap Kota Osaka dari lantai delapan Kastil Osaka. 
Pertempuran dan gencatan senjata silih berganti. Sampai akhirnya, tembok pertahanan kastil itu jebol dan pintu masuk terkuak lebar-lebar. Dukungan para ronin terus mengalir, menggenapkan kekuatan Toyotomi hingga 100 ribu orang. Tapi, Mei 1615, Tokugawa menyerang dengan prajurit dua kali lipat lebih banyak. Itulah Pertempuran Musim Panas (Natsu no Jin) yang sengit. Sebulan kemudian, pasukan Hideyori tak kuasa bertahan. Hideyori memilih bunuh diri daripada menyerah. Istana Osaka dihancurkan pasukan Tokugawa.

Rekonstruksi Kastil Osaka, baik yang sifatnya menghapus citra Toyotomi maupun sebaliknya, berlangsung terus. Pada Perang Dunia Kedua, seluruh Istana Osaka nyaris musnah gara-gara serangan udara pasukan Sekutu. Pada 1948, Istana Osaka dikembalikan Pasukan Sekutu kepada Jepang dan mulai direstorasi. Sial lagi, pada 1950, Kastil Osaka rusak berat diterjang topan Jane.

Sudah terlalu lama saya di dalam kastil. Melangkah pulang, saya menyaksikan gelombang turis yang baru masuk. Dari seorang petugas perempuan yang menjaga loket, saya memperoleh keterangan: di hari-hari biasa, Kastil Osaka dikunjungi sekitar 2.000 sampai 4.000-an orang. Di hari Minggu, pengunjung melonjak jadi 10 ribu sampai 20 ribuan orang. Katanya lagi, ”Waktu Goruden Uiku kemarin, yang datang sampai 60 ribu orang lebih per hari. Kami sampai minta bantuan pada orang-orang yang mau jadi sukarelawan, seperti yang Anda lihat di sana.” Jari telunjuknya diarahkan lurus ke halaman.


Goruden Uiku yang dia sebut merupakan lafal Jepang untuk Golden Week, yang merupakan libur terpanjang bagi orang Jepang dalam setahun. ”Hari kejepit nasional” ini mencakup libur Hari Hijau (Midori no Hi) 29 April, yang bertepatan dengan hari lahir (almarhum) Kaisar Hirohito; Hari Peringatan Konstitusi (Kempo Kinembi) 3 Mei, dan Hari Anak (Kodomo no Hi) 5 Mei.


Dalam sejarahnya, Jepang pernah memiliki 25 ribu kastil. Ini ditandai bermunculannya kota kastil (joka machi). Kota-kota kastil di Jepang berkembang pesat pada abad ke-14 dan ke-15. Pada periode Edo, ke-shogun-an Tokugawa menerbitkan kebijakan "one domain, one castle". Tapi sayang, sampai akhir zaman Edo, jumlah kastil kurang dari 200 buah, 70 kastil di antaranya masih memiliki gedung maupun menara utama (Tenshukaku). Dan, sekarang, kastil-kastil itu tinggal 63 buah: 12 kastil dalam bentuk asal, 26 kastil hasil rekonstruksi, dan sisanya berupa puing-puing yang direncanakan dibangun kembali.

Kastil Osaka sungguh bernasib mujur. Walau Osaka bukanlah pusat estetika adiluhung semisal Kyoto dan Nara, bukan pula dikenal sebagai kota kastil setua Himeji dan Akashi, nama Kastil Osaka tetap menjadi salah satu merek dagang pariwisata paling diandalkan oleh pemerintah Jepang.


Hal itu dimungkinkan karena luasnya taman kastil. Taman yang luas membuat Kastil Osaka menjadi tempat yang tepat dan favorit untuk mengadakan berbagai festival, pagelaran musik, aksi akrobatik, dan pertunjukan komik di setiap akhir pekan. Saya sempat menyaksikan konser mini musik di sana.



Kastil Himeji, Minggu, 6 Agustus 2006.
Padahal, jika ingin menikmati kastil yang paling jelita, anggun, dan tulen, Jepang punya Kastil Himeji alias Hakuro-jo (Puri Bangau Putih). Nilai sejarah kastil ini berkategori National Treasure dan oleh UNESCO ditetapkan sebagai Situs Pusaka Dunia (World Heritage Site). Kastil ini terdiri dari 8 gedung, 15 pintu masuk, dan temboknya cuma sepanjang 1.000 meter. Jelas, kaliber Kastil Himeji tak sepadan dengan Kastil Osaka.

SAYA mengayunkan kaki menuju Sungai Yodo (Yodogawa) di utara Kastil Osaka. Satu jam lalu saya masih menonton konser mini di depan Osaka-jo Hall. Dan sekarang, saya menyaksikan sungai yang menjadi sumber air utama untuk mengaliri parit kastil. Sungai Yodo adalah sungai terbesar di Osaka dengan garis kehidupan utama pada industri komersial. Yodogawa mengalir menuju jantung finansial kota, melewati pelabuhan industri berat dan bermuara di laut luas.


Konon, Osaka memiliki 808 buah jembatan, dengan berbagai model dan kaliber. Ini jumlah jembatan terbanyak di Jepang, yang membuat Osaka layak digelari sebagai metropolis air. Angka 808 itu tidak jitu, kecuali kita hanya mengikuti omongan orang-orang Osaka yang menyukai angka keberuntungan. Yang benar, Osaka memiliki 790 jembatan, yang 761 buah di antaranya dikelola Pemerintah Kota Osaka.


Taman dan sungai adalah pasangan klop. Sungai-sungai menyediakan air melimpah yang sangat dibutuhkan semua tanaman di taman, menjadi sumber air minum bagi warga kota, dan juga mendatangkan fulus bagi pengelola wisata air Aqua-bus.


Tempo dulu, Osaka memiliki perniagaan di atas air, mizu shobai. Banyak toko terapung yang bersolek. Sekarang istilah mizu shobai dipakai untuk melukiskan aktivitas dugem di Osaka. Dotombori menjadi distrik terbaik untuk menemukan mizu shobai. Di sini, tempat makan, tempat kongko-kongko, tempat hiburan, memenuhi bantaran sungai.


Masih banyak lagi tempat di Osaka yang ingin saya lihat dan rasakan. Suatu saat, saya akan kembali ke kota yang orang-orangnya senang melucu, berlogat ganjil, dan doyan makan itu. Kuidaore!
Begitulah budaya orang Osaka dalam urusan kuliner. Silakan makan sepuasnya sampai Anda semaput. Nah! ABDI PURMONO  


http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2006/06/19/PJL/mbm.20060619.PJL120831.id.html

Share this :

First