Membangkitkan Kembali Kejayaan Kopi Amstirdam

Selasa, September 27, 2016

Kopi dijemur di Dusun Sukosari, Desa Sukorejo, Kecamatan Tirtoyudo, Kabupaten Malang, Rabu, 14 Mei 2014. Naskah dan Foto: ABDI PURMONO

DESA Taman Kuncaran sepi. Kebun kopi ada di mana-mana, tapi tiada tampak warga memetik, menjemur, atau menggiling kopi.

“Musim panen kopinya masih lama, Mas. Kalau Sampean mau lihat, ya antara Juli sampai Oktober nanti  ke sini lagi,” kata Ngadiono, seorang warga desa, kepada saya, Rabu siang, 14 Mei 2014.

Desa Taman Kuncaran terdiri dari Dusun Krajan dan Dusun Taman Gilang. Suasana desa seluas 676 hektare di Kecamatan Tirtoyudo, Kabupaten Malang, Jawa Timur, itu tidak banyak berubah dibandingkan kunjungan saya pada awal Agustus 2012 (baca: Melacak Jejak Douwes Dekker di Malang).

Berada di kaki Gunung Semeru, gunung berapi tertinggi di Pulau Jawa (3.676 meter di atas permukaan laut), Desa Taman Kuncaran dianugerahi tanah subur yang ditumbuhi ratusan ribu pohon karet, kopi, dan cengkeh, yang tempo dulu dikelola Handelsvereeniging Amsterdam dengan nama Perkebunan Wonokoyuo mulai tahun 1891. 

Perkebunan Wonokoyo dibumihanguskan oleh pejuang saat terjadi Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948. Usai perang, Perkebunan Wonokoyo dinasionalisasi oleh pemerintah Indonesia pada 1950-an dan kemudian menjadi tanah persil atau menjadi obyek landreform yang dibagi-bagikan ke penduduk.

Sisa kejayaan Perkebunan Wonokoyo masih berbekas, misalnya, pada irigasi dan dam yang dulunya diduga menjadi saluran pembuangan limbah pengelolahan kopi. Tapi sebagian besar bangunan sudah tinggal reruntuhan atau beralih fungsi. “Semua reruntuhan pabrik dan infrastruktur sarana lainnya sudah tertutup tanah, bangunan rumah, atau sawah dan ladang,” ujar H. Sukarto, Kepala Dusun Taman Gilang.

Menurut Untung Slamet, bekas sekretaris Desa Taman Kuncaran yang kini menjadi staf Kecamatan Tirtoyudo, terdapat 282 hektare kebun kopi di desa itu. 

“Tempat ini merupakan salah satu sentra produksi kopi terbesar dan terbaik di Jawa Timur. Dari zaman Belanda sampai sekarang, semua produk biji kopi dijual di Dampit, sehingga produknya lebih dikenal sebagai ‘kopi dampit’. Padahal asalnya dari desa kami,” kata Untung, sambil membentangkan peta desa.

Kopi Taman Kuncaran dijemur, Rabu, 8 Agustus 2012.
Desa Taman Kuncaran terpaut jarak sekitar 10 kilometer dengan pusat Kecamatan Dampit. Sejak zaman rikiplik Belanda sampai sekarang, semua hasil perkebunan dari Taman Kuncaran diangkut dengan cikar, gerobak kayu yang ditarik sapi, kemudian dijual di pasar Dampit. Dampit berada di jalur transportasi utama yang menghubungkan Kabupaten Malang dengan Kabupaten Lumajang. Inilah yang membuat kopi dari Kabupaten Malang lebih dikenal dengan sebutan “kopi dampit”, bukan “kopi tirtoyudo”.

Hariyanto, Direktur Utama PT Asal Jaya, eksportir kopi yang berkantor di Jalan Semeru Selatan, Dampit, punya pendapat yang berbeda dengan Untung Slamet. Ia mengatakan, sebenarnya kopi dampit lebih banyak berasal dari kecamatan lain, terutama Ampelgading, Tirtoyudo, dan Sumbermanjing Wetan. Masyarakat setempat menyebut daerah itu dengan nama “Amstirdam”, akronim nama tiga kecamatan itu ditambah Dampit.

Produksi kopi asal Dampit sendiri sebenarnya sudah berkurang drastis akibat banyak lahan kopi jadi permukiman dan bangunan usaha. Berada di jalur provinsi yang menghubungkan Malang dan Lumajang, Dampit cepat berkembang jadi kota perniagaan di wilayah selatan Malang. Peran Dampit lebih mirip pasar induk yang menampung beragam hasil pertanian dan perkebunan, khususnya kopi.

“Hampir semua hasil panen kopi di Kabupaten Malang dikumpulkan dan diperjualbelikan di Dampit, meski lokasi penghasil kopi di tiap kecamatan itu berjauhan. Lalu dari Dampit dikirim ke Malang atau daerah-daerah lain di Indonesia, termasuk juga diekspor dengan brand kopi dampit,” kata Haryanto, Rabu, 14 Mei 2014.

Ia mengusulkan, sebaiknya merek kopi dampit diganti dengan nama “kopi amstirdam” supaya masyarakat di Ampelgading, Tirtoyudo, dan Sumbermanjing Wetan tidak cemburu. Nama kopi amstirdam lebih keren dan marketable lantaran ejaan dan pelafalan nama Amstirdam mirip banget dengan nama Amsterdam, Ibu Kota Kerajaan Belanda.

Puncak kejayaan kopi amstirdam berlangsung sepanjang kurun 1950-1970, lalu perlahan memudar dan benar-benar hancur pada awal 1990-an. Menurut Hariyanto, kehancuran kopi amstirdam gara-gara pedagang lebih mementingkan untung sesaat tanpa memikirkan nasib petani dan ogah menjaga kualitas kopi.

“Citra dan harga kopi amstirdam itu hancur bukan karena tidak enak, tapi dulu banyak dicampur atau dioplos dengan kopi luar Malang. Sampai sekarang kami tetap konsisten mengirim pure origin Dampit atau pure origin Malang, tapi tidak bisa langsung diterima pasar,” kata Hariyanto.
Menggiling kopi, Rabu, 8 Agustus 2012.
Asal Jaya semula berstatus Usaha Dagang Asal Jaya yang berdiri pada 1960 dan kemudian menjadi perseroan terbatas pada 1994. Sepanjang 1980-1993 Asal Jaya bertindak sebagai pengumpul kopi sebelum dikirim ke daerah-daerah di Indonesia. Di Jawa Timur ada 100-an eksportir kopi, tapi hanya sedikit yang mendapat penghargaan sebagai eskportir berprestasi.

“Mulai tahun 1994 kami mencoba memperkenalkan lagi merek kopi amstirdam ke buyer di luar negeri. Awalnya, harga tetap murah dulu, baru pelan-pelan harga dinaikkan. Toh pasar tetap menerima bila harga sesuai dengan kualitas. Karena kinerja kami, tiap tahun kami dapat penghargaan dari Pemerintah Provinsi Jawa Timur sebagai eksportir berprestasi,” kata dia.

Kopi yang dieskpor dalam bentuk biji yang sudah dipanggang (roasted coffee) atau dijemur dan dalam bentuk masih berkulit, tergantung permintaan pasar. Ekspor terbanyak ke Eropa, khususnya Jerman, serta Jepang dan Singapura.

Namun, hingga kini, jumlah produksi kopi dampit yang diserap tidak sebanding dengan kapasitas pabrik. Rata-rata per tahun Asal Jaya mengekspor 55 ribu ton kopi, sedangkan rata-rata produksi kopi Malang hanya 6.000-7.000 ton per tahun. Mayoritas kopi yang dieskpor jenis robusta. Jenis arabika hanya sekitar 300 ton.

Lantaran produksi kopi di Malang kurang, Asal Jaya mendatangkan kopi dari daerah lain, seperti Lampung dan Aceh. Bahkan, saat betul-betul paceklik, Asal Jaya terpaksa mendatangkan kopi dari Vietnam, Laos, dan Timor Leste. Kopi yang diimpor ditampung di gudang Asal Jaya di Gempol, Pasuruan.

“Terpaksa, Mas. Yang penting seribu karyawan saya tetap bekerja. Kalau mereka nganggur, yang rugi kami juga. Nasib karyawan tetap dibela, dan kepercayaan importir harus dijaga,” ujar Hariyanto.

Untuk menjaga loyalitas petani, Asal Jaya membeli kopi mereka seharga Rp 24.200 per kilogram. Harga pasaran kopi memang naik-turun tergantung musim, tapi Asal Jaya berani mematok harga lumayan tinggi seperti yang diminta petani. Kalau pas masa panen raya (Juli-Oktober), harga kopi turun di kisaran antara Rp 19 ribu sampai Rp 22 ribu. Tapi Asal Jaya masih berani mematok Rp 23 ribu per kilogram.

Suparno, petani kopi di Dusun Sukosari, Desa Sukorejo, Kecamatan Tirtoyudo, sekitar 10 kilometer dari Desa Taman Kuncaran, mengatakan rutin menjual kopi langsung ke Asal Jaya dengan harga Rp 24 ribu per kilogram. Pria 56 tahun ini mempunyai seperempat hektare kebun kopi yang menghasilkan 3-4 kuintal biji kopi.

“Kalau sekarang belum musim panen. Tapi saya sedang butuh duit, makanya kopi yang belum matang benar ini terpaksa saya panen. Harganya memang turun sedikit, tapi itu masih lebih baik daripada dijual ke tengkulak,” kata Suparno yang ditemui saat sedang menjemur kopi.


Sejumlah warga dan pedagang di Tirtoyudo dan Dampit mengatakan, untuk meningkatkan pamor dan harga, sekarang sedang digencarkan varian kopi luwak dampit. Harga pasarannya berkisar Rp 70 ribu per 50 gram sampai Rp 650 ribu per 500 gram. “Kopi luwak sedang ngetren di kalangan petani,” kata Zaini Ilyas, seorang petani sekaligus pedagang kopi di Dampit.

Masalahnya, kata Zaini, harga jual kopi Amstirdam ke luar Malang cenderung menurun akibat masuknya kopi dari daerah lain lain yang kemudian diklaim sebagai kopi amstirdam atau kopi dampit asli. Cilakanya, harga kopi dari luar Malang lebih murah dari kopi asli Malang, berselisih harga antara Rp 1.000 sampai Rp 2 ribu per kilogram. Selisih harga ini sangat disukai tengkulak.

“Harus ada intervensi pemerintah daerah, misalnya dengan melakukan sosialisasi tentang cara pemupukan yang benar. Kalau tidak, citra dan kualitas kopi dampit bisa kembali rusak dan bahkan hancur seperti dulu,” kata Zaini.

Koran Tempo, Minggu, 18 Mei 2014.

PEMERINTAH Kabupaten Malang bertekad mengembalikan kejayaan kopi dampit, khususnya jenis robusta yang cocok dengan topografi lahan.

Bupati Rendra Kresna mengatakan, Kabupaten Malang punya lahan kopi robusta dan arabika masing-masing seluas 13.568 dan 1.020 hektare. Seluruh lahan kopi robusta mencakup tanaman yang sudah menghasilkan, tanaman belum menghasilkan, dan juga tanaman rusak.

“Kami ingin mengintensifkan budidaya kopi robusta untuk memenuhi permintaan pasar kopi dunia dari Malang yang cenderung meningkat,” kata Rendra pada Kamis, 8 Mei 2014.

Gerakan intensifikasi penanaman kopi mencakup perluasan tanaman kopi dengan menyediakan benih unggul, pendampingan dari sektor on farm hingga off farm, serta pembinaan terhadap petani dengan menggunakan Anggaran Pendapatan Belanja Daerah dan Anggaran Pendapatan Belanja Negara.

Program tersebut dicanangkan untuk merespons Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kopi yang dicanangkan Pemerintah Pusat pada 2009 agar Indonesia tetap masuk tiga besar produsen kopi dunia setelah Brasil dan Kolombia. 

Rencana perluasan lahan budidaya kopi di Kabupaten Malang dipusatkan di empat kecamatan “Amstirdam”, dengan melibatkan 8.773 orang petani yang tergabung dalam 200 kelompok tani, serta lima eksportir.

“Pengembangan kopi di lereng Semeru telah diakui penikmat kopi dunia. Hal itu bisa dibuktikan dengan adanya sertifikat 4C (Common Code for the Coffe Community) Association untuk kopi dari daerah kami,” kata Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Tomie Herawanto.

4C Association adalah sebuah asosiasi industri kopi dunia (produsen, prosesor, trader, pemerintah, dan lembaga swadaya internasional), yang berkantor pusat di Bonn, Jerman. Sertifikat 4C Association berlaku tiga tahun dari Maret 2014 sampai Maret 2017.

Menurut Tomie, meski jenis robusta yang paling sesuai dengan topografi Kabupaten Malang, pemerintah daerah berusaha menggenjot produksi kopi arabika karena harganya lebih mahal dan permintaan pasar dunia terus meningkat.

“Tren ekspor kopi dari daerah kami sedang bagus. Kopi masuk sepuluh besar komoditas ekspor andalan kami pada tahun lalu,” kata dia.

Tomie mencontohkan, nilai ekspor pada triwulan ketiga 2013 mencapai sekitar US$ 215,8 juta atau setara Rp 2,5 triliun untuk 133 ribu ton kopi. Nilai ini naik 5,55 persen dari periode serupa tahun 2012 yang hampir US$ 204,5 juta untuk sekitar 125 ribu ton kopi. ABDI PURMONO



CATATAN: 

Naskah asli artikel di atas diedit redaksi dan kemudian dimuat di halaman 9 Koran Tempo, Minggu, 18 Mei 2014, dengan judul yang sama. 


Share this :

Previous
Next Post »