Lore Lindu Bisa Jadi Warisan Dunia Jika Penuhi Nilai Universal Luar Biasa

Sabtu, September 21, 2019
Kalamba di Situs Pokekea, Lembah Behoa, Desa Hanggira, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, Senin, 7 Mei 2018. Foto: ABDI PURMONO

Kawasan Megalitik Lore Lindu bisa jadi warisan jika memenuhi minimal dua dari sepuluh kriteria Nilai Universal Luar Biasa yang dibuat Komite Warisan Dunia UNESCO.

MALANG — Wilayah cagar budaya di Provinsi Sulawesi Tengah sedang disiapkan sebagai warisan dunia. Wilayah cagar budaya ini berintikan gabungan empat kawasan megalitik yang dinamakan Kawasan Megalitik Lore Lindu atau disingkat KMLL.

Luas wilayah cagar budaya itu 156.126 hektare dengan KMLL seluas 692 hektare. KMLL mencakup tiga lembah (Bada, Behoa, dan Napu) di Kabupaten Poso, yang biasa disebut sebagai Lembah Lore Lindu, ditambah satu kawasan gabungan Lembah Palu dan Danau Lindu di Kabupaten Sigi.

Kawasan Megalitik Lore Lindu juga jadi daerah penyanggah kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Luas TNLL sekitar 215 ribu hektare yang lahannya terbentang di Poso dan Sigi—dulu Kabupaten Donggala sebelum Sigi jadi kabupaten.

“Kalau dikaitkan dengan TNLL, memang keberadaan KMLL berada di luar zona mereka karena sampai sekarang hanya beberapa titik situs yang masuk zona inti TNLL. Zona pengelolaan KMLL dan TNLL berbeda. Mereka (Balai Besar TNLL) gunung dan hutan, kami lebih ke permukiman penduduk,” kata Ketua Unit Pelindungan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Gorontalo Romi Hidayat kepada saya, Rabu, 11 September 2019.

Wilayah kerja BPCB Gorontalo meliputi Provinsi Sulawesi Utara, Provinsi Sulawesi Tengah, dan Provinsi Gorontalo.

BPCB sedang menyiapkan naskah pengajuan KMLL sebagai Warisan Dunia ke Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO. Secara spesifik, BPCB mengincar gelar warisan budaya dunia bagi KMLL. Naskah ini ditargetkan rampung pada 2020.

Menurut Romi, KMLL dapat menjadi warisan dunia UNESCO asalkan memenuhi minimal dua dari sepuluh kriteria nilai universal luar biasa atau outstanding universal value (OUV) warisan dunia yang ditetapkan Komite Warisan Dunia UNESCO.

Patung Tadulako setinggi 2,20 meter di Situs Tadulako, Lembah Behoa, Desa Doda, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, Senin, 7 Mei 2018. Foto: ABDI PURMONO

Nilai universal luar biasa mengandung makna penting dari segi budaya dan atau alam yang sangat luar biasa sehingga melampaui batas nasional dan mempunyai nilai penting bagi generasi sekarang maupun mendatang dari semua umat manusia.

Enam dari sepuluh kriteria berlaku untuk kategori budaya dan empat kriteria untuk kategori alam. Enam kriteria untuk kategori budaya (1) mewakili suatu mahakarya kejeniusan kreatif manusia; (2) menunjukkan pentingnya pertukaran nilai-nilai kemanusiaan, dalam suatu rentang waktu atau dalam suatu kawasan budaya di dunia, dalam pengembangan arsitektur atau teknologi, karya monumental, tata kota atau desain lanskap.

Lalu, (3) memiliki keunikan atau sekurang-kurangnya pengakuan luar biasa terhadap tradisi budaya atau peradaban yang masih berlaku maupun yang telah hilang; (4) merupakan contoh luar biasa dari suatu jenis bangunan, arsitektural atau himpunan teknologi atau lanskap yang menggambarkan tahapan penting dalam sejarah manusia.

Kelima, merupakan contoh luar biasa tentang pemukiman tradisional manusia, tata-guna tanah, atau tata-guna kelautan yang menggambarkan interaksi budaya (atau berbagai budaya), atau interaksi manusia dengan lingkungannya, terutama ketika pemukiman tersebut menjadi rentan karena dampak perubahan yang menetap.

Keenam, secara langsung atau nyata dikaitkan dengan peristiwa atau tradisi yang berlaku, dengan gagasan, atau dengan keyakinan, dengan karya seni dan sastra yang memiliki nilai universal yang signifikan. 

“Kami optimistis KMLL memenuhi beberapa kriteria itu, tapi semuanya masih dalam proses penyusunan naskah. Senyampang naskah disusun, tahun ini juga kami buat zonasi-zonasi atau semacam garis di KMLL yang membatasi areal situs cagar budaya yang dilindungi, dikembangkan, dan dimanfaatkan,” ujar Romi, arkeolog lulusan Universitas Udayana, Denpasar, Bali.


Arca manusia di Situs Pokekea, Lembah Behoa, Desa Hanggira, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, Senin, 7 Mei 2018. Foto: ABDI PURMONO

Penyusunan naskah dan pembuatan zonasi merupakan tindak lanjut dari hasil Kajian Delineasi Kawasan Megalitik Lore Lindu, September 2018. Delineasi berarti pemetaan kawasan yang bertujuan untuk menentukan garis batas ruang KMLL sebagai dasar pembentukan ruang pelestarian yang meliputi ruang pelindung, pengembang, dan pemanfaatan.

Dari kajian delineasi diketahui di dalam KMLL terdapat 118 situs atau lokasi yang berisi 2.007 tinggalan arkeologi. Tinggalan arkeologi ini bervariasi lebih dari 20 jenis dan didominasi tinggalan arkeologi Zaman Megalitikum atau zaman prasejarah alias zaman pra-abad Masehi.

Jenis arkeologi itu, antara lain, kalamba/tong batu atau stone-vats, dolmen (meja batu datar), menhir (batu tegak), dakon, lumpang, batu berlubang, tempayan kubur batu, peti kubur, batu berlubang, altar batu, umpak, dan jalan batu.


Selain tinggalan arkeologi itu, di KMLL juga ditemukan sebaran fragmen gerabah motif terakota dalam jumlah banyak di sejumlah lokasi. Menurut Romi, sebaran fragmen gerabah KMLL mengindikasikan adanya ruang aktivitas permukiman kuno di Lore Lindu, sekaligus menunjukkan kesinambungan aktivitas manusia dari zaman prasejarah ke zaman yang lebih muda.

Kesinambungan itu dicontohkan Romi dengan penggunaan umpak batu dan cobek batu oleh manusia modern Indonesia. Umpak batu masih ditemukan dipakai saat membangun rumah. Sedangkan cobek batu biasa digunakan saat membuat sambal.

“Temuan-temuan arkeologi di KMLL bukan sebuah kebetulan dibuat. Kemungkinan besar semuanya ada tujuan yang saling berkaitan. Masih banyak lagi teka-teki maupun misteri yang harus terus diteliti,” kata Romi.

Tentu saja terlalu dini untuk menyimpulkan bahwa KMLL memenuhi seluruh kriteria OUV. Namun, Romi menekankan, KMLL memenuhi nilai penting sejarah, nilai penting ilmu pengetahuan, dan nilai penting kebudayaan sebagaimana dimaksudkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.

Nilai penting KMLL meliputi tiga hal. Pertama, di KMLL ditemukan tulang-tulang tubuh manusia dalam kalamba di Situs Wineki di Lembah Behoa, Desa Hanggira, Kecamatan Lore Tengah. Tulang-tulang ini diperkirakan berkurun waktu 2351-1416 Sebelum Masehi dan kemungkinan punah dalam kurun antara 1452 sampai 1527 Masehi. Temuan tulang-tulang ini mengindikasikan KMLL merupakan kawasan megalitik tertua di Indonesia.

Kedua, sebaran2.007 tinggalan arkeologi di KMLL sangat berkaitan dengan kepercayaan dan pemukiman di masa lalu. Berdasarkan analisis tipologi pada masing-masing tinggalan arkeologi, secara umum karakteristik situs di KMLL dapat dikategorikan sebagai situs profan, situs sakral, serta paduan profan dan sakral. 

Adapun secara spesifik, tinggalan arkeologi di KMLL mengindikasikan adanya situs permukiman, situs penguburan, situs pemujaan, dan situs perbengkelan.


Dolmen atau meja batu datar dalam posisi terbalik yang ditemukan di Desa Lumamba, Situs Pokekea, Lembah Behoa, Desa Hanggira, Kecamatan Lore Tengah, Kabupaten Poso, Provinsi Sulawesi Tengah, Senin, 7 Mei 2018. Foto: ABDI PURMONO

Romi menekankan, seluruh tinggalan arkeologi di KMLL menjadi kekayaan cagar budaya yang sangat langka, yang enggak mudah ditemukan di belahan dunia lain sehingga KMLL jadi kawasan cagar budaya mahapenting tidak hanya bagi Sulawesi Tengah, melainkan bagi Indonesia dan dunia.

“Lembah Lore Lindu jadi tempat yang unik untuk menggali lebih jauh petunjuk-petunjuk penting mengenai sejarah migrasi manusia, misalnya, karena ada kemiripan dengan segelintir lokasi di negara lain seperti di Laos,” kata Romi.

Ia menekankan KMLL harus dilindungi dan dilestarikan hingga ke jenjang pelindungan tertinggi melalui UNESCO. Selain pembuatan zonasi, BPCB Gorontalo juga terus Pemerintah Kabupaten Poso dan Pemerintah Kabupaten Sigi untuk segera membuat regulasi penetapan KMLL sebagai kawasan cagar budaya. Penetapan oleh pemerintah daerah akan memunculkan program kerja yang integratif dan berkelanjutan.


Tanpa regulasi penetapan cagar budaya, maka nanti susah memperjuangkan KMLL ke UNESCO karena penetapan oleh kedua pemerintah daerah itu merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi.

Terakhir, ketiga, kawasan Taman Nasional Lore Lindu sudah ditetapkan sebagai cagar biosfer oleh UNESCO pada 1977 dan pengelolannya dikembangkan melalui Man and the Biosphere Programme (MAB) UNESCO. Di dalam kawasan taman nasional ini terdapat sejumlah situs cagar budaya sehingga dibutuhkan koordinasi pula antara BPCB Gorontalo dengan Balai Besar TNLL, serta pemangku kepentingan lainnya. ABDI PURMONO

Sejumlah peneliti dan juru pelihara sedang meneliti tinggalan arkeologi di Situs Tadulako, Lembah Behoa, Desa Doda, Kecaman Lore Tengah, Senin, 7 Mei 2018. Foto: ABDI PURMONO


Share this :

Previous
Next Post »