Menikmati Minggu Pagi di Kota Palu

Minggu, Mei 27, 2018

SAYA mendapat kesempatan mengunjungi Kota Palu saat menjadi penguji Uji Kompetisi Jurnalis yang diadakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Palu, Ibu Kota Provinsi Sulawesi Tengah, pada Sabtu-Minggu, 5-6 Mei 2018.

Di hari kedua, saya bersama dua orang penguji jalan-jalan pagi untuk penyegaran. Kami berangkat dari lokasi penginapan di Kelurahan Kabonena, Kecamatan Ulujadi, hingga Jembatan Palu IV atau Jembatan Ponulele di Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat.

Sebenarnya kami ingin melihat kemunculan buaya-buaya di perairan Teluk Palu sebagaimana ramai diberitakan oleh media massa. Karena lokasinya cukup jauh dan kami hanya punya waktu 2 jam sebelum pelaksanaan UKJ hari kedua, maka kami selingi perjalanan kami kami dengan menumpangi taksi online hingga Jembatan Palu IV. Kami belum beruntung karena tak seekor pun buaya tampak.

Selebihnya, meski sebentar, kami bisa melihat Masjid Apung Palu yang bernama asli Masjid Arqam Bab Al Rahman yang dibangun pada 2011, spot Anjungan Nusantara yang mengingatkan saya pada Pantai Losari, serta kebiasaan warga kota yang mandi-mandi di pantai.

Kata Ochan, penduduk Palu, biasanya banyak orang mandi di tepian perairan Teluk Palu. Tapi sejak kemunculan banyak buaya, orang yang mandi-mandi tidak sebanyak dulu.


Lumayanlah pengalaman yang kami dapat walau sasaran utama tidak dijumpai. Selama di kota “kaledo” ini saya merasakan arus lalu lintas lancar-lancar saja, tidak seperti yang alami di beberapa kota, termasuk kota tempat saya menetap. Kota seluas 395 kilometer persegi ini dihuni penduduk kurang dari 350 ribu jiwa, jadi wajar juga kalau kotanya lebih tenang dan lengang dibanding Kota Malang yang saya tempati.

Penduduk kota yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Donggala pada 1994 ini bersikap ramah, hangat, dan terbuka. Kota penghasil telur ayam terbanyak di Provinsi Sulawesi Tengah ini adalah sebuah melting pot, tempat berbaurnya penduduk asli dan penduduk pendatang. Sebagian besar penduduk berasal dari wilayah selatan seperti suku Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja. Merekalah yang menguasai hampir 80 persen perekonomian di Kota Palu.


Keragaman suku di Kota Palu adalah berkah karena bisa menjadi modal besar untuk memajukan kota bila semuanya kompak bekerja keras. Seperti watak kota lainnya, Kota Palu bukan hanya milik kelompok tertentu, tapi milik semua orang, termasuk para pendatang. Pemerintah daerah setempat pun harus mampu bersikap adil terhadap setiap golongan dan kelompok masyarakatnya.

Hal itulah yang saya pikirkan saat berada di Jembatan Palu IV sambil menatap permukaan laut yang keruh.

Permukaan laut yang keruh cukup luas dan itu sempat saya lihat dari jendela pesawat yang menerbangkan saya dari Makassar ke Palu. Dari beberapa cerita kawan, kekeruhan air berasal dari kegiatan penambangan pasir dan batu (sirtu) di hilir.

Permukaan tanah Palu yang labil mengandung potensi pasir dan batu (sirtu). Terdapat jutaan meter kubik sirtu yang tersebar di seluruh sungai yang mengalir di Palu, sungai kering maupun sungai aktif. Sejak lama potensi ini dieksploitasi dan "diekspor" atau diantarpulaukan oleh pihak swasta dan kemudian diambil alih Pemerintah Kota Palu.

Informasi yang saya terima, limbah penambangan sirtu yang memasuki perairan Teluk Palu bukan lagi dari wilayah Kota Palu, melainkan dari aktivitas penambangan sirtu di wilayah Kabupaten Sigi dan Kabupaten Donggala.

Sayang sekali teluk yang indah bergaris pantai 43 kilometer dengan luas perairan 10.066 hektare itu sampai tercemar limbah. Pemerintah kota setempat harus mampu mengatasinya. ABDI PURMONO



Share this :

Previous
Next Post »