Mayoritas industri televisi lebih mengedepankan misi bisnis ketimbang bersungguh-sungguh melaksanakan misi sebagai media pendidikan, kontrol dan perekat sosial, informasi, hiburan yang sehat, dan kebudayaan sebagaimana ditentukan dalam UU Pers dan UU Penyiaran.
TELEVISI
mempunyai kekuatan untuk
menggeser budaya manusia yang semula didominasi budaya baca-tulis, budaya yang
mendorong masyarakat berpikir rasional, menjadi budaya televisual yang hanya
menekankan pada tayangan menarik dan menghibur penonton (Neil Postman, Amusing
Ourselves to Deadth, 1985). Anda bisa lihat videonya di kanal Youtube.
 
Di
Indonesia, televisi sudah seperti menjadi kebutuhan pokok setara beras yang
harus ada di tiap rumah tangga. Watak televisi yang audio-visual menjadikan
konten televisi tampak lebih nyata, menarik, atraktif, dan interaktif. 
Televisi
makin disuka masyarakat, antara lain, karena gampang dan murah dinikmati. Konten
televisi bisa dinikmati tanpa harus punya kemampuan membaca seperti halnya
saat membaca koran. Televisi menyediakan beragam hiburan seperti musik dan film
secara gratis kecuali menikmatinya melalui saluran televisi berlangganan. 
Infotainment menjadi salah satu
tayangan hiburan andalan televisi dan pernah sangat mendominasi program siaran
televisi sehingga infotainment
menjelma layaknya sebuah siaran yang wajib ditonton. Namun, sekarang, pamor infotainment tidak sejaya dulu karena disaingi program variety show dan sinetron.
Secara harfiah, infotainment merupakan kata lakuran atau campuran kata (portmanteau) bahasa Inggris: information (informasi) dan entertainment (hiburan). Di Amerika Serikat dan Inggris, tayangan infotainment sudah ada
sejak lama sebagai bagian dari praktik yellow journalism. 
Dalam
tulisan berjudul That’s Infotainment, 30 April 2001, mahaguru The School
of Communication at American University, Amerika Serikat, Matthew C. Nisbet,
menyatakan bahwa infotainment sebagai soft journalism, yang
liputannya mencakup berita sensasional, tentang selebritas, kriminal, dan
paranormal. 
Terminologi infotainment pertama kali muncul dalam industri televisi Amerika Serikat pada era 1960-an. Di Amerika Serikat, infotainment diartikan sebagai tayangan berita atau news yang dikemas dalam format hiburan. Semula acara news dikemas serius dan terkesan garing.
Para
pemilik maupun pengelola televisi merasa publik membutuhkan sajian berita
yang lebih menghibur. Dalam konteks sosial Amerika Serikat di masa itu, televisi dinikmati oleh
mayoritas kelas pekerja yang sudah terlalu lelah saat di rumah sehingga mereka
membutuhkan konten siaran yang ringan saat beristirahat, enggak perlu lagi berpikir serius.
Maka, konten hiburan menjadi penting untuk mengusir lelah dan kejenuhan para
pekerja.
Acara berita 60 Minutes menjadi acara infotainment pelopor yang pertama kali ditayangkan oleh jaringan televisi CBS (Columbia Broadcasting System),
Amerika Serikat, sejak 1968. CBS
menyajikan berita laporan investigatif dengan cara dramatis melalui figur
pembawa acaranya, Don Hewitt. Publik ternyata menyambut positif acara berdurasi
1 jam ini sehingga menjadi acara yang kondang dan mencatat rating tinggi. 
Keberhasilan CBS
ditiru stasiun televisi lain. Banyak stasiun televisi memproduksi acara serupa
sampai kemudian konten berita dalam acara infotainment tidak lagi melulu berupa berita-berita politik maupun segala
sesuatu yang menyangkut kepentingan publik, melainkan juga mengarah ke human interest dan skandal figur publik.
Pada 1970-an konten hiburan menjadi elemen penting
dalam industri televisi di Amerika Serikat dan sudah dianggap sebagai salah
satu berita arus utama atau (mainstream).
Perubahan konsep berita televisi ini kemudian menginspirasi USA Today untuk melakukan hal serupa dalam format berita surat kabar. Tindakan USA Today menular ke media cetak lainnya, khususnya media cetak berformat majalah dan tabloid. 
Jadi, jelaslah infotainment
di Amerika Serikat lahir dari “rahim” televisi. Sebaliknya, infotainment di Indonesia dilahirkan oleh media cetak. Infotainment masih
menjadi istilah asing sebelum jagat pers nasional mengalami demokratisasi dan
mendapatkan kebebasannya, yang ditandai dengan berakhirnya rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998: Presiden Soeharto lengser. 
Media massa di era Orde Baru sering
mempublikasikan berita artis dan kehidupan sehari-harinya melalui rubrik khusus
seperti seni, budaya, hiburan, gaya hidup, dan tokoh. Porsi pemberitaannya
kecil dan menjadi selingan dari liputan serius. Rubrik hiburan terus berkembang menjadi salah satu rubrik favorit yang dinantikan pembaca.
Pembaca cenderung tak lagi antusias membaca rubrik utama yang menyuguhkan isu-isu serius.
Meningginya animo masyarakat terhadap informasi
hiburan mengilhami pembuatan tabloid hiburan. Lahirlah tabloid hiburan Gramedia dan Monitor
pada kurun 1980-an yang khusus memuat berita-berita ringan mengenai
selebritas.
Tabloid Monitor awalnya terbit dan dikelola TVRI sepanjang 1972-1973 tapi hanya
bertahan sampai 24 nomor dengan oplah hanya 10 ribu eksemplar. Arswendo
Atmowiloto kembali menghidupkan Monitor pada
1980. Edisi perdana dicetak sebanyak 200 ribu eksemplar dengan harga eceran Rp
300. Edisi perdana ludes.
Penjualan Monitor
laris manis. Hanya dalam 10 edisi, tirasnya melonjak drastis hingga 450 ribu eksemplar dan menembus angka 640 ribu eksemplar saat
memasuki bulan kelima usianya. Bahkan, konon, sirkulasi Monitor sempat mencapai 782 ribu eksemplar dengan harga eceran Rp
500 per eksemplar. 
Saat pasar mengalami kejenuhan,
Arswendo bersiasat dengan menerbitkan Monitor
Minggu yang terbit setiap Sabtu pagi. Jadilah Monitor sebagai tabloid pertama di Indonesia yang mengisi akhir
pekan. 
Kejayaan Monitor ambruk saat berusia sepuluh tahun. Pada edisi 15
Oktober 1990 Monitor menerbitkan hasil jajak pendapat (angket) berjudul
“Kagum 5 Juta”. Hasilnya, tokoh di urutan teratas yang paling dikagumi pembaca Monitor adalah Soeharto, disusul Bacharuddin Jusuf Habibie, Soekarno, Iwan Fals. Arswendo di
urutan ke-10 dan Nabi Muhammad di nomor 11. 
Umat Islam murka. Arswendo dianggap menista agama Islam. Pada 17 Oktober tahun yang sama,
massa menggeruduk kantor Monitor.
Patung Arswendo yang terbuat dari kertas tabloid Monitor dibakar. Pada 22 Oktober massa mengepung kantor Monitor, serta menjungkirbalikkan kursi
dan meja. 
Arswendo kemudian
menyatakan menyesal dan meminta maaf. Tapi umat Islam terlanjur murka sampai
kemudian Arswendo digugat ke pengadilan. Singkat cerita, majelis hakim memvonis
Arswendo dengan hukuman 5 tahun penjara. Monitor
dilarang terbit. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Nomor 194 Tahun 1984 atas
nama Monitor pun dicabut oleh Menteri
Penerangan Harmoko, yang notabene salah seorang pemilik saham Monitor.
Saham Harmoko di Monitor sebesar 30
persen.
Riwayat Monitor tamat, Harmoko selamat. Ia tidak dipecat dan malah jadi Menteri Penerangan dengan masa jabatan terlama (14 tahun) terhitung sejak 19 Maret 1983 sampai 16 Maret 1997. Ia lalu menjadi Ketua DPR RI sepanjang 1997-1999. 
Kesuksesan kedua media hiburan tersebut menginspirasi pengusaha media, khususnya televisi, untuk menjadikan tema
hiburan sebagai menu andalan. Sebagian televisi mencoba untuk memproduksi
tayangan hiburan secara mandiri atau in
house dan sebagian lagi membeli tayangan hiburan dari rumah produksi (production house/PH).
Format berita hiburan di tabloid Monitor diadopsi oleh Ilham Bintang,
pemilik PT Bintang Advis Multimedia, dengan memproduksi program Cek & Ricek di RCTI pada 1997. RCTI
merupakan stasiun televisi swasta pertama di Indonesia yang pertama kali
mengudara pada 13 November 1988 dan resmi beroperasi pada 24 Agustus 1989. 
Acara Cek
& Ricek mempelopori kelahiran tayangan sejenis yang menyuguhkan berita
kehidupan artis, yang cenderung sensasional dan sepele. Lama-kelamaan tayangan Cek & Ricek dan acara infotainment lainnya identik berita
gosip artis. Sebutan infotainment
menjadi paten sebagai trademark
informasi hiburan yang diandalkan mayoritas stasiun televisi. 
Infotainment
makin berjaya setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Era reformasi tiba, pers dan masyarakat
mengalami euforia. Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie dan Menteri Penerangan
Muhammad Yunus Yosfiah membuka keran keterbukaan informasi dan mendukung penuh kemerdekaan pers melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers:  Surat Izin Terbit
(SIT) dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dihapus dan beredel ditiadakan sehingga semua warga negara Indonesia boleh mendirikan perusahaan pers. 
Euforia ini ditandai dengan kemunculan
begitu banyak media cetak, terutama dalam format tabloid. Banyak media cetak yang jadi simpatisan dan bahkan jadi corong politik partai; tabloid yang memuat pornografi, dan tentu saja tabloid hiburan. 
Pamor infotainment
meroket dari satu kali penayangan menjadi tiga kali. Bahkan, jumlah acara infotainment yang ditayangkan dalam
sehari rata-rata lebih dari 15 jam atau dalam satu minggu lebih dari 210
episode. Ini data tahun 2007 sebagaimana dikutip dari harian Kompas edisi 8 Januari 2008.
Angka tersebut melonjak dari tahun-tahun
sebelumnya. Masih mengutip Kompas edisi
yang sama, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mencatat, pada 2002 frekuensi
tayangan infotainment hanya sebanyak
24 episode setiap minggu atau tiga episode per hari yang ditayangkan 10 stasiun
televisi swasta. Pada 2003, jumlah tayangan infotainment
meningkat empat kali lipat menjadi 101 episode setiap minggu atau 14 episode
per hari. 
Pada 2004, frekuensi tayangan infotainment bertambah menjadi 151 episode
per minggu atau 22 episode per hari dan pada 2005 penayangan infotainment melonjak lagi menjadi 180
episode per minggu (26 episode per hari). 
Catatan lain, pada 2011, di Indonesia ada
sekitar 40 judul infotainment yang
merata ada di hampir semua televisi, dengan durasi tayang lebih dari 14 jam
sehari dan mampu menyedot sekitar 10 juta penonton (Vivanews, 27 Desember 2009).
Melesatnya jumlah
tayangan infotainment di televisi lebih dipengaruhi nilai ekonomi
yang prospektif, yaitu biaya produksi murah dan banyak diminati pasar. Infotainment menjadi sangat vital sebagai sumber fulus bagi pemilik stasiun televisi karena ceruk pasarnya
sangat besar, rating tinggi, dan
modal cepat kembali. 
Rating ialah persentase
jumlah orang yang menonton suatu program acara televisi yang diukur dari
populasi tertentu. Jadi, kalau sebuah tayangan televisi rating-nya tinggi, itu berarti jumlah penontonnya banyak. Misalnya,
dari 1.000 orang di suatu wilayah, ada 800 orang yang menonton tayangan A.
Artinya, ada 80% populasi yang menyaksikan tayangan tersebut. Atau biasanya
disebutkan bahwa tayangan A memiliki rating
8 (buku Saatnya Kita Melek Media,
Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, 2017).
Menurut Veven SP Wardana (dalam Loven, 2008), rating diperkenalkan di Indonesia pada
1991, sesuai permintaan stasiun televisi dan juga Persatuan Perusahaan
Periklanan Indonesia (P3I). 
Mereka setuju bahwa televisi komersial membutuhkan
data perilaku penonton dan hasil dari iklan televisi. Layanan rating ini dibiayai bersama. Televisi
membiayai 75 persen dan sisa 25 persen ditanggung P3I. Pada
1993, TVRI tak lagi berlangganan layanan rating karena, sebagai televisi nonkomersial, TVRI tak membutuhkan
data rating yang mahal. Perusahaan
yang kemudian menyuplai data rating kepada televisi-televisi swasta di Indonesia adalah perusahaan riset
pemasaran ACNielsen.
Sebelum itu, pada 1971, Indonesia mencatat adanya
lembaga sejenis yang disebut In Search Data, perusahaan pertama yang berfokus pada
riset pemasaran dan sosial. Pada 1973, In Search Data bergabung dengan Survey
Research Group (SRG), dan pada 1983 SRG bergabung dengan AGB membentuk Survey
Research Indonesia (SRI). 
Pada 1994, SRI bergabung dengan ACNielsen
International di bawah Dun and Bradstreet (DNB). Pada 1997 perusahaan
tersebut dikenal dengan nama ACNielsen/SRI. Tahun 1998, nama SRI dihilangkan, dan
menjadi ACNielsen saja. Sejak Februari 2001, ketika ACNielsen bergabung dengan
VNU, departemen riset media dikenal sebagai Nielsen Media Research (NMR) (Remotivi, 19 Mei 2016).
FIKTIF atau tidak
faktual, tendensius dan sensasional, penyebar gosip dan fitnah, serta penyebar aib kehidupan
pribadi selebritas menjadi kelemahan infotainment
yang banyak disuarakan pakar komunikasi, praktisi jurnalistik, dan juga kaum ulama.
Publik yang kritis pun ikut marah. 
Alhasil, Dewan Pers
dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kebanjiran pengaduan terkait performa dan
kinerja infotainment. Pada Juni 2010, misalnya, KPI menerima 637 pengaduan—sekitar 200 atau 32,18 persen pengaduan terkait infotainment, selebihnya menyangkut kategori program siaran variety show, sinetron, dan berita.
Dewan Pers pertama
kali dibentuk tahun 1968. Pembentukannya berdasar Undang-Undang Nomor 11 Tahun
1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers yang ditandatangani Presiden
Soekarno, 12 Desember 1966. 
Tujuan dibentuknya
Dewan Pers adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan
kualitas serta kuantitas pers nasional sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. 
Sedangkan KPI lahir
atas amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). Undang-undang ini disahkan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 28 Desember 2002. 
KPI adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di
daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam UU Penyiaran sebagai wujud peran
serta masyarakat di bidang penyiaran.
Keberadaan
infotainment makin kontroversial dan
menimbulkan polemik berkepanjangan setelah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul
Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi menegaskan bahwa tayangan infotainment gosip atau ghibah hukumnya haram. Fatwa ini
disampaikan berdasarkan hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, 27-30 Juli 2006.
PBNU mendesak tayangan infotainment
gosip dihentikan dengan alasan pemberitaan yang mengobral masalah pribadi dan rahasia
keluarga bisa berdampak buruk bagi masyarakat. Menurut Hasyim, infotainment gosip merupakan pembunuhan
karakter orang yang diberitakan. Dalam Islam, ghibah diibaratkan sebagai seseorang yang tega memakan daging
bangkai saudaranya sendiri (Detik.com,
Jumat, 25 Desember 2009).
Berselang
empat tahun, penegasan serupa disampaikan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj. PBNU
menegaskan tidak mengharamkan infotainment,
tapi unsur ghibah yang ada di
dalamnya. Ghibah atau mengorek dan
menceritakan aib orang lain diharamkan dalam ajaran Islam.
Penegasan
itu disampaikan Said untuk menanggapi keluhan para wartawan infotainment yang merasa tersudutkan oleh pemberitaan pengharaman infotainment seperti yang difatwakan oleh PBNU. 
Berbeda
dengan PBNU, Majelis Ulama Indonesia (MUI) malah mengharamkan infotainment baik bagi yang menayangkan,
menonton, maupun yang mengambil keuntungan dari aib, gosip dan hal-hal lain
terkait ranah pribadi. Fatwa tersebut dikeluarkan Komisi C MUI yang membidangi
fatwa dalam Musyarawah Nasional MUI di Jakarta, Selasa, 27 Juli 2010.
MUI merekomendasikan perlunya dirumuskan aturan untuk mencegah tersiarnya konten
tayangan yang bertentangan dengan norma agama, keadaban, kesusilaan dan nilai
luhur kemanusiaan. 
MUI merekomendasikan kepada KPI untuk meregulasi tayangan infotainment untuk menjamin hak masyarakat
memperoleh tayangan berkualitas dan melindunginya dari hal-hal negatif. Lembaga
Sensor Film diminta proaktif melakukan sensor terhadap tayangan infotainment demi menjamin terpenuhinya
hak-hak publik dalam menikmati tayangan bermutu (Antaranews.com, Selasa, 27 Juli 2010).
Sebelum
MUI mengeluarkan fatwa mengharamkan infotainment, dalam Rapat Dengar Pendapat pada 14 Juli 2010, Komisi I DPR bersama KPI dan Dewan Pers sepakat menyatakan program siaran infotaiment banyak melakukan pelanggaran.  
Bahkan
KPI telah menyatakan tayangan infotainment
sebagai produk nonfaktual karena tidak menjalankan prinsip-prinsip jurnalistik.
Namun Dewan Pers menilai pernyataan KPI perlu ditelaah lebih lanjut lantaran
tidak semua tayangan infotainment
melanggar kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip jurnalistik. Hanya sedikit
tayangan infotainment yang memenuhi
ketentuan Kode Etik Jurnalistik (KEJ). 
Begitu
pun akhirnya Dewan Pers tetap menghormati otoritas KPI. Dewan Pers mendukung
kewenangan KPI untuk memutuskan status program infotainment, reality show
sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. 
Padahal,
sebelumnya pada 2009, dalam pertemuan dengan Dewan Pers di Gedung Dewan Pers,
Ketua KPI Sasa Djuarsa Sendjaja dan beberapa komisioner KPI meminta Dewan Pers
untuk menyusun regulasi di bidang infotainment
dan reality show. 
Keputusan
KPI yang menyatakan infotainment sebagai
produk nonfaktual diperkuat oleh rekomendasi Komisi I DPR RI yang menyatakan
program infotainment, reality show, dan sejenisnya,
banyak melanggar norma agama, etika moral, norma sosial, KEJ, serta Pedoman
Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS). 
Kesepakatan ketiga lembaga itu mencerminkan persoalan
pokok infotainment bahwa pelaku
industri televisi lebih mengutamakan misi bisnis atau lebih mementingkan fungsi ekonomi ketimbang menjalankan fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta kebudayaan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 UU Penyiaran.
Dalam perspektif UU Pers, industri televisi lebih banyak melayani fungsi hiburan dan cenderung
mengabaikan fungsi pendidikan, kontrol sosial, dan informasi sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 3 UU Pers.
Penonjolan fungsi hiburan juga tidak sepenuhnya
terpenuhi dalam program infotainment
karena industri televisi telah mereduksi makna infotainment hanya seputar perselingkuhan, kumpul kebo, perceraian, dan konflik keluarga selebritas. 
Namun, kendati MUI sudah mengharamkan isi program infotainment, serta ada kesepakatan
bersama Komisi I DPR dengan KPI dan Dewan Pers tentang status infotainment, tidak otomatis sensor
diberlakukan terhadap infotainment. Infotainment menjadi produk yang
disiarkan televisi dan lembaga penyiaran televisi harus tunduk kepada UU
Penyiaran. 
Pasal 47 UU Penyiaran
tegas menyatakan bahwa isi siaran dalam
bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga
yang berwenang. Jadi sangat jelas, sensor tidak dapat dilakukan terhadap
produk siaran di luar film dan iklan. Sensor terhadap program infotainment hanya dapat dilakukan
dengan terlebih dahulu mengamandemen pasal-pasal sensor dalam UU Penyiaran. 
Meski Komisi I DPR bersama KPI dan Dewan Pers sepaham
dan bersepakat bahwa program infotainment
banyak melanggar aturan, bukan berarti kekompakan ketiganya menular ke organisasi profesi wartawan yang menjadi konstituen Dewan Pers,
yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI),
dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). 
PWI menyatakan infotainment
sebagai produk jurnalistik karena dilakukan dengan tahapan jurnalistik, seperti adanya proses peliputan,
proses produksi, dan proses tayang. 
Selain itu, PWI beranggapan infotainment sudah lama menjadi produk
kreatif dari jurnalisme. Namun, PWI sepakat, belakangan ada yang prosesnya
“kebablasan”, melupakan kaidah-kaidah jurnalistik, melanggar privacy, dan kerapkali mengabaikan fakta. (Yadi Hendriana,
Wakil Pemimpin Redaksi Global TV dalam
buku Jurnalisme Televisi Indonesia,
Tinjauan Luar Dalam, Kepustakaan Populer Gramedia, November 2012).
AJI dan IJTI berpendapat sebaliknya: tayangan gosip yang berkaitan
dengan kehidupan pribadi dan tidak berkaitan dengan kepentingan umum bukanlah
karya jurnalistik. Apalagi ditemukan fakta bahwa kebanyakan konten infotainment dihasilkan oleh orang-orang
yang bekerja di rumah produksi (production
house/PH). Namun, AJI dan IJTI bersepakat, bahwa pekerja infotainment melakukan pekerjaan dengan
tahapan-tahapan jurnalistik dan dikemas dalam bentuk berita. 
Sikap AJI dan IJTI
sesuai dengan disertasi doktor ilmu komunikasi Universitas Indonesia,
Mulharnetti Syas. Dia berpendapat, program infotainment
yang ditayangkan stasiun-stasiun televisi bukanlah karya jurnalistik lantaran infotainment menayangkan
hal-hal yang tidak sesuai dengan fakta alias hanya gosip. Dia juga menganggap
pekerja infotainment bukanlah
wartawan, tapi pekerja yang bernaung di bawah rumah produksi.
Pro dan kontra perihal infotainment bagai tak selesai. Akhirnya, Dewan Pers dan KPI mencapai kesepakatan yang lebih elegan melalui penandatanganan nota kesepahaman
atau memorandum of understanding tentang
Penanganan Pelanggaran Isi Siaran Jurnalistik yang ditandatangani Ketua KPI Pusat Judhariksawan dan Ketua Dewan Pers Bagir Manan pada Selasa, 22 April 2014. 
Nota kesepahaman yang ditandatangani di Jambi ini terdiri dari 13 pasal dan berlaku selama tiga tahun sejak ditandatangani. Masa berlakunya disesuaikan dengan masa kerja Dewan Pers dan KPI yang sama-sama 3 tahun.
Nota kesepahaman yang ditandatangani di Jambi ini terdiri dari 13 pasal dan berlaku selama tiga tahun sejak ditandatangani. Masa berlakunya disesuaikan dengan masa kerja Dewan Pers dan KPI yang sama-sama 3 tahun.
Pasal 42 UU Penyiaran tentang kegiatan jurnalistik menyebutkan wartawan Penyiaran dalam melaksanakan
kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. 
Kode Etik Jurnalistik dibuat berdasarkan
Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 Tanggal 24 Maret 2006. 
Pasal 1 UU Pers (Ketentuan Umum) ayat 1: Pers
adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan
gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk suara lainnya dengan
menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang
tersedia. 
Pasal 1 UU Pers ayat 4: Wartawan adalah orang
yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.
MASYARAKAT harus tegas menolak program maupun tayangan infotainment yang tidak bermutu dengan cara tidak
menontonnya. Ketegasan lain bisa diekspresikan dengan mencermati dan mencatat
konten negatif lalu melaporkannya kepada KPI dan juga Dewan Pers.
Peran serta
masyarakat sangat dibutuhkan untuk mengoreksi segala kekurangan isi siaran
televisi dan media lainnya dengan tujuan untuk mengembangkan dan memajukan
kemerdekaan pers.
Pasal 17 UU Pers: 
1. Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk
mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang
diperlukan. 
2. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat
berupa: 
a. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran
hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers;
b. Menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam
rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.
Penjelasan Pasal 17
ayat 2: Untuk melaksanakan peran
serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dapat dibentuk lembaga
atau organisasi pemantau media (media
watch).
Peran serta
masyarakat juga tercantum dalam Pasal 52 UU Penyiaran: 
1. Setiap Warga Negara Indonesia memiliki hak, kewajiban,
dan tanggung jawab dalam berperan serta
mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional;
2. Organisasi nirlaba, lembaga swadaya masyarakat,
perguruan tinggi, dan kalangan pendidikan, dapat mengembangkan kegiatan
literasi dan/atau pemantauan lembaga penyiaran;
3. Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
mengajukan keberatan terhadap program dan/atau isi siaran yang merugikan.
Penjelasan Pasal 52
ayat 2: Yang dimaksud dengan pemantauan Lembaga Penyiaran adalah melakukan
pengamatan terhadap penyelenggaraan siaran yang dilakukan oleh lembaga-lembaga
penyiaran. Yang dimaksud dengan kegiatan literasi adalah kegiatan pembelajaran
untuk meningkatkan sikap kritis masyarakat. 
Literasi media adalah
kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengomunikasikan isi
pesan media. Menurut KPI, setidaknya ada tiga tujuan literasi media.
Pertama, memahami
operasi media dengan benar. Pengguna media perlu mengetahui bagaimana media
beroperasi; mulai dari fakta stasiun televisi memerlukan modal besar untuk setiap produksi, orientasi profit yang tinggi, hingga soal kepemilikan media yang bisa
menentukan arah dan kebijakan sebuah tayangan televisi. 
Kedua, menyikapi media secara benar. Khalayak perlu menerapkan sikap dan perilaku yang benar dan
tepat terhadap media massa yang mereka konsumsi. Faktanya, sikap yang salah
berimplikasi buruk. Jika tidak menyukai konten yang disajikan media tertentu,
jangan baca, dengar, dan tonton lagi konten tersebut.
Ketiga, memihak pada
konten media massa yang benar. Faktanya, tidak semua isi media massa adalah benar dan
merupakan kebenaran. Namun, bukan berarti semua isi media massa tidak benar. Sajian program
faktual sekalipun belum tentu mengandung informasi yang benar dan akurat meski dibuat berdasarkan konsep jurnalistik yang benar.
Segelintir media massa di
Indonesia justru kerap menyajikan konten bermutu rendah karena mengandung unsur
seks, kekerasan, horor, dan mistis. Terhadap media semacam ini pengguna media
diharapkan memberikan sanksi sosial (social
punishment), minimal dengan tidak menontonnya, memberitahu lingkungan
sekitar, dan tentu sangat membantu apabila mencatat dan melaporkannya ke KPI dan Dewan Pers. 
| Peserta seminar yang diadakan UKM Pers G-Plasma Polikteknik Negeri Madiun berasal dari sejumlah kampus yang ada di sekitar Madiun, seperti Ponorgo, Kediri, dan Tuban. | 
DALAM
tulisan ini saya membatasi pembahasan seputar media siaran televisi, serta infotainment sebagai salah satu sajian andalan televisi untuk menggaet pemirsa walau pamor infotainment tidak lagi segebyar dulu. 
Pembatasan
itu disesuaikan dengan tema yang ditentukan oleh panitia pelaksana seminar “Media yang
Kritis terhadap Infotainment” yang
diadakan di auditorium Politeknik Negeri Madiun, Jawa Timur, Sabtu, 14 Oktober
2017. 
Seminar
diadakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Pers G-Plasma (Goresan Pena Jurnalis
& Media Aspirasi Mahasiswa) Politeknik Negeri Madiun untuk memperingati
ulang tahun pertama mereka. ABDI PURMONO
 
 



0 Komentar