Mengharap Berkah Syekh

Minggu, Juni 19, 2016
Majalah PANJI MASYARAKAT Nomor 22 Tahun III, 15 September 1999 

Suasana haul ke-75 Syekh Abdul Wahab di Kampung Besilam, Kamis, 2 September 1999. (Foto-foto: ABDI PURMONO)

Puluhan ribu jamaah Tarekat Naqsyabandiah Babussalam memperingati haul ke-75 Syekh Abdul Wahab. Syekh merupakan Tuan Guru I Tarekat Naqsyabandiah yang pengikutnya terbesar di Indonesia.

Lantunan zikir Laa ilaaha illallaah sebanyak 70 kali keluar dari mulut puluhan ribu jamaah laki-laki. Sambil berzikir dengan posisi berdiri, mereka secara spontan dan kompak menggerakkan tubuh ke kiri dan ke kanan sesuai irama bacaan. Sementara kaum perempuan membacakan Maulid Barzanji dengan khidmat. Suasana cukup menggetarkan kalbu dan sarat nuansa religius. Sesekali, karena saking semangatnya berzikir dan berdoa, suara batuk terdengar di tengah jamaah.

Itulah sebagian kegiatan ritual dari serangkaian prosesi puncak peringatan haul ke-75 (jamaah menyebutnya hul) alias wafatnya Tuan Guru Syekh Abdul Wahab, Kamis pekan lalu (2 September 1999/21 Jumadil Ula 1420) di kompleks makam Syekh di Desa Babussalam, Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Jamaah yang diperkirakan mencapai 25.000-an itu memang merupakan murid dan pengikut Syekh Abdul Wahab (wafat 27 Desember 1926/21 Jumadil Ula 1345), sesepuh Tarekat Naqsyabandiah di sana yang oleh peneliti tarekat Martin van Bruinessen dianggap sebagai tarekat terbesar di Indonesia (lihat boks: Pembangun Pintu Keselamatan).

Kebesaran tokoh Syekh itulah yang membuat peringatan wafatnya selalu dihadiri puluh ribu jamaahnya. Menurut Kepala Desa Babussalam Abdul Razak Y.W.R., jumlah jamaah hul tahun ini belum seberapa. Dalam tahun-tahun sebelumnya, peringatan haul Syekh dihadiri tak kurang dari 70.000-an jamaah. Mereka datang dari daerah di Sumatera Utara, Aceh, Riau, Palembang, bahkan Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand, dan Filipina. “Jamaah hul tahun ini tak sebanyak tahun lalu. Mungkin akibat krisis moneter dan ketidakstabilan di negeri ini,” tutur Abdul Razak yang masih keturunan Syekh itu.

Peringatan hul itu sendiri tergolong khusyuk dan khidmat. Menurut koresponden Panji yang ikut hadir di tengah-tengah jamaah, rangkaian peringatan hul diisi dengan berbagai ritual keagamaan sesuai ajaran-ajaran Tarekat Naqsyabandiah. Misalnya, sebelum tiba hari hul, jamaah melakukan suluk atau berdiam diri sambil berzikir di makam Syekh selama 40 hari sejak 25 Juli silam. Selama ber-suluk, jamaah makan dan minum sedikit sekali. Hampir seluruh waktunya dipakai untuk berzikir dan bertafakur (meditasi). Juga tak diperbolehkan berbicara kecuali dengan gurunya atau dengan sesama jamaah yang juga melakukan kegiatan serupa, itu pun terbatas pada soal-soal kerohanian saja.

Selama tiga hari berturut-turut menjelang hari “H”, jamaah mengadakan ratib Saman ba’da salat isya. Hari pertama dipimpin langsung oleh Syekh Hasyim Asy-Syarwani, Tuan Guru Babussalam IX. Sementara pada hari kedua dan ketiga dipimpin oleh Syekh Ahmad Fuad Said Abdul Wahab. Sehari menjelang puncak hul, sejak pagi mereka mendengarkan bacaan-bacaan haflah yang dibawakan oleh kelompok nasyid dan qasidah. Disusul kemudian dengan pembacaan marhabanan, salawat badar, tadarus Al-Quran.

Sementara kaum ibu juga melakukan hal yang sama, cuma tempatnya di Madrasah Besar, tak jauh dari makam Syekh. Menurut Razak, pembacaan haflah-haflah dulu tidak ada, baru ada setelah Syekh Hasyim menjadi Tuan Guru Babussalam IX sejak 1996. Syekh Hasyim mengadakan pembacaan haflah-haflah itu agar para jamaah dapat mengisi waktu kosongnya dengan berzikir. Sebab setiap sehari menjelang puncak hul, biasanya jamaah tak melakukan apa-apa, berdiam atau tafakur, atau malah berkeliaran. “Haflah gunanya, selain berisi puji-pujian kepada Allah dan Rasulullah s.a.w., juga agar baik yang mendengar maupun yang membacakannya ikut mendapat pahala yang sama,” paparnya.

Pada puncak peringatan hul Kamis itu, ratib Saman kembali dibaca jamaah secara khusyuk, disusul dengan pembacaan surat Al-Ikhlas sebanyak 31 kali, dan khataman Al-Quran beserta doanya. Setelah itu, jamaah spontan beramai-ramai berdiri melantunkan zikir berupa lafaz tahlil (Laa ilaaha illallaah) sebanyak 70 kali dengan suara keras (zikir jahar), sambil menggerak-gerakkan tubuh ke kanan dan ke kiri. Suara zikir pun menggema sampai terdengar keluar kompleks makam Syekh seluas 100 meter itu.

Setelah kembali duduk bersila, mereka kemudian melantunkan zikir dengan menyebut Asmaul Husna. Dari 99 nama Tuhan itu, enam di antaranya dilantunkan dengan lembut dan berirama, masing-masing sebanyak 70 kali. Sesaat ratib Saman usai, jamaah kembali mendengarkan bacaan haflah-haflah Barzanji, marhabanan, qasidahan, serta pembacaan syair-syair bernafaskan Islam selama empat jam. Acara hul selesai hingga larut malam.

Dengan serangkaian hul seperti itu, kehadiran puluhan ribu jamaah di Desa Babussalam tak pelak membuat sibuk masyarakat setempat. Apalagi jamaah ada yang sudah datang beberapa hari menjelang puncak acara hul. Mereka tidur menyebar di rumah-rumah suluk (tempat berzikir), di madrasah Babussalam, makam Syekh, rumah jompo, dan rumah-rumah penduduk. “Yang penting bisa tidur. Siapa tahu ada berkahnya,” tutur seorang jamaah yang tidur di Makam Syekh Faqih Tambah, Tuan Guru Babussalam IV. Jamaah lain asal Riau mengaku datang berombongan dengan mengendarai 13 bus. “Saya datang untuk berziarah ke makam Tuan Guru dan mengambil berkahnya,” ujarnya.

Untuk menyukseskan acara itu, panitia mengerahkan sekitar 200 pria dan 150 wanita. Juga memasak tiga ton beras dan memotong sembilan ekor lembu yang dananya berasal dari Pemda Sumatera Utara, Pemda Langkat, Pemda Medan, serta donatur dan dermawan.

Suasana Desa Babussalam pun ramai. Puluhan kendaraan besar-kecil memanjang hampir dua kilometer. Ratusan pedagang yang sebagian besar pendatang pun bermunculan dengan berbagai barang dagangan yang harganya lebih tinggi dari biasanya. Petugas kepolisian juga tampak kerepotan. Ini belum apa-apa. Biasanya tahun-tahun lalu lebih payah,” ujar salah seorang polisi berpangkat sersan dua yang mengaku sudah tiga tahun berturut-turut melakukan pengamanan acara hul Syekh.


Pembangun Pintu Keselamatan

Nama lengkapnya Tuan Guru Babussalam I Syekh H. Abdul Wahab Rokan Al-Khalidi Naqsyabandi. Menurut penelitian Martin van Bruinessen (Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia, 1992), Abdul Wahab lahir di Melayu pada 28 September 1811/19 Rabiul Akhir 1230. Anak dari keluarga yang taat beragama itu mengaji di berbagai surau di Riau daratan dan pada 1860-an merantau ke Mekah selama enam tahun untuk belajar. Di Masjidil Haram ia mendapat pelajaran Tarekat Naqsyabandiah dari gurunya Sulaiman Al-Zuhdi.

Abdul Wahab kembali ke Kubu (Riau) dan kemudian pindah ke Langkat. Di daerah ini ia membangun desa dan madrasah Babussalam (Pintu Keselamatan) pada 1883. Pada 1890 Belanda menuduhnya memalsukan uang, dan Abdul Wahab melarikan diri menyeberangi Selat Malaka—mula ke Penang, kemudian tinggal di Batu Pahat, Johor. Satu-dua tahun berada di Semenanjung, Syekh lalu pergi mengunjungi Kubu (Riau). Ketika kedatangannya diketahui, Sultan Siak dan Sultan Langkat mengundangnya untuk kembali ke Babussalam. Sejak itu hingga wafatnya (1926), Syekh menetap dan mengembangkan ajaran-ajaran Tarekat Naqsyabandiah.

Soal madrasah itu sendiri, semua digunakan sebagai masjid dan tempat mengaji serta kegiatan-kegiatan ibadah lainnya. Ibadah utama yang dilakukan adalah salat dan zikir sebagai wirid. Seperti membaca surah Yasin setiap malam Jumat, ratiban setiap malam Selasa, dan pengajian kitab tasawuf Sairus Salikin karya Imam Al-Ghazali. Hingga kini, madrasah yang bisa menampung sekitar seribu jamaah itu kian luas dan terus direnovasi.

Makam Syekh dibangun pada 1927, setahun setelah H. Yahya menjadi mursyid dan nazir alias Tuan Guru Babussalam II. Kompleks makam seluas 100 meter persegi itu terdiri atas beberapa ruangan. Makam Syekh berada di ruang tengah dengan tujuh lapis kelambu dan dipagari besi berukuran 3,5 x 4,5 meter persegi. Selain itu, ada pula makam Syekh Yahya (Tuan Guru II), Syekh Abdul Jabbar (Tuan Guru III), dan makam Syekh Faqih Tuah.

Kompleks makam itu tak hanya didatangi para peziarah pada saat hul, tapi juga dalam hari-hari biasa. Setiap peziarah berdoa di sekeliling makam dan membaca Al-Quran. Ada juga yang masuk ke dalam lingkaran besi makam Syekh, memanjatkan doa lalu memegang batu nisannya. Di dalam makam juga terdapat dua bak air yang dinamakan “Air Yasin”. Banyak peziarah yang membawa dirigen atau botol mineral untuk meminta air tersebut. Setelah air itu diambil, kemudian dibawa ke khalifah seraya meminta doa. “Buat oleh-oleh untuk anggota keluarga yang sakit,” tutur seorang peziarah.

Memang, menurut cerita penduduk setempat, banyak peziarah yang salah memahami ajaran-ajaran Syekh sehingga kedatangannya ke makam untuk meminta yang tidak-tidak yang bisa tergolong syirik. Misalnya, memeluk makam, mencium nakus (kentongan) di madrasah Babussalam, dan semacamnya. “Kami tidak mengharapkan hal-hal itu terjadi di sini. Umumnya orang yang melakukan kurang begitu memahami hakikat Tarekat Naqsyabandiah,” ujar Syekh Hasyim.

Menurut catatan Martin, Tarekat Naqsyabandiah bukanlah satu-satunya tarekat yang diajarkan dan diamalkan di Babussalam. Generasi yang lebih tua juga mengamalkan Tarekat Syadziliah. Setiap Senin malam, ba’da isya, ratib tarekat ini dibacakan dengan suara keras. Tapi jumlah pesertanya tidak banyak. Rumah suluk di “Pintu Keselamatan” juga digunakan sepanjang malam.  NASRULLAH ALI-FAUZI I ABDI PURMONO (LANGKAT)


Catatan Tambahan: 

Kampung Babussalam lebih dikenal dengan nama Kampung Besilam. Secara administratif, Kampung Besilam masuk wilayah Kecamatan Padang Tualang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara.

Kampung Besilam berjarak sekitar 75 kilometer dari pusat Kota Medan, Ibu Kota Provinsi Sumatera Utara. Saat saya kunjungi pada 2 September 1999, Kampung Besilam mencakup sembilan dulu yang dihuni 666 keluarga atau 3.729 jiwa.

Sejarah berdirinya Kampung Besilam sangat erat hubungannya dengan keberadaan Kesultanan Langkat karena sang pendiri, Syekh Abdul Wahab Rokan (1811-1926) alias Tuan Guru I (1811-1926), dianggap guru atau ulama bagi kerabat kesultanan dan masyarakat Langkat pada masa itu. Kabarnya pula, Syekh Abdul Wahab Rokan masih bersepupu dengan Sultan Musa, Sultan Langkat pertama. Sang Sultan memberikan sebidang tanah kepada Syekh Abdul Wahab Rokan agar mendirikan sebuah kampung Islam.

Tuan Guru Babussalam IX Syekh Hasyim Asy-Syarwani
Kampung Besilam selalu ramai dikunjungi para peziarah dan jamaah yang ingin bertemu Tuan Guru Babussalam. Banyak pula pejabat dan tokoh masyarakat yang mengunjungi Kampung Besilam, terlebih pada saat pemilihan umum. Banyak peziarah bertujuan mendatangi Kampung Babussalam untuk mendapat berkah tapi dengan cara yang keliru.

Tuan Guru Babussalam IX Syekh Hasyim Asy-Syarwani waktu itu tak bosan-bosannya mengingatkan para pengunjung untuk menghindari perbuatan-perbuatan yang menjurus syirik. Syekh Hasyim menceritakan, dulu ada nakus (kentongan) Syekh Abdul Wahab Rokan yang sering dipeluk pengunjung dengan harapan niat dan keinginan pemeluk tercapai. Sekarang kentongan itu disimpan supaya jangan ada lagi pengunjung yang terjebak perbuatan syirik dengan memeluknya. ABDI PURMONO

Share this :

Previous
Next Post »