Prasasti Kutukan: Berani Usik, Petinggi Ini Mati Aneh (1)

Rabu, Juni 03, 2015
TEMPO, RABU, 03 JUNI 2015 | 07:38 WIB
Punden Mojorejo, Kecamatan Junrejo, Kota Batu
Kamis, 2 April 2015
Foto: ABDI PURMONO


TEMPO.CO, Batu: Di bawah pohon tanjung besar yang akarnya mencuat ke permukaan, tampak tumpukan batu andesit yang tak seragam bentuk dan ukurannya membentuk sebuah punden.

Warga di sekitar Dusun Kajang, Desa Mojorejo, Kecamatan Junrejo, sekitar lima kilometer dari Kota Batu, Jawa Timur, mengenalinya sebagai Punden Mojorejo atau Punden Sangguran. Tepat di atas punden itulah seharusnya berdiri tegak sebuah prasasti yang disebut Prasasti Sangguran.

Hampir 1.087 tahun silam, persisnya pada Sabtu, 2 Agustus 928 Masehi, bertepatan dengan hari Warukung-Kaliwon, 14 paruh-terang, bulan Srawana, 850 Saka, sebuah peresmian tugu tapal batas dilaksanakan di Desa Sangguran, Jawa Timur.

Sebuah prasasti berupa balok batu berukuran tinggi 160 sentimeter, lebar 122 sentimeter, dan tebal 32,5 sentimeter diletakkan di atas punden itu. Prasasti tersebut berisi penetapan Desa Sangguran sebagai sebuah sima atau daerah perdikan. Prasasti itu juga menjelaskan perpindahan Kerajaan Mataram dari Medang di Jawa Tengah ke Tamwlang di Jawa Timur. Bagian bawah prasasti itu menampilkan kutukan--bagi siapa pun yang berani mencabut prasasti dari tempatnya.

Mulai baris ke-28 sampai ke-39, kutukan dalam bahasa Jawa kuno itu di antaranya berbunyi:

Demikian pula jika ada orang yang mencabut sang hyang watu sima, maka ia akan terkena karmanya, bunuhlah ia olehmu Hyang, ia harus dibunuh, agar tidak dapat kembali di belakang, agar tidak dapat melihat ke samping, dibenturkan dari depan, dari sisi kiri, pangkas mulutnya, belah kepalanya, sobek perutnya, renggut ususnya, keluarkan jeroannya, keduk hatinya, makan dagingnya, minum darahnya, lalu laksanakan (dan) akhirnya habiskanlah jiwanya.

Jika berjalan ke hutan akan dimakan harimau, akan dipatuk ular, (akan) diputar-putarkan oleh Dewamanyu, jika berjalan di tegalan akan disambar petir, disobek-sobek oleh raksasa, dimakan oleh Wunggal/wuil. Dengarkanlah olehmu para Hyang, (hyang) Kusika, Garga, Metri, Kurusya, Patanjala, penjaga mata angin di utara, penjaga mata angin di selatan, penjaga mata angin di barat dan timur, lemparkan ke angkasa, cabik-cabik sampai hancur oleh hyang semua, jatuhkan ke samudra luas, tenggelamkan di bendungan, tangkap oleh sang Kalamtryu (?), cabik-cabik oleh tangiran, (dan) disambar buaya.

Begitulah matinya orang yang jahat, pulangkan ke neraka, jatuhkan di neraka maharorawa. Digodog oleh pasukan Yama, dipukuli oleh sang Kingkara. Jika dilahirkan kembali (akan menjadi) hilang pikirannya. Begitulah nasibnya orang yang merusak sima di Sangguran.

Namun sudah lebih dari 200 tahun Prasasti Sangguran yang penuh kutukan itu berada di halaman belakang rumah keluarga Lord Minto VII di Hawick, Roxburghshire, Skotlandia.  Lord Minto I yang membawanya ke sana meningga secara aneh. Begitu juga petinggi lain, termasuk Bupati Malang saat itu yang mengizinkan prasasti itu dipindahkan, meninggal tak wajar. Terkutukkah mereka ? (Bersambung)

Dian Yuliastuti, Ratnaning A, Abdi Purmono, David P. (Majalah Tempo, 4 Mei 2014)

Share this :

Previous
Next Post »