Memantau Sang Garuda di Lereng Semeru

Kamis, September 19, 2013
Foto-foto: ABDI PURMONO

Selain elang jawa, masih ada enam jenis elang lain yang hidup di dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Riset lanjutan diperlukan untuk menemukan sarang di dalam hutan dan sekaligus untuk mengetahui akurasi jumlah elang jawa di dalam kawasan TNBTS.

SEEKOR elang jawa dewasa tiba-tiba melesat dari kelindapan pohon-pohon hijau. Tanpa disangka-sangka, sang elang terbang mendekati posisi saya yang berdiri di ladang singkong dekat pohon beringin besar. 

Astaga! Sang elang berputar-putar 30-40 meter di atas kepala selama sekitar dua menit. Ia seperti sedang mengincar mangsa, tapi sang elang justru jadi sasaran empuk untuk “ditembak” dengan kamera. Jeprat-jepret-jeprat-jepret... 

Elham Purnomo, Petugas Pengendali Ekosistem Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS), pun sigap mengarahkan kamera. Begitu pula dengan Toni Artaka, rekan sekantor Elham. Sayang, sang elang terlanjur terbang tinggi dan menjauh.

Leher terasa nyeri sehabis memotret. Tapi, kami sangat bersukacita. Penampakan fisik elang jawa (Nisaetus bartelsi) di ketinggian 1.092 meter dari permukaan laut Dusun Cincing, Desa Sukopuro, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada Minggu, 4 Agustus 2013, sekitar pukul 10.58 WIB, merupakan momen langka di hari terakhir pengamatan.

Burung pemangsa di daerah tropis sangat sensitif dan sulit untuk diamati terutama ketika di dalam hutan. Biasanya aktivitas terbang burung pemangsa terlihat saat cuaca sedang cerah dan panas. Saat itu cuaca lagi mendung-berawan. Tim mulai pasrah. Namun, di saat bersiap mau pulang, cuaca berangsur cerah-panas dan sang elang yang dinanti pun muncul.

Kehadiran sang elang dari jarak dekat menjadi penawar lelah dan ganjaran atas kesabaran mengamati elang jawa selama lima hari di bulan puasa Ramadan di lereng Gunung Semeru. Maklum, dalam empat hari sebelumnya, tim TNBTS bersama saya dan Heru Cahyono (Ketua Raptor Indonesia Malang), belum juga mendapat gambar elang jawa yang ciamik.

Pengamatan dilakukan dua tim TNBTS di dua wilayah Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah II, yakni Wilayah Resor Pengelolaan Hutan Taman Nasional (RPTN) Coban Trisula dan RPTN Jabung, dari 31 Juli sampai 4 Agustus 2013. Elham menjadi koordinator tim pemantau.

Pengamatan di RPTN Jabung (4.512 hektare) dipusatkan di Blok Bendolawang, Desa Ngadirejo, serta Blok Cincing, Desa Sukopuro. Kedua desa berada di Kecamatan Jabung. Tim beranggotakan Elham, Toni Artaka, dan Mahmuddin Rahmadana.

Sedangkan pengamatan di RPTN Coban Trisula (5.223 hektare) dipusatkan di pos pantau obyek wisata air terjun itu, persisnya di sepanjang jalan beraspal yang merupakan akses ke Gunung Semeru dan Gunung Bromo. Elang jawa di sini dipantau Yohanes Cahyo Dwi Hartono, Nursidiq, dan Gatot Kuncoro Edi.

Dari hasil pengamatan, tim TNBTS menduga ada sepuluh ekor elang jawa. Di Bendolawang terpantau sepasang elang jawa dewasa berusia enam tahun ke atas yang mempunyai satu anak berusia 1-2 tahun, ditambah seekor elang jawa remaja berusia 3-4 tahun. Sedangkan Cahyo dan kawan-kawan menyaksikan kemunculan dua pasang elang jawa berusia enam tahun ke atas, yang masing-masing mempunyai seekor anak berusia 1-2 tahun di kawasan hutan Coban Trisula. 

“Laporan lengkapnya belum selesai kami buat. Semua hasil temuan di lapangan harus dibahas secara komprehensif,” kata Elham kepada saya, Senin, 19 Agustus 2013.

Dugaan jumlah itu mengindikasikan populasi elang jawa di kawasan TNBTS melampaui hasil pengamatan pertama sepanjang 25-29 September 2012 di tiga RPTN tadi. Pada masa itu terpantau kemunculan 6 ekor elang jawa. 

Menurut Elham, pertambahan populasi burung pemangsa (raptor) yang sebelum 2005 bernama ilmiah Spizaetus bartelsi itu melebihi target prioritas penambahan populasi elang jawa sebanyak 3 persen sebagaimana diterakan dalam Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Nomor: SK.132/IV-KKH/2011 tentang Penetapan Empat Belas Spesies Terancam Punah.

Pada pengamatan pertama tim TNBTS mencatat kemunculan elang jawa rata-rata seekor masing-masing di RPTN Jabung dan RPTN Coban Trisula. Hanya di RPTN Patok Picis (4.370 hektare) elang jawa tidak muncul kecuali elang hitam dan elang lainnya, sehingga resor ini ditiadakan sebagai lokasi pengamatan kedua.

Saat itu tim TNBTS menduga populasi elang jawa terpantau sebanyak enam ekor. Namun tim tak berani memastikan data jumlah elang jawa terpantau lantaran peralatan pemantauan yang digunakan tim tidak komplet dan berkualitas rendah, serta tidak disertai pengamat elang jawa yang kredibel.

Pada pengamatan kedua tahun ini, tim TNBTS bersama saya dan Heru menyaksikan kemunculan banyak burung di Blok Bendolawang, yang jumlah jenisnya melebihi jumlah jenis burung-burung terpantau di dua lokasi pemantauan lainnya.

Sedikitnya terpantau 25 jenis burung, tujuh jenis di antaranya merupakan burung predator. Burung-burung nonpredator antara lain julang emas (Rhyticeros undulatus), kangkok ranting (Cuculus saturatus), puyuh-gonggong jawa (Arborophila javanica), dan bondol jawa (Haliastur indus).

Elang-ular bido (Spilornis cheela).
Selain elang jawa, enam elang lagi yang terpantau adalah elang hitam (Ictinaetus malayensis), elang-ular bido (Spilornis cheela), perut-karat (Hieraaetus kienerii), sikep madu asia (Pernis ptilorhynchus), alap-alap sapi (Falco moluccensis), dan elang brontok (Spizaetus cirrhatus).

“Kemunculan banyak burung di Bendolawang mengindikasikan hutan TNBTS masih berkondisi bagus sebagai habitat burung, terutama bagi burung pemangsa dan khususnya bagi elang jawa,” ujar Toni Artaka, menimpali.

Toni menyebutkan, aktivitas utama elang jawa yang teramati adalah bersuara, terbang berputar-putar (soaring), dan terbang mendatar (gliding). Kali ini tim pemantau tidak menjumpai elang jawa bertengger (perching) seperti yang mereka temukan pada masa pemantauan tahun lalu.

Momentum terbaik didapat tim pemantau saat menyaksikan kemunculan mendadak sepasang elang jawa, induk dan anak, di Blok Bendolawang pada Kamis (31/7). Sang induk sedang mengajari anaknya terbang. Di hari kedua, muncul tiga ekor elang jawa sekaligus.

Di Coban Trisula sepasang elang jawa sempat terlihat dari jarak dekat saat terbang rendah mendatar menyurusi jurang lalu terbang meninggi dan menghilang di balik bukit. Namun, lokasi pemantauan terhalang pepohonan dan belukar sehingga menyulitkan pemotretan. Berselang sejam, muncul sepasang elang jawa nun di kejauhan.

Beruntung, di Blok Cincing-lah tim bisa mengagumi kehadiran elang jawa dewasa dan bisa dipotret dari dekat. Sang elang nongol di atas punggung bukit terbuka—berupa ladang singkong, jagung, dan pisang—milik Perhutani yang berbatasan dengan hutan TNBTS. Semula tim menyangka elang brontok yang nongol. Namun sangkaan ini dikoreksi Heru, yang memastikan kami berhasil memotret elang jawa dewasa berumur lebih dari enam tahun.

Toni Artaka memastikan elang jawa ini berasal dari individu yang sama yang terpantau di Blok Bendolawang pada Jumat (1/8) dan ternyata benar setelah ia memperbesar hasil pemotretan sang elang. 

Berpandu pada alat GPS (global positioning system) diketahui Bendolawang dan Cincing terpaut jarak sekitar 500 meter. Cincing menjadi daerah jelajah dan diduga menjadi tempat elang jawa bersarang dengan merujuk pada kemunculan elang jawa dari arah Cincing selama empat hari pemantauan di Bendolawang.

Yohanes Cahyo menguatkan penjelasan Elham dan Toni. Menurut Cahyo, jumlah elang jawa diperkirakan melebihi ekspektasi mereka karena TNBTS punya selusin RPTN dan yang diekplorasi baru dua RPTN. “Hasil pemantauan pertama dan kedua sangat kami syukuri. Berapa pun elang jawa yang terpantau sudah sangat menggembirakan,” kata dia.

Wajar saja Cahyo berkata begitu. Sebelum 2012, tiada data dan catatan resmi tentang keberadaan elang jawa di Balai Besar TNBTS. Namun, setelah pemantauan pertama selesai, Balai pun berani memastikan elang jawa menjadi salah satu satwa penghuni kawasan. Selama ini catatan potensi fauna di kawasan TNBTS terdiri dari 137 jenis burung, 22 jenis mamalia, dan empat jenis reptil, plus potensi flora sekitar 600 jenis. 

“Kehadiran elang jawa dan elang lainnya mengindikasikan mayoritas hutan kami masih dalam kondisi bagus dan alami,” ujar Ayu Dewi Utari, Kepala Balai Besar TNBTS. “Pemantauan populasi satwa lain, khususnya macan tutul dan lutung jawa, akan diagendakan.”

Dia senang. Kehadiran pasangan elang jawa menunjukkan hutan yang dekat lokasi pengamatan sangat penting bagi habitat sang elang untuk berbiak sehingga harus dijaga kelestariannya. 

Diperkirakan ada 311 jenis burung predator di dunia, 90 jenis di antaranya berada di Asia. Dari 90 jenis, 75 jenis ada di Indonesia, yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Papua.

Berbagai jenis burung pemangsa dapat dijumpai di seluruh Indonesia, tetapi elang jawa hanya terdapat di hutan-hutan Pulau Jawa atau bersifat endemik. Elang jawa mendapat perlindungan hukum berskala internasional dan nasional karena merupakan pemangsa puncak (top predator) dalam rantai makanan di alam dan populasinya sudah sangat kritis.


Gugusan Gunung Kawi dan hutan lestari difoto dari

Blok Bendolawang pada 31 Juli 2013.

Badan Konservasi Dunia (International Union for Conservation of Nature/IUCN) memasukkan elang jawa ke dalam “daftar merah” sebagai satwa terancam punah (threatened) dengan kategori genting atau endangered. Selanjutnya, elang jawa masuk Apendiks I Konvensi Internasional untuk Perdagangan Spesies Terancam Punah (the Convention on International Trade in Endagered Species of Wild Fauna and Flora/CITES).

Apendiks I merupakan daftar spesies tumbuhan dan satwa liar terancam punah. Perdagangannya diizinkan pada kondisi tertentu, misalnya untuk penelitian, dan bukan untuk tujuan komersial.

Status perlindungan satwa di Indonesia ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 421/Kpts/Um/8/1970 tanggal 26 Agustus 1970 tentang Tambahan Ketentuan Dierenbeschermings Ordonantie 1931 jo Dierenbeschermings Verordening 1931. Elang Jawa mendapat perlindungan tambahan dalam Pasal 21 ayat 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang menyebutkan tentang pelbagai larangan terhadap satwa dilindungi.

Perlindungan hukum diperkuat lagi dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 4 Tahun 1993 tanggal 10 Januari 1993 tentang Satwa dan Bunga Nasional. Dalam Keputusan Presiden ini ditetapkan bahwa komodo (Varanus komodoensis) sebagai satwa nasional, ikan siluk merah (Sclerophages formosus) sebagai satwa pesona, dan elang jawa sebagai elang langka. Elang jawa pun disebut identik dengan lambang negara Garuda Pancasila.

Perlindungan lain diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa menegaskan perlindungan terhadap semua famili Accipitridae, termasuk jenis elang jawa.

Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar secara khusus memastikan elang jawa sebagai jenis burung pemangsa yang terlarang ditangkarkan untuk tujuan perdagangan. Disebutkan pula bahwa elang jawa termasuk satwa yang hanya dapat dipertukarkan atas restu Presiden Republik Indonesia.  

Begitu gentingnya populasi elang jawa, maka Direktur Jenderal PHKA pada 8 Juli 2011 menyatakan elang jawa bersama 13 spesies lain sebagai satwa yang mendapat prioritas utama untuk dilindungi dan populasinya ditingkatkan sebanyak 3 persen sepanjang kurun 2010-2014.

Tiga belas spesies terancam punah lagi adalah harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), badak jawa (Rhinoceros sondaicus), banteng (Bos javanicus), orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus pygmaeus), komodo (Varanus komodoensis), owa jawa (Hylobates moloch), bekantan (Nasalis larvatus), anoa (Bubalus quarlesi dan Bubalus depressicornis), babirusa (Babyrousa babyrussa), jalak bali (Leucopsar rothschildi), serta maleo (Macrocephalon maleo).

Secara garis besar, ke-14 spesies dikelompokkan menjadi tiga familia, yaitu mamalia (6 spesies), aves (4 spesies), primata (3 spe
sies), dan reptil (1 spesies).

Gunung Lawangan di Dusun Umbutlegi, Desa Umbutlegi, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang, dilihat dari Blok Cincing, Minggu, 4 Agustus 2013. 





















BEBERAPA literatur mendeskripsikan elang jawa sebagai salah satu burung predator paling langka dan terancam punah yang masih tersisa di dunia. Ia menghadapi risiko kepunahan terutama karena menyusutnya luasan habitat akibat pembalakan hutan, pengalihan fungsi lahan hutan untuk permukiman, kegiatan pertanian dan perkebunan, serta perburuan dan penjualan.

Vincent Nijman, ahli burung-burungan (ornitholog) asal Belanda, dan kawan-kawan, pernah menginvestigasi perdagangan elang jawa pada 2004. Dalam enam bulan terungkap penjualan 20 ekor elang jawa di beberapa kota di Pulau Jawa. Di tahun yang sama, sepuluh ekor elang jawa dikirim lewat Jakarta ke Singapura, serta ke Taiwan lewat Surabaya. Dari investigasi itu diperkirakan sekitar 53,2 persen populasi elang jawa berkurang akibat perburuan untuk perdagangan.

Sebagai pemangsa tingkat puncak (top predator), elang jawa berperan sangat penting dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan. Ia dan elang lainnya berfungsi sebagai indikator keadaan suatu lingkungan yang sehat, sekaligus pengendali populasi satwa lain.

Elang jawa dewasa mempunyai habitat utama berupa hutan primer yang selalu hijau dan sebagian kecil wilayah hutan sekunder. Sedangkan elang jawa anak dan remaja lebih menyukai area hutan terbuka—hutan dengan rumpang dan hutan tanaman muda. 

Departemen Kehutanan pada 2007 memastikan populasi terbanyak elang jawa ada di Jawa Barat, terutama di wilayah Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. TNGHS merupakan habitat alami bagi burung-burung pemangsa, termasuk elang jawa, karena memiliki kondisi terbaik dan terluas yang tersisa di Pulau Jawa. Kawasan Suaka Elang juga ada di sana. Bahkan, untuk mengukuhkan identitas, pengelola TNGHS menjadikan elang jawa sebagai logo resmi instansi mereka.

Menurut Heru Cahyono, TNGHS menyimpan hasil penelitian elang jawa dari banyak peneliti. Sebaliknya, ketersediaan hasil penelitian elang jawa di provinsi Jawa Tengah dan Yogyakarta, serta Jawa Timur masih sangat minim.


Lagi pula, ujar Heru, dalam sejarahnya penelitian ilmiah elang pertama kali dilakukan di wilayah Jawa Barat oleh Johan Coeraad van Hasselt dan Henrich Kuhl pada tahun 1820-an. Mereka menangkap elang jawa di daerah Gunung Salak untuk diteliti.

Memasuki abad ke-20, pengamatan intensif dilakukan Max Bartels, seorang pecinta satwa yang bekerja di Perkebunan Pasir Datar, dekat Sukabumi, setelah ia menerima seekor elang berjambul yang ditangkap seorang penduduk dengan umpan seekor ayam di sekitar perkebunan Gunung Melati pada 30 April 1907.

Awetan elang itu dikirim ke Jerman untuk diidentifikasi dan hasilnya bukan Spizaetus cirrhatus limnatus, tetapi mirip dengan Spizaetus kelaarti, jenis elang penghuni Srilanka, yang kemudian oleh seorang peneliti dideskripsikan sebagai takson barn atau anak jenis baru.

Usaha mengindentifikasi elang terus dilakukan. Pada 1924, E. Stresemann, pakar burung dari Jerman, memperkenalkan anak jenis baru burung elang. Sebagai penghormatan kepada Max Bartels yang menemukan kembali kehadiran elang di Pulau Jawa, Stresemann menamakan sang elang dengan nama ilmiah Spizaetus nipalensis bartelsi. Hampir 50 tahun kemudian, pada 1953, elang jawa yang dalam bahasa Inggris disebut Javan Hawk-eagle baru diberi status yang spesifik (jenis tersendiri) sebagai Spizaetus bartelsi oleh D. Amadon.

Setelah itu, penelitian elang jawa sangat jarang dilakukan sehingga informasi keberadaan elang jawa sangat terbatas dan menimbulkan keyakinan bahwa populasi elang jawa masih sangat sedikit dan diperkirakan hanya ada di kawasan pegunungan Jawa Barat. Pada 1975, Hans Bartels, anak bungsu keluarga Bartels, menemukan elang jawa di Suaka Margasatwa Merubetiri—sebelum berubah status menjadi taman nasional pada 23 Mei 1997. Sampai awal 1980-an para ahli burung elang memperkirakan elang jawa merupakan burung predator paling langka di dunia yang tersisa.

“Jadi wajar saja bila masyarakat tahunya rumah terbesar elang jawa ada di Jawa Barat, khususnya di TNGHS. Hampir seluruh penelitian maupun pengamatan mengenai biologi perkembangbiakan, tingkah laku, dan ekologi elang jawa masih terpusat di sana,” kata Heru.

Sepasang elang jawa di Coban Trisula, 1 Agustus 2013.
Padahal, ia menukas, populasi elang jawa tersebar di hampir seluruh hutan Pulau Jawa. Saat kota-kota besar di Pulau Jawa masih berupa hutan, misalnya, dapat dipastikan populasi burung-burung pemangsa, khususnya elang jawa, pasti masih melimpah dan tersebar luas karena kondisi habitatnya masih sehat dan luas.

Elang jawa hanya terdapat di Pulau Jawa, yang dapat ditemukan di daerah hutan primer dan daerah peralihan di dataran rendah dan hutan pegunungan; lebih umum ditemukan di setengah daerah selatan. Perluasan daerah penyebaran terjadi secara dramatis pada abad ke-19 dengan adanya perluasan daerah pertanian intensif pada zaman kolonial. Perluasan habitat yang ditempati meliputi 2.590 kilometer persegi di daerah dataran rendah dan 2.640 kilometer persegi di hutan lereng gunung. 

Diperkirakan 28 jenis burung pemangsa menghuni Pulau Jawa, yang terdiri dari 16 jenis predator penetap, enam jenis predator migran, dan enam subspesies penetap dan migran. Dua jenis endemik Jawa, yaitu elang jawa dan elang-ular bawean (Bawean Serpent-eagle atau bernama ilmiah Spilornis cheela baweanensis). Elang jawa terancam punah, Grey-headed Fish-eagle atawa elang-laut kepala-abu (Ichtyophaga ichthyaetus) hampir terancam punah.

Perkiraan populasi secara kasar dibuat berdasarkan ekstrapolasi dari luas area yang dibutuhkan oleh sepasang elang jawa dan berdasarkan jumlah habitat yang layak.

Beberapa ahli memperkirakan, pada 2004 elang jawa berpopulasi 270-600 pasang—dengan nilai pertengahan atau nilai moderat 435 pasang—dan pada 2006 populasinya berkurang di kisaran 108-542 pasang, dengan nilai pertengahan 325 pasang. Populasi elang jawa diperkirakan tersebar di 40 kantong kawasan hutan konservasi dan 22 kawasan hutan nonkonservasi.

Dari peta persebaran kawasan hutan alami, dari 40 kantong kawasan hutan konservasi, 33 kantong di antaranya masih lestari dan sisanya berkondisi buruk. Dapat disimpulkan, 46,7 persen populasi elang jawa berkurang karena kerusakan habitat.

Pada 2012 Raptor Indonesia merilis, dari hasil penelitian elang jawa dalam 15 tahun terakhir diketahui populasi elang jawa makin berkurang. Sepanjang 2005-2010, misalnya, ditaksir 110 pasang elang jawa hilang. Bila tak ada upaya konservasi yang serius, diperkirakan elang jawa punah pada 2025.

Masalahnya, kata Heru, belum ada informasi memadai mengenai kondisi spesies, struktur umur, ukuran populasi, penyebaran, dan data lain elang jawa. Hanya informasi karakteristik elang jawa yang lumayan mencukupi dan akurat.

“Selama ini penelitian elang jawa terlalu terfokus di kawasan konservasi, seperti di taman nasional dan kawasan yang dikelola BKSDA. Padahal, elang jawa juga bisa hidup di luar kawasan konservasi. Namun, kita kekurangan SDM (sumber daya manusia) yang mau meneliti elang jawa di Jawa Timur,” kata sarjana sains biologi dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Negeri Malang itu.

Kebanyakan peneliti lebih suka meneliti di Jawa Barat, yang alamnya berkondisi relatif lebih subur dan lestari sehingga disukai elang jawa. Alhasil, ketersediaan data dan catatan keberadaan elang jawa di Jawa Timur dan Jawa Tengah sangat njomplang dibanding catatan dan data serupa yang dipunya Jawa Barat.

Di luar Jawa Barat, berdasarkan data Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Jawa Tengah, elang jawa di Jawa Tengah kini hanya bisa dijumpai di Gunung Slamet, Gunung Merapi, Gunung Dieng, serta hutan di Pemalang.


Sisipan Jawa Timur Majalah TEMPO, 9-15 September 2013


Di Jawa Timur, menurut Heru, penemuan elang jawa di kawasan TNBTS bukanlah penemuan baru. Raptor Indonesia bersama pengamat burung dari Malang, Surabaya, Yogyakarta, dan Jakarta pernah mengamati keberadaan elang jawa di 19 lokasi di Jawa Timur sepanjang 2009-2013.

Hasilnya, elang jawa muncul di 15 lokasi atau 79 persen, dengan rata-rata populasi di tiap lokasi antara satu sampai dua pasangan. Diperkirakan, daerah jelajah elang jawa dewasa maksimal 50 kilometer persegi, elang jawa remaja terbiasa menjelajah area 5 kilometer persegi, serta anakan elang jawa biasa “beredar” di wilayah hutan seluas 1 kilometer persegi. Luas daerah jelajah tergantung topografi hutan. Bila terhalang perbukitan, maka daerah jelajah menjadi terbatas.

Lima belas lokasi itu: Taman Nasional Bromo Tengger Semeru; Taman Nasional Baluran; Hutan Lindung Gunung Raung di Kabupaten Jember; Perkebunan Kopi Kayumas di Kabupaten Situbondo; Hutan Lindung Pancur Angkrek di Kabupaten Bondowoso; Taman Nasional Alas Purwo; Hutan Lindung Kondangmerak di Kabupaten Malang; Cagar Alam Pulau Sempu di Kabupaten Malang; Cagar Alam Taman Wisata Ijen di Kabupaten Banyuwangi; Hutan Lindung Gunung Kawi di Kabupaten Malang; dataran tinggi Hyang di Kabupaten Jember; Taman Nasional Merubetiri; hutan pinus Pujon dan Ngantang di Kabupaten Malang; serta hutan pinus dan mahoni di Prigen, Kabupaten Pasuruan.

Habitat tempat bersarang dan teritori yang digunakan elang jawa adalah tempat yang sukar dicapai, berbukit, hutan awet hijau dataran rendah tropis, dan daerah bawah dan daerah atas hutan hujan tropis.

Elang jawa bisa hidup di daerah pantai, seperti Kondangmerak di Kabupaten Malang dan Taman Nasional Merubetiri, serta di ketinggian antara 2.200 sampai 3 ribu meter di atas permukaan laut. Elang jawa sangat tergantung pada hutan primer. Namun, hasil pengamatan membuktikan elang jawa juga menggunakan hutan sekunder untuk berburu dan bersarang, tapi lokasinya masih berdekatan dengan hutan primer yang luas dan tak diragukan lagi turut mempengaruhi keberhasilan pembiakkannya.

Perjumpaan beberapa pasangan yang sedang berbiak di hutan produksi menunjukkan bahwa kawasan itu sangat penting bagi elang jawa. Burung elang jawa muda biasanya dapat ditemukan di tepi hutan. Kendati begitu, menurut Heru, tampaknya terjadi persebaran tumpang tindih terutama dengan daerah yang memiliki curah hujan tertinggi, tapi daerah jelajahnya mungkin juga mencakup daerah kering, seperti daerah hutan semi-peluruh tropis di Taman Nasional Alas Purwo.

“Secara umum,” Heru menegaskan, “kondisi hutan di Jawa Timur yang kami kunjungi masih bagus dan lestari sebagai habitat elang jawa dan kualitas hijaunya tak kalah dengan hutan primer di Jawa Barat.”

Kemunculan anakan dan remaja elang jawa selama masa pemantauan oleh TNBTS mengindikasikan bahwa reproduksi elang jawa relatif berhasil. Reproduksi elang jawa lambat. Dalam dua tahun elang jawa betina hanya bertelur satu butir dan itu pun dengan risiko gagal menetas akibat sarang rusak atau telur hilang.

Anak elang jawa pun menghadapi risiko tinggi berupa pencurian oleh pemburu karena sang anak suka bersuara sehingga keberadaan sarang mudah diidentifikasi pemburu.

Sedangkan perjumpaan pasangan elang jawa menunjukkan bahwa hutan yang dekat lokasi pengamatan sangat penting bagi habitat sang elang untuk berbiak. Kemunculan elang jawa dewasa, remaja, dan anakan menjadi indikasi positif bahwa kondisi hutan TNBTS masih bagus.

Secara umum, Heru menegaskan, kondisi hutan di Jawa Timur yang kami kunjungi masih bagus dan lestari sebagai habitat elang jawa dan kualitas hijaunya tak kalah dengan hutan primer di Jawa Barat.

“Sekarang perlu dilakukan penelitian lanjutan yang lebih intensif, terutama untuk mengetahui keberadaan sarang elang jawa agar perkiraan populasi bisa lebih akurat,” Heru menukas.


Rubrik Ilmu & Teknologi Koran Tempo, Rabu, 11 September 2013


Pendiri ProFauna Indonesia, Rosek Nursahid, punya pendapat berbeda. Secara prinsip ia mendukung pernyataan petinggi TNBTS yang memastikan hutan TNBTS merupakan habitat elang jawa. Namun, menurut Rosek, TNBTS terlalu cepat menyimpulkan populasi elang jawa bertambah hanya berdasarkan hasil dua pemantauan. Rentang waktu pemantauan itu terlalu cepat, hanya berselang setahun dari 2012 ke 2013.

“Lain soal bila rentang waktunya panjang. Dalam rentang waktu setahun, bisa terjadi pengulangan pengamatan atas individu elang jawa yang sama karena, misalnya, keterbatasan teknis pemantauan di lapangan, sehingga populasinya bisa saja dikira bertambah banyak, padahal itu elang jawa yang sama dengan yang diamati dulu,” kata Rosek.

Anggaplah populasi elang jawa memang bertambah, itu pun belum bisa dijadikan dasar untuk memastikan TNBTS menjadi rumah bagi elang jawa sepanjang belum ditemukan sarang aktif tempat sang elang berbiak. “Sebagai habitat, iya, tapi sebagai sarang elang jawa belum tentu sepanjang sarang aktifnya tidak ditemukan.”

ProFauna pernah melakukan survei elang jawa pada 1997, 2000, 2011, dan 2012, dengan lokasi yang sama di Taman Hutan Rakyat (Tahura) Raden Soerjo, Taman Nasional Merubetiri, Cagar Alam Pulau Sempu di Kabupaten Malang, Hutan Lindung Lebakharjo di Kabupaten Malang, TNBTS, dan Suaka Margasatwa Hyang. 

Hasilnya, pada 1997, ProFauna menyaksikan kemunculan 6 elang jawa di Tahura Raden Soerjo, di TN Merubetiri melihat kemunculan 2 elang dan satu sarang aktif, melihat kemunculan seekor elang jawa di Pulau Sempu, 3 ekor elang muncul di Lebakharjo ditambah dua sarang tidak aktif, di TNBTS muncul 2 ekor, serta di dataran tinggi Hyang muncul seekor. 

Tiga tahun berselang, pada 2000, populasi elang jawa yang disurvei ProFauna berkurang. Elang jawa tak muncul di Lebakharjo dan Hyang. Di Tahura Raden Soerjo nongol 5 ekor, di TN Merubetiri muncul 3 ekor, Pulau Sempu tetap seekor yang terlihat, dan di TNBTS tetap dua ekor yang terpantau. 

Pada 2011, hanya dua ekor elang jawa yang terlihat terbang di Tahura Raden Soerjo. Pada 2012, elang jawa absen di Lebakharjo dan Hyang. Elang jawa masih muncul di Tahura Raden Soerjo (2 ekor), TN Merubetiri (2 ekor), Pulau Sempu (1 ekor), dan TNBTS (3 ekor).

Karena itu, Rosek sangat mendukung niat TNBTS untuk menindaklanjuti pemantauan dengan mencari lokasi sarang elang jawa di dalam hutan. ABDI PURMONO 



Share this :

Previous
Next Post »