Hutan Bakau dan Ketamakan Manusia

Senin, Juli 15, 2013
Foto-foto: ABDI PURMONO

Tulisan panjang ini dimuat hampir satu halaman penuh di harian Waspada Medan edisi Jumat, 5 Januari 2001. 

Naskah asli yang dikirim ke redaksi Waspada disalin dengan mesin ketik butut—hadiah dari orangtua saat masuk kelas 1 SMA Negeri 11 Medan. Fotonya pun dibuat dengan kamera manual atau kamera analog merek Vivitar berharga Rp 600 ribu, yang tentu saja jadi kamera jadul di era kamera digital sekarang. 

Tulisan panjang nan sederhana, mungkin banyak data yang tidak lagi relevan dengan kondisi sekarang. Sudilah Anda, pembaca, untuk mengoreksi kelemahan dalam artikel ini, sekaligus berbagi informasi terkini SMKG/LTL. Terima kasih. 

Badung, Bali, 15 Juli 2013
-------------------------------------

MUNGKIN tahun 1990 menjadi tahun sial bagi warga Kuala Besar, Secanggang, Langkat. Betapa tidak, satu-satunya bangunan sekolah dasar negeri di desa yang berada di delta Selat Malaka itu ambruk karena dihantam gelombang pasang air laut. Sepuluh tahun berselang, toh gedung pengganti sekolah dasar yang lama kini juga dikhawatirkan roboh karena genangan air laut.

Alhasil, menurut Apandi, 340 kepala keluarga yang menghuni desa tersebut terpaksa meninggikan tiang rumah agar terhindar dari gerogotan air laut. Itu pun setelah menyingkir dari bibir laut sejauh lebih kurang 80 meter. Maklum, luas pantai menciut karena proses abrasi.

Apandi mengungkapkan, semula hutan bakau di sekitar desanya masih rimbun, pendapatan warganya terbilang lumayan. Ikan, udang, kerang, kepiting, misalnya, masih gampang diperoleh sehingga ikut menambah penghasilan.

“Tapi, sekarang pendapatan warga di sini menurun. Selain rusaknya hutan bakau, paluh-paluh yang ditutup oleh pengusaha tambak membuat kami bertambah susah mencari makan,” tutur pria 52 tahun ini, yang menjadi Kepala Desa Kuala Besar sejak 1997.

Cerita murung Apandi itu cuma satu misal dari dampak kerusakan Suaka Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut, disingkat SMKG/LTL. Memang bukan cerita yang mengejutkan karena sudah biasa terjadi bila hutan bakau rusak parah. Contoh tak sedap lainnya yakni tenggelamnya Pulau Tapak Kuda pada 1985. Pulau ini merupakan pulau terdekat yang berada di luar kawasan SMKG/LTL.

Namun, sesungguhnya, kerusakan hutan bakau (mangrove) di kawasan itu adalah saksi kejahiliahan dan keserakahan segelintir manusia di Sumatera Utara. 

Gara-gara manusia getol membabat pohon bakau, dalam tempo 15 tahun, hutan mangrove di Sumatera Utara terpangkas lebih dari separuhnya. 

Dulu luasnya 85 ribu hektare, tapi dewasa ini tinggal 31.173 hektare. Itu pun merupakan hasi perkiraan paling optimistis dengan mengabaikan kualitas hutan bakau. Soalnya, di beberapa Daerah Tingkat II, ada kawasan hutan bakau yang sudah sekarat, bahkan hampir tidak ditumbuhi bakau.


Perambahan hutan bakau di kawasan itu dimulai sejak 1980-an dan kian meruyak di era 1990-an seiring dengan melonjaknya harga udang di pasar internasional. Sedangkan upaya pencegahannya boleh boleh dibilang memble. Harap dimaklumi, tenaga pengawas yang ada kini cuma seorang jagawana, B. Sinurat, yang dibantu Azhar, seorang relawan lingkungan hidup setempat. Fasilitas kerja yang amat tidak memadai dan gaji yang minim, alangkah tidak sebanding dengan tugas berat yang mereka pikul.

Perambahan terjadi di sebelah utara Desa Karang Gading, Secanggang, Langkat, berupa perkebunan kelapa sawit seluas 1.200 hektare dan tambak udang 685 hektare; 250 hektare tambak udang di sekitar Tangkahan dan Sungai Sipuncung, serta 296 hektare kebun kelapa sawit di Desa Pematang Cengal.

Hingga periode 1997-1998 sedikitnya terdapat 51 perambah, baik atas nama pribadi maupun badan usaha, dengan luas rambahan mencapai 3.932 hektare dari seluruh luas Karang Gading, yakni 6.245 hektare. Untuk Langkat Timur Laut belum dapat ditaksir luas kawasan yang telah dirambah. Para perambah kebanyakan datang dari Medan, Lubuk Pakam, Binjai, dan Stabat.

Beberapa perambah antara lain M.J. Simanjuntak (500 hektare), David Napitupulu (500 hektare), Waspada Bangun (400 hektare), Marihot Harahap (240 hektare), KUD Mina Telaga Gading (200 hektare), Vasit Tarigan (180 hektare), Hutagalung (100 hektare), Lintang Siahaan (100 hektare), PT Eka Jayasindo (50 hektare), CV Segar Wangi (17 hektare), dan Akurang (7 hektare).

Tapi, usaha-usaha untuk mengkonversi lahan suaka menjadi pertambakan dan  perkebunan agaknya masih akan terus berlangsung. Berdasarkan pengamatan penulis bersama tim dari Care International Indonesia, Kementerian Lingkungan Hidup, Yayasan KIPPAS (Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera) Medan, dan beberapa wartawan dari Jakarta dan Medan, 20-21 Oktober 2000, terdapat ribuan hektare hutan bakau yang sudah gundul dan ditumbuhi semak belukar, yang berjarak tak sampai 50 meter dari tepi Sungai Karang Gading. Di sana ditemukan pula bantaran tanah berupa bendungan selebar empat meter yang panjangnya konon mencapai 15 kilometer.

Kabarnya bendungan itu untuk melindungi areal perkebunan kelapa sawit milik PT Pernas, PT Polimuda, maupun ratusan hektare yang dijarah masyarakat untuk membuat tambak udang. Jangankan yang sudah botak, di beberapa lahan yang masih tergolong hijau oleh bakau pun sudah dikapling-kapling dengan cara memasang papan nama milik sejumlah badan usaha dan organisasi kemasyarakatan, seperti Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). Malah, beberapa nelayan menjelaskan bahwa sebelumnya ada papan nama berlabel Badan Peradilan Militer—bukti foto ada pada penulis.

Arkian, pencurian kayu bakau juga menjadi ancaman serius. Biasanya pencuri kayu bakau, yang kebanyakan dari warga setempat, beraksi di bagian hutan bakau yang masih rapat dan di saat malam hari. Ada pula yang nekat mencuri kayu bakau, termasuk juga kayu api-api (Avecienna marina), secara terang-terangan pada sore hari. Beberapa warga terlihat mengangkut kayu bakau dengan sampan tanpa rasa takut.

“Lihatlah, mereka enak saja mengambil kayu-kayu itu. Kalau dilarang, mereka justru membalas dengan parang sama kelewang. Atau alasan ini zaman reformasilah. Belum lagi yang cukong-cukong yang punya beking kuat. Kami ini apalah, kan jadi serba salah,” ujar B. Sinurat dalam logat Batak nan kentara. Dia menambahkan, sebelum terjadi perambahan, tinggi rata-rata pohon bakau di kawasan itu mencapai 20 meter dan kini tak lebih dari lima meter.

Pencurian kayu bakau semakin merajalela menyusul kehadiran ratusan dapur arang, yang menyebar di hampir semua kecamatan di Kabupaten Langkat, terutama Kecamatan Gebang.

Sedikitnya terdapat 363 unit dapur umum, yang setiap dapurnya diperkirakan menghabiskan 2.000 batang kayu bakau, dengan kapasitas produksi 5-15 ton per bulan. Ditaksir, setiap bulannya semua dapur arang itu mampu memproduksi hingga 27.936 ton, untuk selanjutnya diekspor ke negara tujuan utama seperti Jepang, Taiwan, Emirat Arab, dan Kanada.

Saban tahunnya ekspor arang bakau melalui Pelabuhan Belawan berkisar 400 ribu ton. Padahal, Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan (Kanwil Dephutbun) Sumatera Utara sudah melarang dapur-dapur arang itu beroperasi. Selain diolah menjadi arang, sebagian kayu bakau dijual ke toko panglong.

Perburuan juga mengganggu kelestarian SMKG/LTL. Umumnya perburuan terjadi di dalam kawasan yang jauh dari pengawasan. Sasarannya terutama monyet dan berbagai jenis burung, baik yang endemik seperti bangau ular (Ardea purpurea) maupun burung migran seperti elang tutut (Haliaectus leucogaster).

Ancaman lain yakni pencemaran sungai. Beberapa orang warga mengaku, limbah Pabrik Gula Sei Semayang milik PTPN II biasanya mengotori Sungai Karang Gading sekali dalam setiap enam bulan, plus tercemar pestisida yang lazim dipakai di lahan pertanian dan pertambakan. Begitu pula dengan banyaknya pemasangan ambai (jaring yang dipasang pada tiang-tiang yang ditancap ke dasar sungai), baik di batang atau di muara sungai.

Beban yang harus ditanggung SMKG/LTL masih ditambah lagi dengan padatnya permukiman penduduk, yang disadari atau tidak, berdampak buruk terhadap keseimbangan ekosistem. 

Resettlement atau transmigrasi pernah diupayakan untuk mengantisipasi lonjakan jumlah penduduk di sekitar kawasan. Tapi, hingga kini permukiman penduduk di sepanjang aliran sungai (DAS) Karang Gading justru semakin bertambah, terlebih setelah masuknya para pendatang.

Namun, boleh jadi, pangkal perusakan hutan bakau di kawasan konservasi itu tak lain lantaran ketidakjelasan pelbagai kebijakan pemerintah. Pergulatan kepentingan antarinstansi pemerintah turut berperan di sini. Misalnya, Kanwil Departemen Pertanian membolehkan pembukaan perkebunan kelapa sawit dan tambak di dalam kawasan dengan direstui Pemerintah Daerah Langkat. Alasannya, intensifikasi lahan.

Kebijakan pemerintah yang tumpah tindih relevan dengan loyonya perangkat hukum sebagaimana disorot Irham Buana Nasution. Menurut Direktur LBH (Lembaga Bantuan Hukum) Medan ini, peraturan-peraturan organik yang ada belum semuanya mengakomodasi sanksi-sanksi hukum secara tegas bagi pelanggarnya.

Maka, tak heran bila aksi pelanggar kawasan terlarang itu aman-aman saja. Semenjak dikukuhkan sebagai hutan suaka sampai sekarang, baru satu kasus yang diadili di Pengadilan Negeri Stabat. Adalah Tengku Rahman yang dihukum akibat menggarap lahan di Karang Gading seluas lima hektare. Persidangannya digelar mulai 10 November 1994 hingga vonis 9 Maret 1995. Itu pun dengan vonis ringan, yakni empat bulan penjara ditambah delapan bulan masa percobaan, serta mengganti ongkos perkara Rp 5 ribu!

Yang menyulitkan lagi, yaitu adanya sejumlah aparat keamanan dan pemerintah setempat yang ditengarai bersekongkol menggarap kawasan SMKG/LTL. Selain karena pihak yang berkompeten tidak kompak, kehancuran kedua kawasan itu juga terjadi karena ketidaktahuan masyarakat mengenai batas kawasan. Ada tanda pembatas yang hilang dan ada pula yang sengaja dihilangkan. Plus tidak jelasnya penentuan batas tambak inti rakyat, seperti kasus Selotong-Karang Gading, karena surat keterangan tanah (SKT) yang dikeluarkan Camat Labuhan Deli pada 1985.

Hal senada diakui Insinyur Darori. Menurutnya, hubungan antarinstansi terkait yang tergabung dalam tim inventarisasi hutan bakau bentukan Gubernur Sumatera Utara pada 1999 memang terkesan tidak akur. Sejumlah laporan pelanggaran di atas kawasan itu nyaris tak pernah digubris.

Kepala Kanwil Dephutbun Sumut ini mencontohkan, pihaknya bersama Kanwil Ditjen Bea dan Cukai di Belawan pernah menangkap 22 peti kemas berisi arang bakau senilai Rp 37 miliar lebih, yang siap diekspor pada Juli 1999. Namun, barang bukti itu lenyap. “Kami merasa, ternyata dukungan kepada kami terlalu minim. Malah kesannya keberadaan kami semakin disepelekan,” kata Darori.

Memang ada Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam No. 129/Kpts/DJ-VI/1996 tanggal 31 Desember 1996 tentang Pola Pengelolaan Kawasan Suaka Alam, Kawasan Pelestarian Alam, Taman Buru dan Hutan Lindung. Beleid ini memberi acuan kebijaksanaan, strategi, dan arahan pengelolaan suaka margasatwa. Tapi masih sangat lamban dijalankan, sedangkan kerusakan semakin meluas.

“Jadi, jangan salahkan kami sajalah bila ngambil kayu-kayu (bakau) itu buat masak. Kan masih ada yang mencuri banyak-banyak dan dibeking tentara. Kalau mau tangkap ya mereka duluanlah. Terutama bos-bos tambak yang menutup paluh-paluh itu yang bikin kami kesulitan mendapat ikan, udang, dan kepiting,” ketus seorang nelayan dalam aksen Melayu tulen, sambil meneruskan menjemur jaring.


SUAKA Margasatwa Karang Gading dan Langkat Timur Laut atau disingkat SMKG/LTL membentang di dalam empat kecamatan, yakni Tanjungpura dan Secanggang di Kabupaten Langkat, Labuhan Deli dan Hamparan Perak di Kabupaten Deli Serdang. 

Pulau-pulau terdekat, tapi berada di luar kawasan, adalah Pulau Tapak Kuda, Pulau Jaring Alus, dan Pulau Kuala Besar. Pada awal 1930-an, kawasan ini terdiri dari dua wilayah, yakni Karang Gading dan Langkat Timur Laut, yang dipisahkan oleh Sungai Karang Gading.

Sebelum ditetapkan sebagai suaka margasatwa, hutan di Langkat Timur Laut ditetapkan sebagai hutan produksi sesuai Zelfbestuur Besluit (ZB) 148 tanggal 6 Agustus 1932 seluas 9.250 hektare, yang disahkan oleh Gubernur Pesisir Timur Pulau Perca pada 24 September 1932. Lalu Karang Gading dengan ZB 138 tanggal 8 Agustus 1935 seluas 6.245 hektare. Kedua sertifikat ini kemudian diperkuat oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Pertanian No. 811/Kpts/Um-11/1980 tanggal 5 November 1980 untuk dijadikan kawasan suaka margasatwa seluas 15.495 hektare.

Penataan batas kawasan dilakukan pada 1934, dengan berita acara tanggal 14 Juni dan 3 Juli 1934. Pada 1984, sebagian batas yang bersebelahan dengan daratan direkonstruksi oleh Balai Inventarisasi dan Perpetaan Hutan Wilayah I sepanjang 50 kilometer. Letak astronomis kawasan itu terbentang antara 98 derajat 30’-98 derajat 42’ Bujur Timur dan 3 derajat 51 30”-3 derajat 59 45” Lintang Utara.

SMKG/LTL bisa dicapai melalui darat dan laut. Dari darat melewati rute Medan-Stabat-Secanggang sepanjang kurang lebih 70 kilometer, dengan waktu tempuh sekitar dua jam. Bisa pula melalui rute Medan-Tanjungpura-Pematang Sentang sejauh 90 kilometer atau sekitar tiga jam perjalanan. Atau dua jam dengan menggunakan bot dari Belawan.

Kawasan itu tidak memiliki keliaran (wilderness) yang tinggi. Nelayan gampang dijumpai di seluruh kawasan. Kapal-kapal motor kebanyakan digunakan untuk angkutan sungai. Kampung-kampung yang berada di dalam dan sekitar kawasan sebagian besar dihuni komunitas Melayu, Sunda, Banten, dan Banjar. Jumlahnya sekitar 87.162 jiwa, yang tersebar di 27 desa di empat kecamatan. Dari jumlah jiwa tersebut, 11.615 orang bekerja sebagai petani, nelayan 2.033 orang, PNS/TNI/Polri (1.036), pedagang 2.056 orang, dan lain-lain sebanyak 10.490 orang.

Karena kawasan ini termasuk dalam ekosistem hutan pantai, maka vegetasinya didominasi jenis bakau putih/hitam (Hizophora apiculata), langgadai (Bruquiera parviflora), butabuta (Excoecaria sp), nyirih (Xyloxcarpus granatum), dan nipah (Nipa fructican). Sedangkan jenis satwa yang banyak dijumpai adalah kera (Macaca fascilcularis), lutung (Presbytis cristata), dan raja udang (Alcedo athis). Selain itu terdapat pulang elang laut, ular, ikan, serta beberapa jenis mamalia. Dan tuntong (Batagur baska) menjadi satwa endemik yang dilindungi dengan SK Mentan No. 327/Kpts/Um/1978 karena keberadaan dan penyebarannya belum diketahui.

KERUSAKAN SMKG/LTL hanya satu contoh betapa pemerintah belum serius menangani kerusakan lingkungan hidup. 

Padahal, di era 1980-an Indonesia menjadi pemilik hutan bakau terluas dengan keanekaragaman (biodiversity) terbesar, yang mencapai 25 persen dari total luas hutan bakau di dunia. Dulu hutan bakau Indonesia diperkirakan seluas 12,9 juta hektare, dengan perhitungan garis pantai sepanjang sekitar 18 ribu kilometer.

Tapi, setelah banyak dikonversi menjadi kawasan wisata (resor), realestat, pertambakan, dan dibabat untuk kepentingan industri pulp, kini hutan bakau Indonesia terancam punah. Menurut Departemen Kehutanan, Indonesia memiliki 4,25 juta hektare hutan bakau, yang lalu menciut menjadi 2,5 juta hektare atau 60 persen dari luas semula, yang tersebar di Irian Jaya (58%), Sumatera (19%), Kalimantan (16%), dan sisanya di pulau-pulau lain.

Kerusakan terparah dialami hutan bakau di sepanjang pantai Pulau Jawa. Di Jawa Barat, misalnya, pada 1980 hutan bakaunya seluas 28,6 ribu hektare, 14 tahun kemudian berkurang menjadi 5,7 hektare. Dalam kurun waktu yang sama, hutan mangrove di Jawa Tengah tinggal 1.000 hektare dari luas 13,5 ribu hektare. Kondisi hutan bakau di Jawa Timur pun senasib: tinggal 500 hektare. Padahal pada 1980 luasnya 7,75 ribu hektare. Di Surabaya, akibat reklamasi pantai, luas hutan mangrove tinggal 8,2 kilometer persegi dari 28,4 kilometer persegi yang pernah dilaporkan tumbuh di sepanjang garis pantai.

Kehancuran hutan bakau memang kian meluas di pesisir Nusantara. Semisal di pantai timur Lampung, dari luas 17 ribu hektare, 90% sudah hancur akibat pesatnya pembangunan. Kerusakan serupa juga diderita kawasan hutan bakau di Pulau Bintuni dan Taman Nasional Lorentz di Irian Jaya.

Ketamakan manusia terhadap hutan bakau pun sudah lama dirasakan gugusan pulau di Kepulauan Seribu. Pada 1994, misalnya, setidaknya enam pulau—Air Kecil, Ubi Besar, Ubi Kecil, Dapur, Payung Kecil, dan Gosong Pabelokan—diketahui hilang alias tenggelam. Ini terjadi selain karena hutan bakau dibabati, juga akibat pengerukan pasir dan karang laut secara besar-besaran di wilayah pantai oleh para invenstor swasta.

Begitu pula dengan 150 kilometer persegi kawasan hutan bakau Pantai Indah Kapuk yang luluh-lantak karena pembangunan realestat. Padahal, pihak pengusaha sudah diwajibkan menyisakan 1.000 meter persegi lahan bakau sebagai sabuk hijau (green belt).

Andai kegunaannya betul-betul disadari, mungkin takkan ada lagi orang yang tega merusak hutan bakau. Secara ekologis, pohon bakau—juga api-api—memiliki fungsi melindungi pantai dari proses abrasi, menjaga permukiman penduduk dari gerogotan air laut, serta menyerap bahan-bahan pencemar laut. Limbah, baik berupa logam berat maupun pestisida, akan ditelah oleh tanaman itu karena mangrove telah diprogram secara genetis untuk melakukan resistensi terhadap kandungan logam di jaringan tubuhnya.

Ekosistem mangrove juga penghasil bahan organik yang produktif sehingga menjadikannya sebagai sumber bahan makanan bagi semua organisme di sekitarnya. Predator tak suka hidup di situ karenanya hutan bakau dapat menjadi rumah yang aman bagi biota laut. Seumpama ikan, hewan ini akan menjadikan mangrove sebagai tempat memijah, bertelur, dan membesarkan anaknya. Pun sangat membantu pembentukan daratan. Pendek cakap, hutan bakau sangat berguna untuk menjaga kelestarian lingkungan.


Tapi, kenyataan di Indonesia tak semolek dalam andaian. Gemerincing fulus jauh lebih memikat ketimbang kerelaan mewariskan hutan bakau nan hijau dan eksotis bagi generasi pelanjut. 

Kalau menengok perambahan hutan bakau yang nyaris tak terkendali, rasanya memang tak elok bagi Indonesia sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang meratifikasi Konvensi Ramsar pada 1991.

Konvensi Ramsar mengharuskan Indonesia melindungi segenap lahan basah—termasuk di dalamnya hutan bakau—seluas 38 juta hektare lebih atau 21 persen dari luas daratan yang dimilikinya dan telah menjadikan Indonesia sebagai pemilik lahan basah terluas di Asia.

Jadi, jangan sampai kebanggaan itu menjadi percuma!


Lokasi, Luas, dan Kondisi Hutan Bakau di Sumatera Utara


Kabupaten

Hutan Register

Hutan Rakyat
(Nonregister)

Jumlah

Baik

Rusak







Langkat
24.810
10.190
35.000
10.000
25.000
Deli Serdang
11.800
8.200
20.000
5.603
14.697
Asahan
11.870
2.253
14.123
1.500
12.623
Labuhan Batu
1.700
--
1.700
1.200
500
Tapanuli Selatan
2.900
--
2.900
2.700
200
Tapanuli Tengah
--
1.800
1.800
1.570
230
Nias
--
9.570
9.570
8.600
970






Jumlah
53.080
32.013
85.093
31.173
54.220

Sumber: Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Utara.



Share this :

Previous
Next Post »
2 Komentar
avatar

tulisan yang bagus mas abel.
ngeri emang kalo bakau dah habis.. pantai ilang, pulau tenggelam, manusia/peradaban pun lenyap

Balas
avatar

Terima kasih, Yu. kasihan lihat org2 yg tinggal di pesisir, dan lbh kasihan lg anak2nya. mereka yg bakal mewarisi dampak dari kerusakan kampung mereka akibat keserakahan org2 dewasa.

Balas