Nafsu Besar Tenaga Hampa

Minggu, September 23, 2012

Majalah TEMPO Edisi 6-12 Agustus 2012

Bengkel Embing dikunjungi Bupati Malang Rendra Kresna.
Foto-foto: ABDI PURMONO

Pembangkit Listrik Tenaga Hampa buatan Embing dituding cuma tipu-tipu. Pembuatnya gagal membuktikan sebaliknya.

TIDAK tampak kehidupan di bengkel dinamo Slamet Haryanto di Desa Ngroto, Kecamatan Pujon, Malang, Jawa Timur. Puntung rokok kretek terserak di segala sudut, sementara kabel terurai di sana-sini. Padahal, dua pekan lalu, bilik bambu berukuran 18 meter persegi itu menjadi pusat perhatian.

Bupati Malang Rendra Kresna, Manajer PLN Malang Agus Kuswardoyo, dan belasan anak buah Rendra bertandang ke bengkel Slamet pada Selasa, 24 Juli lalu. Tujuannya satu, melihat mesin ajaib yang disebut-sebut bisa menghasilkan listrik tanpa bahan bakar. Majalah Tempo edisi 23-29 Juli (baca: Dari Hampa Setrum Menyala) juga menuliskan penemuan generator yang diberi nama Pembangkit Listrik Tenaga Hampa (PLTH) itu.

“Dalam demo kepada kami, lampunya menyala sebentar, lalu mati,” kata Agus kepada Tempo kepan lalu. Bohlam merkuri yang butuh daya 500 watt pada tegangan 160-240 volt itu menyala tak sampai satu menit. “Pembuatnya tidak mau menyalakan berlama-lama karena alatnya masih basah, takut nyetrum.”

Toh, Bupati Rendra terpukau. Ia langsung memesan generator itu untuk dipakai di wilayah Malang yang belum teraliri setrum. Slamet, 51 tahun, yang cuma lulus sekolah dasar, juga langsung mendapat pujian di sana-sini, tapi cuma tiga hari.

Bintang Slamet diredupkan seorang konsumen PLTH, Braid S. Putra. Warga Lowokwaru, Malang, itu menuding generator Slamet cuma tipu-tipu, walau belakangan Braid melunakkan tuduhannya. Di mailing list alumnus Institut Teknologi Bandung, Braid mengatakan generator Slamet tidak berfungsi sesuai dengan klaimnya. Listrik yang dihasilkan saat demo produk, tulis Braid, diduga dipasok dari kabel PLN yang disembunyikan di bawah tanah. Segera saja pembeli PLTH yang sudah membayar di muka bergerak mencari Slamet. Namun dia seakan-akan raib.

Sejak Jumat, 27 Juli lalu, Embing—panggilan Slamet—tidak lagi menempati bengkel sekaligus rumah itu. “Tidak pamit,” ujar perempuan pemilik rumah kontrakan yang menolak disebutkan namanya. Lewat telepon—yang jarang tersambung—Slamet mengaku sedang berada di Surabaya untuk menghadiri pemakaman orang tua angkatnya, sekalian membeli komponen pembangkit listrik.

Rupanya, Slamet tidak cuma ke pemakaman. Ia juga tengah menyiapkan kepindahannya ke rumah baru. Selasa pekan lalu, beberapa jam sebelum Slamet memindahkan alat ajaibnya, Tempo sempat melihat alat itu sekali lagi. Sebagian komponen yang semula berada dalam rangkaian besi berukuran 60 x 70 x 90 sentimeter sudah dibongkar. Sebuah kapasitor besar yang biasa dipakai untuk menstabilkan arus sudah dilepas. Terlihat pula inverter untuk mengubah arus searah (DC) menjadi arus bolak-balik (AC) seperti setrum PLN. Meski samar-samar, alat itu kini terlihat lebih mirip uninterruptible power supply (UPS) alias sumber listrik cadangan ketimbang sebagai generator.

“Mirip UPS ya, Pak Embing,” kata Tempo.

“Apa itu UPS,” ujar Slamet. Ia jelas pura-pura tidak tahu. Di awal wawancara, ia beberapa kali menyebutkan kata UPS.

Embing juga memberi keterangan yang mengejutkan soal panel kaca pada alat itu. Dalam kunjungan pertama Tempo, kaca bagian atas kotak itu disebutkan sebagai panel surya. Lhakadalah, ternyata itu cuma kaca biasa yang disemprot cat dan ditempeli selotip sehingga mirip panel surya. Rupanya, Slamet terinspirasi panel surya yang pernah ia pinjam diam-diam dari Kepala Desa Ngroto, Mustofa Ahmad Mufti, pada 2008. “Dicat supaya tidak kelihatan isinya,” kata dia.

Kata itu menutupi panel rahasia yang dipasang bertingkat. Seluruhnya ada lima panel. Menurut Slamet, panel tersebut berisi campuran arang batok kelapa, pasir besi, magnet, kumparan, dan seratus elemen elektronik rahasia. “Panel ini yang menghasilkan listrik,” ujarnya.

Tentu saja itu pun masih sekadar klaim. Menurut Agus, ia masih sangsi akan kemampuan panel itu dalam menghasilkan listrik tanpa henti. “Hukum kekekalan energi juga tidak memungkinkan energi diciptakan begitu saja, karena energi hanya berubah bentuk,” kata sarjana teknik elektro Universitas Gadjah Mada ini.

Agus kian sangsi akan kemampuan alat itu karena Slamet menolak memenuhi permintaan pihaknya, walau ia sanggup membayar di muka. “Slamet juga tak bisa menjanjikan waktu penyelesaian pesanan.”

Embing mengakui itu. Alasannya, “Tidak cukup tenaga dan masih ruwet.”

Pengusaha asal Kabupaten Pasuruan, Luqman al-Hakim, yang pernah membeli pembangkit 2.000 watt bikinan Slamet, juga kecewa. Percobaan pertama menunjukkan alat ini bisa menyalakan lampu lima watt selama satu menit. Setengah jam berikutnya, lampu menyala kedap-kedip sampai akhirnya padam karena kehilangan arus.

Luqman memeriksa panel biru. Jarum pada voltmeter yang ia pakai tak bergerak ketika ditempelkan pad kutub panel. Setelah dibongkar, diketahui panel itu berisi serbuk arang batok kelapa dan pasir besi. Aki motor 12 volt dan inverter pengubah tegangan DC ke AC yang dibungkus dengan lapisan semen juga ditemukan.

Ketika dimintai konfirmasi, Slamet membantah temuan tersebut. Menurut dia, panel seharusnya menghasilkan listrik. Namun ia enggan menjelaskan alasan tidak munculnya arus listrik dari panel.

Panel
Sejatinya, konsumen juga tak bisa memesan langsung kepada Slamet. Untuk urusan pemasaran, ada Teddy Hendrawan, wartawan tabloid Amunisi dan pengusaha dari Desa Pandesari, Kecamatan Ngantang, Malang. Keduanya bekerja sama sejak akhir 2010. “Ada kesepakatan tidak tertulis bahwa semua penjualan harus lewat satu pintu,” ujar Slamet.

Teddy mengatakan memang menjadi pemasar produk Embing. Ia sudah mendapat beberapa rekanan. Pada Februari lalu, misalnya, dia mengikat kerja sama dengan Edi Prayitno, mantan ketua Kamar Dagang dan Industri Pasuruan.  Ia juga bekerja sama dengan Luqman al-Hakim untuk membuat seribu unit casing dengan nilai di atas Rp 200 juta. “Tapi Teddy membuat kesepakatan tanpa setahu Embing,” kata Luqman.

Gara-gara ulah Teddy itu, Embing pernah dibikin repot Subhan, pembeli dari Gubeng, Surabaya. Subhan menyetor Rp 3 juta kepada Teddy untuk dua unit PLTH. Teddy menjanjikan pesanan kelar satu setengah bulan setelah pembayaran. Karena janji tidak dipenuhi, Subhan menyambangi Slamet ke Malang. “Ternyata uang saya tidak sampai ke Embing,” ujar Subhan.

Lalu Embing ingkar janji kepada Braid. Braid pun menemui Slamet pada Juni lalu karena pesanannya tidak kunjung jadi, padahal sudah lewat lima pekan dari janji. Tak cuma itu, ia melakukan penyelidikan. Dia menyimpulkan Slamet adalah “tuti” alias tukang tipu. “PLTH-nya saat itu tidak bisa bekerja dan kami minta uang kembali,” katanya.

Teddy menolak tuduhan itu. “Disebut penipu jika barang tidak ada,” ujarnya. “Kalau ada yang tidak hidup, itu namanya cacat produksi.”

Teddy mengaku akan mengganti penuh setiap generator yang gagal. Tapi bukan dengan generator yang hidup, melainkan uang kembali, meski mencicil.

Slamet membenarkan alatnya memang belum bekerja sempurna. “Tapi alat ini bisa bekerja,” ujarnya ketika sedang membongkar atap seng bengkelnya. Sayangnya, dia menolak menyalakan generatornya untuk Tempo dengan alasan generator itu baru dipindahkan ke rumah baru. “Untuk mengangkatnya, butuh delapan orang,” katanya.

Namun dia juga menggeleng saat diminta alamat pembeli PLTH sonder masalah. Kali ini alasannya adalah ia terikat perjanjian dengan konsumennya, yang tak ingin pemakaian alat itu diwartakan. Orang ini ruwet seperti kabel generatornya. REZA MAULANA, ANTON WILLIAM (JAKARTA), ABDI PURMONO (MALANG)



Share this :

Previous
Next Post »