Asa pada Sebatang Harmonika

Selasa, Desember 09, 2008
KORAN TEMPO, Minggu, 21 September 2008

Lucky Adrianda Zainal
Foto-foto: ABDI PURMONO

LUCKY lahir di Malang pada 9 Desember 1960. Ia tumbuh dalam asuhan keluarga militer. Didikan sang ayah menguatkan dirinya menjadi remaja pemberani dan pantang menyerah.

Hidupnya penuh warna cerah. Lucky melalui tahun-tahun masa mudanya sebagai pembalap, manajer klub sepak bola, dan pemain sinetron.

Dunia otomotif ditekuni Lucky pada usia 16 tahun (1976) sampai 1991. Ia mengendalikan Arema setelah menamatkan kuliah di jurusan teknik mesin Fakultas Teknik Universitas Brawijaya, Malang, pada 1986 atau setahun sebelum Arema berdiri (11 Agustus 1987).

Ia sempat absen lama dari balapan untuk berkonsentrasi penuh mengurusi tim Singo Edan, julukan Arema, sebagai ketua harian sekaligus manajer. Hasilnya, Arema menjadi kampiun Galatama 1992.

Meski begitu, arena balap tetap menggoda. Pada 2003-2004, Lucky kembali ke ajang reli setelah menjual Arema ke PT Bentoel Prima pada 29 Januari 2003. Semua kegiatan reli ia tinggalkan sejak kesehatan tubuhnya terus bermasalah.

Dalam urusan ngebut, Lucky membukukan prestasi sebagai peringkat ke-10 di ajang ASEAN Rally 1977, peringkat kelima nasional dan peringkat ketiga sprint reli kelas Gr 2 tahun 2003.

Lucky telanjur dikenal sebagai pembalap dan pengurus sepak bola. Padahal, wajah tampan Lucky pernah muncul di layar televisi sebagai pemain sinetron pada 1990-an. Sinetron yang ia bintangi diputar di stasiun TVRI, TPI, dan SCTV. Waktu itu ia dan kawan-kawannya mendirikan Depot Seni Arema.

Sesungguhnya, ia bernama asli Lucky Adrianda Zainal, tapi lebih suka memakai nama Lucky Acub Zainal. Kenapa?

"Karena saya sangat bangga dan mengidolakan Papi dan bukan berarti saya mendompleng ketenaran Papi. Nama itu sudah saya pakai jauh sebelum mengurusi sepak bola."

Sayangnya, warna-warna cerah dalam hidup Lucky memudar sejak mengalami kebutaan pada dua matanya. Ia buta karena narkotik dan ia merasa kembali ke titik nol. Sungguh ia menyesali perbuatannya pada masa lalu dan ingin bertobat.

"Kebutaan ini saya anggap bukan sebagai hukuman, tapi bukti kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Tuhan tidak pernah salah. Penglihatan saya ditutup, tapi hati saya semakin diterangkan."

Justru di dalam kegelapan ia mendapat banyak cahaya, bahkan jauh lebih banyak dibanding ketika ia masih bisa melihat warna dunia dengan kedua matanya.

Ia mengaku kini sering dilanda sepi dan merasa tidak berguna. Untungnya, selain keluarga, ia masih memiliki banyak sahabat setia. Mereka tiada lelah memberi dorongan pembangkit semangat. "Mereka terus mendorong saya untuk tidak berputus asa."

Lucky sekarang menjadi lebih alim. Ia mengaku mulai rajin salat dan berzikir untuk menguatkan batin dan mental. Pada waktu senggang ia mendengarkan ceramah pengajian dan tetap tak melupakan lagu-lagu rock dan blues kesukaannya.

Lingkungan rumah yang asri dan tenang di Jalan Lembah Tidar memberinya semangat untuk tetap kreatif. Dalam sebulan ini Lucky bermain harmonika warna merah hati. Baru sepekan belajar, ia sudah bisa menguasai beberapa lagu John Denver.

Ia sempat memainkan irama lagu kebangsaan Padamu Negeri dan Don't Cry for me, Argentina-nya Madonna dengan penuh penghayatan seakan mau berpesan, "Kalian jangan menangis untukku karena aku baik-baik saja."

"Ini (harmonika) menjadi salah satu teman setia saya dalam menghadapi kegelapan dan rasa putus asa. Dengan harmonika ini saya masih bisa menghibur diri dan orang lain."

Lalu, ia mencoba memainkan Don't Stop Me Know dan Show Must Go On dari Queen. ABDI PURMONO 

Share this :

Previous
Next Post »