Revisi Tanggal Hari Pers Nasional untuk Kepentingan Bersama

Rabu, April 18, 2018
Abdul Manan (kiri) saat terpilih menjadi Ketua Umum AJI Indonesia bersama Revolusi Riza Zulverdi dalam Kongres X di Solo, 26 November 2017. Foto: ABDI PURMONO

JAKARTA — Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) pada 9 Februari dinilai sebagai salah satu tradisi peninggalan Orde Baru di bidang pers yang masih dilaksanakan hingga kini. Beberapa organisasi profesi jurnalis pun mengusulkan untuk merevisi tanggal peringatan HPN tersebut.

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan mengatakan, usulan perubahan tanggal HPN diajukan oleh AJI bersama Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) setelah melalui dua seminar yang khusus membahas soal itu.

“Kami menilai peringatan HPN dengan memakai tanggal lahir satu organisasi wartawan, yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), tidaklah tepat dan kurang strategis. Sebab, itu mengesankan HPN hanya milik organisasi wartawan itu saja. Faktor ini juga yang membuat sejumlah organisasi enggan terlibat dalam peringatan HPN,” kata Abdul Manan, Selasa, 17 April 2018.

Menurut Manan, faktor lain yang tak kalah penting adalah soal pelaksanaannya. Seperti layaknya peringatan hari besar nasional, pelaksanaannya tentu saja perlu mencerminkan kondisi aktual dan tantangan kontemporer yang dihadapi pers Indonesia.

Misalnya, soal kebebasan pers yang masih terancam karena masih banyaknya Undang-undang yang bisa memenjarakan jurnalis yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan juga Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE.

Tantangan lainnya adalah masalah kesejahteraan jurnalis yang masih dalam taraf memprihatinkan dan juga profesionalisme jurnalis yang masih jauh dari harapan. Juga soal media yang masih berjibaku dengan masalah ekonominya akibat turunnya media cetak dan belum ditemukannya model bisnis digital yang ideal.

“Sebagai hari peringatan profesi jurnalis, seharusnya HPN membahas topik-topik yang sedang dialami media dan jurnalis. Tapi dalam kenyataan, HPN tak banyak membahas soal-soal penting itu,” ujar Manan.

Belum lagi soal banyaknya organisasi yang kemudian memakai acara HPN untuk minta uang ke pemerintah dan berbagai pihak, dengan alasan untuk ikut HPN. Perbuatan tersebut tentu saja menodai profesi jurnalis. Sejumlah soal itulah yang berkontribusi besar terhadap munculnya ide untuk merevisi HPN.


Rapat pembahasan perubahan hari pers nasional

Dewan Pers menjadwalkan rapat terbatas pada hari ini, Rabu, 18 April 2018, di Sekretariat Dewan Pers, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Agendanya membahas usulan perubahan tanggal Hari Pers Nasional. Rapat terbatas tersebut mengundang seluruh organisasi konstituen Dewan Pers.

“Dalam rapat itu nantinya kami akan menyampaikan apa saja alasan utama kami sehingga perlu mengusulkan perubahan tanggal peringatan HPN. Salah satunya adalah kelemahan dari tanggal HPN yang mendasarkan pada kelahiran satu organisasi wartawan, yaitu PWI. Selain faktor pelaksanaannya yang kami anggap kurang mencerminkan harapan komunitas pers dari sebuah acara nasional yang diperingati bersama. Kami juga akan sampaikan apa saja alternatif tanggalnya untuk menggantikan HPN yang selama ini diperingati setiap tanggal 9 Februari itu,” kata Manan.

Idealnya, lanjut Manan, biaya pelaksanaan HPN harus ditanggung bersama. Kalau pun ada sokongan dari pihak luar, itu bukan menjadi sumber pendanaan utama. Ke depan perlu dipikirkan pelaksanaan HPN yang ditanggung bersama komunitas media dan organisasi jurnalis, dan kegiatannya juga tak harus mewah sehingga memakan biaya besar.

Manan menegaskan, sebaiknya para pemangku HPN lebih mengutamakan substansi ketimbang kemasannya. Lebih HPN dilaksanakan secara sederhana daripada dibikin besar-besaran dan mewah, tapi manfaatnya kurang dan bahkan tidak dirasakan oleh komunitas media, jurnalis, dan publik.

Tinimbang menjadi pemborosan, lebih baik anggaran pelaksanaan HPN yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) diprioritaskan pengalokasiannya untuk memperbaiki fasilitas umum yang belum bagus. ABDI PURMONO

Share this :

Previous
Next Post »