Pers Waras dan Tayangan Hiburan Berkualitas

Kamis, Januari 04, 2018
Panitia dan peserta berpose bersama seusai pelaksanaan seminar "Media yang Kritis terhadap Infotainment" di auditorium Poliktenik Negeri Madiun, Jawa Timur, Sabtu, 14 Oktober 2017. Foto: ABDI PURMONO

Mayoritas industri televisi lebih mengedepankan misi bisnis ketimbang bersungguh-sungguh melaksanakan misi sebagai media pendidikan, kontrol dan perekat sosial, informasi, hiburan yang sehat, dan kebudayaan sebagaimana ditentukan dalam UU Pers dan UU Penyiaran.

TELEVISI mempunyai kekuatan untuk menggeser budaya manusia yang semula didominasi budaya baca-tulis, budaya yang mendorong masyarakat berpikir rasional, menjadi budaya televisual yang hanya menekankan pada tayangan menarik dan menghibur penonton (Neil Postman, Amusing Ourselves to Deadth, 1985). Anda bisa lihat videonya di kanal Youtube.

Di Indonesia, televisi sudah seperti menjadi kebutuhan pokok setara beras yang harus ada di tiap rumah tangga. Watak televisi yang audio-visual menjadikan konten televisi tampak lebih nyata, menarik, atraktif, dan interaktif.

Televisi makin disuka masyarakat, antara lain, karena gampang dan murah dinikmati. Konten televisi bisa dinikmati tanpa harus punya kemampuan membaca seperti halnya saat membaca koran. Televisi menyediakan beragam hiburan seperti musik dan film secara gratis kecuali menikmatinya melalui saluran televisi berlangganan.

Infotainment menjadi salah satu tayangan hiburan andalan televisi dan pernah sangat mendominasi program siaran televisi sehingga infotainment menjelma layaknya sebuah siaran yang wajib ditonton. Namun, sekarang, pamor infotainment tidak sejaya dulu karena disaingi program variety show dan sinetron.

Secara harfiah, infotainment merupakan kata lakuran atau campuran kata (portmanteau) bahasa Inggris: information (informasi) dan entertainment (hiburan). Di Amerika Serikat dan Inggris, tayangan infotainment sudah ada sejak lama sebagai bagian dari praktik yellow journalism

Dalam tulisan berjudul That’s Infotainment, 30 April 2001, mahaguru The School of Communication at American University, Amerika Serikat, Matthew C. Nisbet, menyatakan bahwa infotainment sebagai soft journalism, yang liputannya mencakup berita sensasional, tentang selebritas, kriminal, dan paranormal.

Terminologi infotainment pertama kali muncul dalam industri televisi Amerika Serikat pada era 1960-an. Di Amerika Serikat, infotainment diartikan sebagai tayangan berita atau news yang dikemas dalam format hiburan. Semula acara news dikemas serius dan terkesan garing. 

Para pemilik maupun pengelola televisi merasa publik membutuhkan sajian berita yang lebih menghibur. Dalam konteks sosial Amerika Serikat di masa itu, televisi dinikmati oleh mayoritas kelas pekerja yang sudah terlalu capek saat di rumah sehingga mereka membutuhkan konten siaran yang ringan saat beristirahat, tak perlu lagi berpikir serius. Maka, konten hiburan menjadi penting sebagai penawar lelah dan kejenuhan para pekerja.

Acara berita 60 Minutes menjadi acara infotainment pelopor yang pertama kali ditayangkan oleh jaringan televisi CBS (Columbia Broadcasting System), Amerika Serikat, sejak 1968. CBS menyajikan berita laporan investigatif dengan cara dramatis melalui figur pembawa acaranya, Don Hewitt. Publik ternyata menyambut positif acara berdurasi 1 jam ini sehingga menjadi acara yang kondang dan mencatat rating tinggi.

Keberhasilan CBS ditiru stasiun televisi lain. Banyak stasiun televisi memproduksi acara serupa sampai kemudian konten berita dalam acara infotainment tidak lagi melulu berupa berita-berita politik maupun segala sesuatu yang menyangkut kepentingan publik, melainkan juga mengarah ke human interest dan skandal figur publik.

Pada 1970-an konten hiburan menjadi elemen penting dalam industri televisi di Amerika Serikat dan sudah dianggap sebagai salah satu berita arus utama atau mainstream. Perubahan konsep berita televisi ini menginspirasi USA Today untuk melakukan hal serupa dalam format berita surat kabar. Tindakan USA Today menular ke media cetak lainnya, khususnya media cetak berformat majalah dan tabloid. 

Jadi, jelaslah infotainment di Amerika Serikat lahir dari rahim televisi. Sebaliknya, infotainment di Indonesia dilahirkan oleh media cetak. Infotainment masih menjadi istilah asing sebelum jagat pers nasional mengalami demokratisasi dan mendapatkan kebebasannya, yang ditandai dengan pungkasnya rezim Orde Baru pada 21 Mei 1998: Presiden Soeharto lengser.

Pers pada era Orde Baru sering mempublikasikan berita artis dan kehidupan sehari-harinya melalui rubrik khusus seperti seni, budaya, hiburan, gaya hidup, dan tokoh. Porsi pemberitaannya kecil dan menjadi selingan dari liputan serius. Rubrik hiburan terus berkembang menjadi salah satu rubrik favorit yang dinantikan audiens. Mereka cenderung tak lagi antusias membaca rubrik utama yang menyuguhkan isu-isu serius.

Meningginya animo masyarakat terhadap informasi hiburan mengilhami pembuatan tabloid hiburan. Lahirlah tabloid hiburan Gramedia dan Monitor pada kurun 1980-an yang khusus memuat berita-berita ringan mengenai selebritas.

Tabloid Monitor awalnya terbit dan dikelola TVRI sepanjang 1972-1973 tapi hanya bertahan sampai 24 nomor dengan oplah hanya 10 ribu eksemplar. Arswendo Atmowiloto kembali menghidupkan Monitor pada 1980. Edisi perdana dicetak sebanyak 200 ribu eksemplar dengan harga eceran Rp 300. Edisi perdana ludes.

Penjualan Monitor laris manis. Hanya dalam 10 edisi, tirasnya melonjak drastis hingga 450 ribu eksemplar dan menembus angka 640 ribu eksemplar saat memasuki bulan kelima usianya. Bahkan, konon, sirkulasi Monitor sempat mencapai 782 ribu eksemplar dengan harga eceran Rp 500 per eksemplar. 

Saat pasar mengalami kejenuhan, Arswendo bersiasat dengan menerbitkan Monitor Minggu yang terbit setiap Sabtu pagi. Jadilah Monitor sebagai tabloid pertama di Indonesia yang mengisi akhir pekan.

Kejayaan Monitor ambruk saat berusia sepuluh tahun. Pada edisi 15 Oktober 1990 Monitor menerbitkan hasil jajak pendapat (angket) berjudul “Kagum 5 Juta”. Hasilnya, tokoh di urutan teratas yang paling dikagumi pembaca Monitor adalah Soeharto, disusul Bacharuddin Jusuf Habibie, Soekarno, Iwan Fals. Arswendo di urutan ke-10 dan Nabi Muhammad di nomor 11.

Umat Islam murka. Arswendo dianggap menista agama Islam. Pada 17 Oktober tahun yang sama, massa menggeruduk kantor Monitor. Patung Arswendo yang terbuat dari kertas tabloid Monitor dibakar. Pada 22 Oktober massa mengepung kantor Monitor, serta menjungkirbalikkan kursi dan meja.

Arswendo kemudian menyatakan menyesal dan meminta maaf. Tapi umat Islam terlanjur murka sampai kemudian Arswendo digugat ke pengadilan. Singkat cerita, majelis hakim memvonis Arswendo dengan hukuman 5 tahun penjara. Monitor dilarang terbit. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Nomor 194 Tahun 1984 atas nama Monitor pun dicabut oleh Menteri Penerangan Harmoko, yang notabene salah seorang pemilik saham Monitor. Saham Harmoko di Monitor sebesar 30 persen.

Riwayat Monitor tamat, Harmoko selamat. Ia tidak dipecat dan malah jadi Menteri Penerangan dengan masa jabatan terlama (14 tahun) terhitung sejak 19 Maret 1983 sampai 16 Maret 1997. Ia lalu menjadi Ketua DPR RI sepanjang 1997-1999. 

Kesuksesan tabloid Gramedia dan Monitor menginspirasi pengusaha media lainnya untuk menjadikan hiburan sebagai menu andalan. Beberapa stasiun televisi, misalnya, memproduksi sendiri (in-house) tayangan hiburan atau membeli tayangan hiburan dari rumah produksi (production house).


Format berita hiburan ala tabloid Monitor diadopsi oleh Ilham Bintang, pemilik PT Bintang Advis Multimedia, dengan memproduksi program Cek & Ricek di RCTI pada 1997, sampai kemudian pria kelahiran Makassar, 10 Mei 1955, ini dikenal sebagai raja infotainment dan pelopor “jurnalistik infotainment. 

RCTI sendiri merupakan stasiun televisi swasta pertama di Indonesia yang pertama kali mengudara pada 13 November 1988 dan resmi beroperasi pada 24 Agustus 1989. 

Acara Cek & Ricek mempelopori kelahiran tayangan acara sejenis yang berkonten kehidupan pribadi selebritas industri hiburan. Kontennya cenderung sensasional dan receh. Lama-kelamaan tayangan Cek & Ricek dan acara infotainment lainnya identik sebagai kanal gosip artis. Sebutan infotainment menjadi paten sebagai trademark informasi hiburan yang diandalkan mayoritas stasiun televisi.

Infotainment makin berjaya setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Era reformasi tiba, pers dan masyarakat mengalami euforia. Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie dan Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah membuka keran keterbukaan informasi dan mendukung penuh kemerdekaan pers dengan memberlakukan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sehingga Peraturan Menteri Penerangan Nomor 01/Kep/Menpen/1984 Tanggal 31 Oktober 1984 tentang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), beredel ditiadakan, dan semua warga negara Indonesia boleh menjadi wartawan mendirikan perusahaan pers. 

Euforia ini ditandai dengan kemunculan begitu banyak media cetak, terutama dalam format tabloid. Banyak media cetak yang jadi simpatisan dan bahkan jadi corong partai politik; tabloid bermuatan pornografi, dan tentu saja tabloid hiburan.

Pamor infotainment meroket dari satu kali penayangan menjadi tiga kali. Bahkan, jumlah acara infotainment yang ditayangkan dalam sehari rata-rata lebih dari 15 jam atau dalam satu minggu lebih dari 210 episode. Ini data tahun 2007 sebagaimana dikutip dari harian Kompas edisi 8 Januari 2008.

Angka tersebut melonjak dari tahun-tahun sebelumnya. Masih mengutip Kompas edisi yang sama, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mencatat, pada 2002 frekuensi tayangan infotainment hanya 24 episode setiap minggu atau tiga episode per hari yang ditayangkan 10 stasiun televisi swasta. Pada 2003, jumlah tayangan infotainment meningkat empat kali lipat menjadi 101 episode setiap minggu atau 14 episode per hari.

Pada 2004, frekuensi tayangan infotainment bertambah menjadi 151 episode per minggu atau 22 episode per hari dan pada 2005 penayangan infotainment melonjak lagi menjadi 180 episode per minggu (26 episode per hari).

Catatan lain, pada 2011, di Indonesia ada sekitar 40 judul infotainment yang merata ada di hampir semua televisi, dengan durasi tayang lebih dari 14 jam sehari dan mampu menyedot sekitar 10 juta penonton (Vivanews, 3 Januari 2012). Hal ini menunjukkan betapa signifikan dan meratanya konten infotainment dalam lanskap penyiaran Indonesia pada periode tersebut. 

Melesatnya jumlah tayangan infotainment di televisi lebih dipengaruhi nilai ekonomi yang prospektif, yaitu biaya produksi murah dan sangat diminati pasar. Infotainment menjadi sangat vital sebagai sumber fulus bagi pemilik stasiun televisi karena ceruk pasarnya amat besar, rating tinggi, dan modal cepat kembali.

Rating ialah persentase jumlah orang yang menonton suatu program acara televisi yang diukur dari populasi tertentu. Jadi, kalau sebuah tayangan televisi rating-nya tinggi, itu berarti jumlah penontonnya banyak. Misalnya, dari 1.000 orang di suatu wilayah, ada 800 orang yang menonton tayangan A, ada 80% populasi yang menyaksikan tayangan tersebut. Atau, biasanya disebutkan bahwa tayangan A memiliki rating 8 (buku Saatnya Kita Melek Media, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, 2017).

Menurut jurnalis senior dan pengamat media, Effendy Agus Hariyanto alias Veven Sp Wardana (21 Januari 1959-18 Mei 2013), rating diperkenalkan di Indonesia pada 1991, sesuai permintaan stasiun televisi dan juga Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I).

Mereka setuju bahwa televisi komersial membutuhkan data perilaku penonton dan potensi penghasilan dari iklan televisi. Layanan rating ini dibiayai bersama. Televisi membiayai 75 persen dan sisa 25 persen ditanggung P3I. Pada 1993, TVRI tak lagi berlangganan layanan rating karena, sebagai televisi nonkomersial, TVRI tak membutuhkan data rating yang mahal. Perusahaan yang kemudian menyuplai data rating kepada televisi-televisi swasta di Indonesia adalah perusahaan riset pemasaran ACNielsen.

Sebelum itu, pada 1971, Indonesia mencatat adanya lembaga sejenis yang disebut In Search Data, perusahaan pertama yang berfokus pada riset pemasaran dan sosial. Pada 1973, In Search Data bergabung dengan Survey Research Group (SRG), dan pada 1983 SRG bergabung dengan AGB membentuk Survey Research Indonesia (SRI). 

Pada 1994, SRI bergabung dengan ACNielsen International di bawah Dun and Bradstreet (DNB). Pada 1997 perusahaan tersebut dikenal dengan nama ACNielsen/SRI. Tahun 1998, nama SRI dihilangkan, dan menjadi ACNielsen saja. Sejak Februari 2001, ketika ACNielsen bergabung dengan VNU, departemen riset media dikenal sebagai Nielsen Media Research (NMR) (Remotivi, 19 Mei 2016).



FIKTIF, tendensius dan sensasional, penyebar gosip dan fitnah, serta penyebar aib kehidupan pribadi selebritas menjadi kelemahan infotainment yang banyak disuarakan pakar komunikasi, praktisi jurnalistik, dan juga kaum ulama. Publik yang kritis pun ikut marah.

Konten infotainment dinilai lebih banyak menimbulkan mudarat ketimbang mendatangkan manfaat bagi kepentingan publik secara luas.

Alhasil, Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kebanjiran pengaduan terkait performa dan kinerja infotainment. Pada Juni 2010, misalnya, KPI menerima 637 pengaduan—sekitar 200 atau 32,18 persen pengaduan terkait infotainment, selebihnya menyangkut kategori program siaran variety show, sinetron, dan berita.

Dewan Pers pertama kali dibentuk tahun 1968. Pembentukannya berdasar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers yang ditandatangani Presiden Soekarno, 12 Desember 1966.

Tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Sedangkan KPI lahir atas amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). Undang-undang ini disahkan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 28 Desember 2002. 

KPI adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam UU Penyiaran sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran.


Keberadaan infotainment makin kontroversial dan menimbulkan polemik berkepanjangan setelah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi menegaskan bahwa tayangan infotainment gosip atau ghibah hukumnya haram. Fatwa ini disampaikan berdasarkan hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama Nahdlatul Ulama di Asrama Haji Sukolilo, Surabaya, 27-30 Juli 2006.

PBNU mendesak tayangan infotainment gosip dihentikan dengan alasan pemberitaan yang mengobral masalah pribadi dan rahasia keluarga bisa berdampak buruk bagi masyarakat. Menurut Hasyim, infotainment gosip merupakan pembunuhan karakter orang yang diberitakan. Dalam Islam, ghibah diibaratkan sebagai seseorang yang tega memakan daging bangkai saudaranya sendiri (Detik.com, Jumat, 25 Desember 2009).

Berselang empat tahun, penegasan serupa disampaikan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj. Ia menegaskan tidak mengharamkan infotainment, tapi unsur ghibah yang ada di dalamnya. Ghibah atau mengorek dan menceritakan aib orang lain diharamkan dalam ajaran Islam.

Penegasan itu disampaikan Said untuk menanggapi keluhan para wartawan infotainment yang merasa tersudutkan oleh pemberitaan pengharaman infotainment seperti yang difatwakan oleh PBNU. 

Berbeda dengan PBNU, Majelis Ulama Indonesia (MUI) malah bersikap lebih keras dengan mengharamkan infotainment baik bagi yang menayangkan, menonton, maupun orang-orang yang mengambil keuntungan dari aib, gosip dan hal-hal lain terkait kehidupan pribadi selebritas. Fatwa ini dikeluarkan Komisi C MUI yang membidangi fatwa dalam Musyarawah Nasional MUI di Jakarta, Selasa, 27 Juli 2010.

MUI merekomendasikan perlunya dirumuskan aturan untuk mencegah tersiarnya konten tayangan yang bertentangan dengan norma agama, keadaban, kesusilaan dan nilai luhur kemanusiaan.

MUI merekomendasikan kepada KPI untuk meregulasi tayangan infotainment supaya hak masyarakat memperoleh tayangan berkualitas terjamin dan melindunginya dari hal-hal negatif. Lembaga Sensor Film (LSF) diminta proaktif melakukan sensor terhadap tayangan infotainment demi menjamin terpenuhinya hak-hak publik dalam menikmati tayangan bermutu (Antaranews.com, Selasa, 27 Juli 2010).

Sebelum MUI mengharamkan infotainment, Komisi I DPR bersama KPI dan Dewan Pers telah sepakat menyatakan program siaran infotainment banyak menyalahi aturan. Kesepakatan ini dicapai dalam Rapat Dengar Pendapat pada 14 Juli 2010.   

Bahkan, KPI menyatakan tayangan infotainment sebagai produk nonfaktual karena tidak menjalankan prinsip-prinsip jurnalistik. Namun Dewan Pers menilai pernyataan KPI perlu ditelaah lebih lanjut lantaran tidak semua tayangan infotainment melanggar kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip jurnalistik. Hanya sedikit tayangan infotainment yang memenuhi ketentuan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Begitu pun akhirnya Dewan Pers tetap menghormati otoritas KPI. Dewan Pers mendukung kewenangan KPI untuk memutuskan status program infotainment, reality show sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. 

Padahal, sebelumnya pada 2009, dalam pertemuan dengan Dewan Pers di Gedung Dewan Pers, Ketua KPI Sasa Djuarsa Sendjaja dan beberapa komisioner KPI meminta Dewan Pers untuk menyusun regulasi di bidang infotainment dan reality show.

Keputusan KPI yang menyatakan infotainment sebagai produk nonfaktual diperkuat oleh rekomendasi Komisi I DPR RI yang menyatakan program infotainment, reality show, dan sejenisnya, banyak melanggar norma agama, etika moral, norma sosial, KEJ, serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

Kesepakatan ketiga lembaga itu merefleksikan persoalan pokok infotainment bahwa pelaku industri televisi lebih mengutamakan misi bisnis atau lebih mementingkan fungsi ekonomi ketimbang menjalankan fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta kebudayaan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 UU Penyiaran.

Dalam perspektif UU Pers, industri televisi lebih banyak melayani fungsi hiburan dan cenderung mengabaikan fungsi pendidikan, kontrol sosial, dan informasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UU Pers.

Penonjolan fungsi hiburan juga tidak sepenuhnya terpenuhi dalam program infotainment karena industri televisi telah mereduksi makna infotainment hanya seputar perselingkuhan, kumpul kebo, perceraian, dan konflik keluarga selebritas.

Namun, kendati MUI sudah mengharamkan isi program infotainment, serta ada kesepakatan bersama Komisi I DPR dengan KPI dan Dewan Pers tentang status infotainment, tidak otomatis sensor diberlakukan terhadap infotainment. Infotainment menjadi produk yang disiarkan televisi dan lembaga penyiaran televisi harus tunduk kepada UU Penyiaran.

Pasal 47 UU Penyiaran tegas menyatakan bahwa isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang. Jadi sangat jelas, sensor tidak dapat dilakukan terhadap produk siaran di luar film dan iklan. Sensor terhadap program infotainment hanya dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengamandemen pasal-pasal sensor dalam UU Penyiaran.

Meski Komisi I DPR bersama KPI dan Dewan Pers sepaham dan bersepakat bahwa program infotainment banyak melanggar aturan, bukan berarti kekompakan ketiganya menular ke organisasi profesi wartawan yang menjadi konstituen Dewan Pers, yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).


PWI menyatakan infotainment sebagai produk jurnalistik karena dilakukan dengan tahapan jurnalistik, seperti adanya proses peliputan, proses produksi, dan proses tayang. 

Selain itu, PWI beranggapan infotainment sudah lama menjadi produk kreatif dari jurnalisme. Namun, PWI sepakat, belakangan ada yang prosesnya “kebablasan”, melupakan kaidah-kaidah jurnalistik, melanggar privacy, dan kerapkali mengabaikan fakta. (Yadi Hendriana, Wakil Pemimpin Redaksi Global TV dalam buku Jurnalisme Televisi Indonesia, Tinjauan Luar Dalam, Kepustakaan Populer Gramedia, November 2012).

AJI dan IJTI berpendapat sebaliknya: tayangan gosip yang berkaitan dengan kehidupan pribadi dan tidak berkaitan dengan kepentingan umum bukanlah karya jurnalistik. Apalagi ditemukan fakta bahwa kebanyakan konten infotainment dihasilkan oleh orang-orang yang bekerja di rumah produksi. Namun, AJI dan IJTI juga bersepakat, bahwa pekerja infotainment melakukan pekerjaan dengan tahapan-tahapan jurnalistik dan dikemas dalam bentuk berita.

Sikap AJI dan IJTI sesuai dengan disertasi doktor ilmu komunikasi Universitas Indonesia, Mulharnetti Syas. Dia berpendapat, program infotainment yang ditayangkan stasiun-stasiun televisi bukanlah karya jurnalistik lantaran infotainment menayangkan hal-hal yang tidak sesuai dengan fakta alias hanya gosip. Dia juga menganggap pekerja infotainment bukanlah wartawan, tapi pekerja yang bernaung di bawah rumah produksi.

Pro dan kontra perihal infotainment berkepanjangan sampai akhirnya Dewan Pers dan KPI bersepakat menandatangani nota kesepahaman atau memorandum of understanding tentang Penanganan Pelanggaran Isi Siaran Jurnalistik yang ditandatangani Ketua KPI Pusat Judhariksawan dan Ketua Dewan Pers Bagir Manan pada Selasa, 22 April 2014. 

Nota kesepahaman yang ditandatangani di Jambi ini terdiri dari 13 pasal dan berlaku selama tiga tahun sejak ditandatangani. Masa berlakunya disesuaikan dengan masa kerja Dewan Pers dan KPI yang sama-sama 3 tahun.

Pasal 42 UU Penyiaran tentang kegiatan jurnalistik menyebutkan wartawan Penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kode Etik Jurnalistik dibuat berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 Tanggal 24 Maret 2006.

Pasal 1 ayat (1) UU Pers: Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk suara lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Pasal 1 ayat (4) UU Pers: Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.

MASYARAKAT harus tegas menolak program maupun tayangan infotainment yang tidak bermutu dengan cara tidak menontonnya. Ketegasan lain bisa diekspresikan dengan mencermati dan mencatat konten negatif lalu melaporkannya kepada KPI dan juga Dewan Pers.

Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk mengoreksi segala kekurangan isi siaran televisi dan media lainnya dengan tujuan untuk mengembangkan dan memajukan kemerdekaan pers.

Pasal 17 UU Pers:

1. Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
2. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat berupa:
a. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers;
b. Menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.

Penjelasan Pasal 17 ayat (2): Untuk melaksanakan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dapat dibentuk lembaga atau organisasi pemantau media (media watch).

Peran serta masyarakat juga tercantum dalam Pasal 52 UU Penyiaran:

1. Setiap Warga Negara Indonesia memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam berperan serta mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional;
2. Organisasi nirlaba, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan kalangan pendidikan, dapat mengembangkan kegiatan literasi dan/atau pemantauan lembaga penyiaran;
3. Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap program dan/atau isi siaran yang merugikan.

Penjelasan Pasal 52 ayat (2): Yang dimaksud dengan pemantauan Lembaga Penyiaran adalah melakukan pengamatan terhadap penyelenggaraan siaran yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penyiaran. Yang dimaksud dengan kegiatan literasi adalah kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan sikap kritis masyarakat.

Literasi media adalah kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengomunikasikan isi pesan media. Menurut KPI, setidaknya ada tiga tujuan literasi media.

Pertama, memahami operasi media dengan benar. Pengguna media perlu mengetahui bagaimana media beroperasi; mulai dari fakta stasiun televisi memerlukan modal besar untuk setiap produksi, orientasi profit yang tinggi, hingga soal kepemilikan media yang bisa menentukan arah dan kebijakan sebuah tayangan televisi.

Kedua, menyikapi media secara benar. Khalayak perlu menerapkan sikap dan perilaku yang benar dan tepat terhadap media massa yang mereka konsumsi. Jangan baca, dengar, dan tonton siaran acara yang bermutu buruk. 

Ketiga, memihak pada konten media massa yang benar. Faktanya, tidak semua isi media massa adalah benar dan merupakan kebenaran. Namun, bukan berarti semua isi media massa tidak benar. Sajian program faktual sekalipun belum tentu mengandung informasi yang benar dan akurat meski dibuat berdasarkan konsep jurnalistik yang benar.

Segelintir media massa di Indonesia justru kerap menyajikan konten bermutu rendah karena mengandung unsur seks, kekerasan, horor, dan mistis. Terhadap media semacam ini pengguna media diharapkan memberikan sanksi sosial (social punishment), minimal dengan tidak menontonnya, memberitahu lingkungan sekitar, dan tentu sangat membantu apabila mencatat dan melaporkannya ke KPI dan Dewan Pers. 
Peserta seminar yang diadakan UKM Pers G-Plasma Polikteknik Negeri Madiun berasal dari sejumlah kampus yang ada di sekitar Madiun, seperti Ponorogo, Kediri, dan Tuban.

DALAM tulisan ini saya membatasi pembahasan seputar media siaran televisi, serta infotainment sebagai salah satu sajian andalan televisi untuk menggaet pemirsa walau pamor infotainment tidak lagi segebyar dulu.

Pembatasan itu disesuaikan dengan tema yang ditentukan oleh panitia pelaksana seminar “Media yang Kritis terhadap Infotainment” yang diadakan di auditorium Politeknik Negeri Madiun, Jawa Timur, Sabtu, 14 Oktober 2017.

Seminar diadakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Pers G-Plasma (Goresan Pena Jurnalis & Media Aspirasi Mahasiswa) Politeknik Negeri Madiun untuk memperingati ulang tahun pertama mereka. ABDI PURMONO


Share this :

Previous
Next Post »