Menengok Masjid Apung di Teluk Palu

Rabu, Mei 30, 2018

Masjid Arqam sebenarnya tidak mengapung benaran. Masjid ini tampak mengapung hanya saat air laut sedang pasang.

RUSLAN Sangadji ramah melayani dan mengajak tiga kawannya mengelilingi Kota Palu. Minggu, 6 Mei 2018. Pria berusia 43 tahun ini begitu antusias menceritakan isi kota layaknya seorang pemandu wisata.

Salah satu yang diceritakan Ochan adalah keberadaan Masjid Apung Palu. Masjid ini bernama asli Masjid Arqam Bab Al Rahman. 

Menurut Ochan, kendati masjid yang berlokasi di Jalan Rono, Kelurahan Lere, Kecamatan Palu Barat, itu bukan masjid apung pertama di Tanah Air, tapi Masjid Apung Palu telah menjadi salah satu ikon ibu kota Provinsi Sulawesi Tengah itu. Masjid model begitu lebih dulu ada di Makassar, Sulawesi Selatan, dan Kendari, Sulawesi Tenggara.

Menurut Ochan, Masjid Apung Palu dibangun oleh pengusaha pom bensin bernama Muhammad Hasan Bajamal. Masjid mulai dibangun Januari 2011 dan selesai pada Desember tahun yang sama. 
Seingat Ochan, pembangunan masjid didedikasikan sang pengusaha untuk mengenang jasa almarhum Syekh Abdullah Raqi alias Datuk Karama, seorang penyebar agama Islam di Sulawesi Tengah pada abad ke-17 yang berasal dari Sumatera Barat.

Ia menjelaskan, keberadaan Masjid Arqam menjadi unik karena dibangun di perairan Teluk Palu—bergaris pantai 43 kilometer dengan luas perairan 10.066 hektare—yang pilar-pilar fondasinya tertancap di kedalaman 10 meter. Sekitar 25 pilar penyangga bangunan masjid kelihatan saat laut surut. Ombak Teluk Palu yang tenang tidak merusak masjid. Bangunan masjid yang berjarak sekitar 30 meter dari bibir pantai Teluk Palu ini baru tampak seolah mengapung saat air laut sedang pasang. Tapi warga kota terlanjur menggampangkan penyebutannya sebagai masjid apung.

Bangunan masjid tampak begitu anggun dalam balutan warna krem yang dominan, berpadu dengan warna hijau dan emas di seluruh bangunan.

Keunikan lain, lantai Masjid Arqam menggunakan keramik asli dari India. Empat kubah kecil dan satu kubah besar memancarkan tujuh warna yang bergantian tiap detik: merah, jingga, hijau, ungu, biru, merah jambu, dan putih.

“Masjidnya makin cantik dilihat pada malam hari karena cahayanya berganti-ganti,” kata Ochan, yang juga seorang tokoh pemuda di Palu.

Baca juga: Menyambangi Masjid Apung, Ikon Baru Kota Palu.

Keunikan-keunikan itu mengundang banyak orang, khususnya wisatawan, untuk beribadah salat bila muslim mapun sekadar berfoto di depan masjid. Ochan memastikan seorang muslim yang ingin melaksanakan salat Jumat harus mencari masjid lain bila tiba di Masjid Arqam saat khotbah Jumat berlangsung. Dengan luas sekitar 120 meter persegi, Masjid Arqam hanya mampu menampung jamaah sekitar 200 orang.

Malah, Ochan menukas, Masjid Arqam selalu dipenuhi jamaah di bulan puasa Ramadan. Di malam hari, ruangan masjid dipenuhi makmum salat Isya yang disambung dengan salat Tarawih. Jamaah harus rela menempati areal parkir depan masjid bila ruangan masjid sudah penuh sesak begitu.

Reny Septiani, mahasiswa Program Studi Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tadulako, juga suka salat di Masjid Arqam. Namun, selama Ramadan, gadis berusia 23 tahun ini lebih memilih melaksanakan salat Isya dan Tarawih di kampungnya di Desa Kalukubula, Kecamatan Biromaru, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah/

“Karena salat Tarawih di sana pasti sesak. Apalagi ruang salat perempuan selalu dilewati laki-laki karena ruangannya sempit sehingga tak ada jalan lain,” kata Reny, pendiri Komunitas Baju Kertasku yang aktif dalam kegiatan konservasi mangrove.

Baca juga: Dange Enak Dilupakan Jangan.

Dia menganggap hal itu menjadi sangat mengesankan. Kesan lainnya, di lingkungan masjid ada anak-anak yang selalu merapikan sandal pengunjung tanpa meminta imbalan. Dan, pengelola masjid menetapkan ongkos parkir untuk semua kendaraan yang diparkir di depan masjid.

Yang jelas, kehadiran Masjid Arqam juga memupus citra buruk lingkungan setempat. Dulu, lingkungan sekitar masjid dicap sebagai tempat maksiat dengan adanya kafe remang-remang di Pantai Taman Ria dan lokalisi prostitusi Pantai Talise.

Sekarang kawasan itu sudah bersih. Di hari-hari biasa banyak pendatang berfoto-foto di sana selain untuk menikmati pemandangan laut Teluk Palu, perbukitan, dan kemegahan Jembatan Palu IV atau Jembatan Ponulele yang juga terletak di Kelurahan Lere.

Selalu banyak orang ngabuburit selama puasa Ramadan. Dan masjid itu tetap ramai dikunjungi terutama yang dilakukan para pendatang maupun warga Palu dan sekitarnya yang sedang mudik dari tanah rantau. ABDI PURMONO

Share this :

Previous
Next Post »