Usulan Revisi HPN Perlu Disikapi Proporsional

Jumat, April 20, 2018



Sikap Dewan Pers sudah benar dan tepat di tengah pusaran polemik perubahan tanggal Hari Pers Nasional karena Dewan Pers sedang memfasilitasi permintaan AJI dan IJTI selaku konstituen Dewan Pers. 


Pernyataan Sikap Bersama AJI dan IJTI tentang Usulan Perubahan Tanggal Hari Pers Nasional


ALIANSI Jurnalis Independen dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia mengusulkan perubahan tanggal Hari Pers Nasional (HPN) yang selama ini diperingati setiap 9 Februari. Usulan disampaikan AJI dan IJTI pada Maret 2018 dan Dewan Pers meresponsnya dengan menggelar pertemuan terbatas di Lantai 7 Gedung Dewan Pers pada Rabu, 18 April 2018.

Pertemuan itu dihadiri anggota dan mantan anggota Dewan Pers, serta wakil konstituen Dewan Pers yang berasal dari AJI, IJTI, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat Penerbit Pers (SPS), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), dan Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI).

Dalam pertemuan sekitar 3 jam itu wakil dari AJI dan IJTI menyampaikan apa dasar pemikiran munculnya usulan revisi tanggal pelaksanaan HPN dan dituliskan secara lengkap dalam bentuk kajian sejarah.

Wakil dari konstituen Dewan Pers menyampaikan sejumlah pandangannya terhadap usulan AJI dan IJTI. Seperti disampaikan Dewan Pers, pertemuan tersebut baru sebatas mendengarkan masukan dari konstituen sehingga belum ada keputusan atas usulan AJI dan IJTI itu.

Menjelang pembahasan di Gedung Dewan Pers, perihal revisi HPN sudah menjadi perdebatan hangat di komunitas media. PWI dari sejumlah daerah sudah mengeluarkan pernyataan, yang isinya antara lain mempertanyakan sikap Dewan Pers yang berencana merevisi HPN; mendesak agar PWI mensomasi Dewan Pers dan mengganti ketuanya karena memfasilitasi pertemuan itu; mendesak PWI pusat menarik wakilnya dari Dewan Pers; dan menyatakan HPN tanggal 9 Februari adalah harga mati.

Melihat dinamika yang berkembang atas usulan tersebut, kami menyatakan sikap sebagai berikut:

Pertama, meminta semua pihak untuk melihat soal ini secara bijak dan objektif. Apa yang disampaikan AJI dan IJTI adalah upaya untuk menjawab aspirasi dari anggota AJI dan IJTI yang menghendaki agar ada upaya penyelesaian dari keengganan kedua organisasi ini untuk terlibat dalam HPN. Penyelesaian soal ini dilakukan melalui cara yang prosedural, yaitu meminta agar dibahas di komunitas pers dengan difasilitasi Dewan Pers. Menyelesaikan masalah melalui jalan musyawarah dan dialog adalah cara demokratis dan bermartabat untuk menyelesaikan masalah, termasuk soal HPN.

AJI dan IJTI memakai cara yang prosedural untuk menyelesaikan masalah itu dan belum memakai cara legal, yaitu mencari penyelesaian masalah dengan mempersoalkan dasar hukum HPN ke Mahkamah Agung. Misalnya begitu. Cara itu tidak kami tempuh karena kami menganggap bahwa masih ada Dewan Pers, yang notabene menjadi tempat berhimpun konstituen Dewan Pers.

HPN ditetapkan melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985, yang dasar hukumnya memakai Undang Undang Nomor 21 Tahun 1982. Undang-undang ini sudah tidak berlaku lagi sejak kelahiran Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Kedua, meminta organisasi wartawan bersikap proporsional dan tidak emosional melihat perkembangan ini. Sikap mempertanyakan Dewan pers adalah bentuk ketidaktahuan atas atas apa yang terjadi selama ini. Sikap Dewan Pers sudah benar dan tepat dengan menggelar pertemuan tersebut karena memang ada aspirasi dari konstituennya yang meminta, yaitu AJI dan IJTI. Jadi, gugatan terhadap Dewan Pers jelas sesuatu yang berlebihan, emosional, dan mendasarkan pada kemarahan yang tidak jelas.

Ketiga, kami kembali menegaskan bahwa apa yang dilakukan oleh AJI dan IJTI lebih sebagai upaya meminta komunitas pers memperbincangkan kembali soal penetapan HPN. Kami tak punya kepentingan dengan hari lahir organisasi wartawan PWI yang diperingati setiap 9 Februari. Kami hanya minta ada peninjauan ulang untuk peringatan HPN yang juga memakai tanggal 9 Februari. Sebab, pemakaian tanggal yang sama untuk dua peringatan (hari lahir PWI dan HPN) menimbulkan kesan bahwa hal itu hanya hari peringatan untuk satu organisasi wartawan dan bukan hari lahir yang patut diperingati oleh komuitas pers Indonesia. Tanpa ada perubahan signifikan, salah satunya berupa tanggal, akan sulit mengubah kultur pelaksanaan HPN secara signifikan.

Keempat, dalam pertemuan itu wakil dari PWI mempertanyakan apakah benar anggota AJI dan IJTI adalah wartawan. AJI dan IJTI juga menjawab dengan menyatakan, apakah benar anggota PWI semuanya wartawan. Tapi kami sepakat bahwa ini harus menjadi perhatian Dewan Pers. Oleh karena itu kami setuju Dewan Pers melakukan penertiban kepada anggota konstituennya. Salah satu caranya adalah dengan mengecek apakah anggota organisasi wartawan itu memang jurnalis yang melakukan tugas jurnalistik atau bukan? Atau hanya orang yang punya kartu pers dan mengaku sebagai wartawan tapi pekerjaannya hanya mencari uang dari nara sumber?

Kami mengusulkan agar Dewan Pers membuka pengaduan soal ini. Misalnya, meminta publik memberi laporan atas praktik-praktik buruk yang berkaitan dengan wartawan dan kewartawanan di tengah masyarakat. Sebab, sudah umum terdengar bahwa ada orang yang mengaku punya kartu pers atau kartu organisasi wartawan meski sebenarnya orang itu tak berhak memilikinya karena dia sebenarnya pegawai negeri atau lainnya, yang intinya sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kerja jurnalistik.

Kelima, kami menghormati upaya yang dilakukan Dewan Pers dengan menyelenggarakan pertemuan untuk membahas masalah tersebut. Seperti yang disampaikan Dewan Pers, pertemuan itu untuk mendengarkan apa pandangan dari komunitas pers atas usulan AJI dan IJTI yang minta perubahan tanggal HPN.

Seusai pertemuan, Dewan Pers menyatakan akan merangkum usulan tersebut dan akan membahasnya di internal Dewan Pers. AJI dan IJTI, sebagai pengusul penggantian HPN, akan menyatakan sikap setelah ada hasil resmi dari Dewan pers atas usulan tersebut.

Jakarta, 19 April 2018

Ketua Umum AJI Abdul Manan
Ketua Umum IJTI Yadi 

__________________________________________

Lampiran: 
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1985 tentaeng Hari Pers Nasional



Share this :

Previous
Next Post »