Pers Waras dan Tayangan Hiburan Berkualitas

Kamis, Januari 04, 2018
Panitia dan peserta berpose bersama seusai pelaksanaan seminar "Media yang Kritis terhadap Infotainment" di auditorium Poliktenik Negeri Madiun, Jawa Timur, Sabtu, 14 Oktober 2017. Seminar diadakan oleh UKM Pers G-Plasma Politeknik Negeri Madiun untuk merayakan setahun usia mereka. Foto: ABDI PURMONO

Mayoritas industri televisi lebih mengedepankan misi bisnis ketimbang bersungguh-sungguh melaksanakan misi sebagai media pendidikan, kontrol dan perekat sosial, informasi, hiburan yang sehat, dan kebudayaan sebagaimana ditentukan dalam UU Pers dan UU Penyiaran.

TELEVISI mempunyai kekuatan untuk menggeser budaya manusia yang semula didominasi budaya baca-tulis, budaya yang mendorong masyarakat berpikir rasional, menjadi budaya televisual yang hanya menekankan pada tayangan menarik dan menghibur penonton (Neil Postman, Amusing Ourselves to Deadth, 1985). Anda bisa lihat videonya di kanal Youtube.

Di Indonesia, televisi sudah seperti menjadi kebutuhan pokok setara beras yang harus ada di tiap rumah tangga. Watak televisi yang audio-visual menjadikan konten televisi tampak lebih nyata, menarik, aktraktif, dan interaktif.

Televisi makin disuka masyarakat, antara lain, karena gampang dan murah dinikmati. Konten televisi bisa dinikmati tanpa harus mempunyai kemampuan membaca seperti halnya saat membaca koran. Televisi menyediakan beragam hiburan seperti musik dan film secara gratis kecuali menikmatinya melalui saluran televisi berlangganan.

Infotainment menjadi salah satu tayangan hiburan andalan televisi dan pernah sangat mendominasi program siaran televisi sehingga infotainment menjelma layaknya sebuah tontonan wajib. Namun pamor infotainment tidak sejaya dulu karena disaingi program variety show dan sinetron.

SECARA harfiah, infotainment terdiri dari dua kata: information dan entertainment. Di Amerika Serikat dan Inggris tayangan infotainment sudah ada sejak lama sebagai bagian dari praktek yellow journalism. Dalam tulisan berjudul That’s Infotainment, 30 April 2001, mahaguru The School of Communication at American University, Amerika Serikat, Matthew C. Nisbet, menyatakan bahwa infotainment sebagai soft journalism, yang liputannya mencakup berita sensasional, tentang selebritas, kriminal, dan paranormal.

Terminologi infotainment pertama kali muncul dalam industri televisi Amerika Serikat pada era 1960-an. Di Amerika Serikat, infotainment diartikan sebagai tayangan berita atau news yang dikemas dalam format hiburan. Semula acara news dikemas serius dan elegan sehingga terkesan garing.

Para pemilik maupun pengelola televisi merasa publik membutuhkan pengemasan berita yang lebih menghibur (entertaining). Dalam konteks sosial Amerika Serikat di masa itu, televisi dinikmati oleh mayoritas kelas pekerja yang sudah terlalu lelah saat di rumah sehingga mereka membutuhkan konten televisi yang ringan tanpa harus capek-capek berpikir serius. Maka, konten hiburan menjadi penting untuk mengusir lelah dan kejenuhan para pekerja.

Acara berita Sixty Minutes yang ditayangkan CBS, Amerika Serikat, pada 1968 menjadi salah satu acara infotainment generasi pertama. CBS menyajikan berita laporan investigatif dengan cara dramatis melalui figur pembawa acaranya, Don Hewitt. Publik ternyata menyambut positif acara berdurasi 1 jam ini sehingga menjadi acara yang kondang dan mencatat rating tinggi.

Keberhasilan CBS ditiru stasiun televisi lain. Banyak stasiun televisi memproduksi acara serupa sampai kemudian konten berita yang ditayangkan dalam acara infotainment tidak lagi berupa berita-berita politik maupun segala sesuatu yang menyangkut kepentingan publik, melainkan juga mengarah ke human interest dan skandal figur publik.

Pada 1970-an konten hiburan menjadi elemen penting dalam industri televisi di Amerika Serikat dan sudah dianggap sebagai salah satu berita arus utama atau (mainstream). Perubahan konsep berita televisi ini kemudian menginspirasi USA Today untuk melakukan hal serupa dalam format berita surat kabar. Tindakan USA Today menular ke media cetak lainnya, khususnya media cetak berformat majalah dan tabloid. 

Jadi, jelaslah infotainment di Amerika Serikat lahir dari “rahim” televisi. Sebaliknya, infotainment di Indonesia dilahirkan media cetak. Infotainment masih menjadi istilah asing sebelum jagat pers nasional mengalami demokratisasi dan mendapatkan kebebasannya, yang ditandai dengan pergantian rezim Orde Baru per 21 Mei 1998 (Soeharto lengser).

Media massa di era Orde Baru sudah sering mempublikasikan berita artis dan kehidupan sehari-harinya melalui rubrik khusus seperti seni, budaya, hiburan, gaya hidup, dan tokoh. Porsi pemberitaannya kecil dan menjadi selingan dari liputan yang serius. Dalam perkembangannya rubrik hiburan menjadi salah satu rubrik favorit yang dinantikan para pembaca. Pembaca cenderung tidak lagi begitu berminat membaca rubrik utama yang menyajikan isu-isu serius.

Meningginya animo masyarakat terhadap informasi hiburan mengilhami pembuatan tabloid hiburan. Lahirlah tabloid hiburan Gramedia dan Monitor pada kurun 1980-an yang khusus memuat berita-berita ringan mengenai selebritas.

Tabloid Monitor awalnya terbit dan dikelola TVRI sepanjang 1972-1973 tapi hanya bertahan sampai 24 nomor dengan oplah hanya 10 ribu eksemplar. Arswendo Atmowiloto kembali menghidupkan Monitor pada 1980. Edisi perdana dicetak sebanyak 200 ribu eksemplar dengan harga eceran Rp 300. Edisi perdana ludes.

Monitor laris-manis. Hanya dalam 10 edisi, tirasnya meningkat drastis hingga 450 ribu eksemplar dan menembus angka 640 ribu eksemplar saat memasuki bulan kelima usianya. Bahkan, konon, sirkulasi Monitor sempat mencapai 782 ribu eksemplar dengan harga eceran Rp 500 per eksemplar. Saat pasar mengalami kejenuhan, Arswendo bersiasat dengan menerbitkan Monitor Minggu yang terbit setiap hari Sabtu pagi. Jadilah Monitor sebagai tabloid pertama di Indonesia yang mengisi akhir pekan.

Kejayaan Monitor ambruk pada 1990. Pada edisi 15 Oktober Monitor menerbitkan hasil polling atau jajak pendapat berjudul “Kagum 5 Juta”. Hasilnya, tokoh yang paling dikagumi pembaca Monitor di urutan teratas adalah Soeharto, disusul Bacharuddin Jusuf Habibie, Soekarno, Iwan Fals. Arswendo di urutan ke-10 dan Nabi Muhammad di nomor 11.

Umat Islam pun murka. Arswendo dianggap menistakan agama Islam. Pada 17 Oktober tahun yang sama, massa menggeruduk kantor Monitor. Patung Arswendo yang terbuat dari kerta tabloid Monitor dibakar. Pada 22 Oktober massa mengepung kantor Monitor, serta menjungkirbalikkan kursi dan meja.

Arswendo kemudian menyatakan menyesal dan meminta maaf. Tapi umat Islam terlanjur murka sampai kemudian Arswendo digugat ke pengadilan. Singkat cerita, majelis hakim memvonis Arswendo dengan hukuman 5 tahun penjara. Monitor dilarang terbit. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) Nomor 194/1984 atas nama Monitor pun dicabut oleh Menteri Penerangan Harmoko, yang notabene salah seorang pemilik saham Monitor. Saham Harmoko di Monitor sebesar 30 persen.

Kesuksesan kedua media hiburan menginspirasi pengusaha media, khususnya televisi, untuk menjadikan tema hiburan sebagai menu andalan. Sebagian televisi mencoba untuk memproduksi tayangan hiburan secara mandiri atau in house dan sebagian lagi membeli tayangan hiburan dari rumah produksi (production house/PH).

Format berita hiburan di tabloid Monitor diadopsi oleh Ilham Bintang, pemilik PT Bintang Advis Multimedia, dengan memproduksi program Cek & Ricek di RCTI pada 1997. RCTI merupakan stasiun televisi swasta pertama di Indonesia yang pertama kali mengudara pada 13 November 1988 dan resmi beroperasi pada 24 Agustus 1989. 

Acara Cek & Ricek mempelopori kelahiran tayangan sejenis yang menyuguhkan berita kehidupan artis, yang cenderung sensasional dan sepele. Lama-kelamaan tayangan Cek & Ricek dan acara infotainment lainnya identik berita gosip artis. Sebutan infotainment menjadi paten sebagai trademark informasi hiburan yang diandalkan mayoritas stasiun televisi.

Infotainment makin berjaya setelah Presiden Soeharto mundur dari jabatannya. Era reformasi tiba, pers dan masyarakat mengalami euforia. Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie dan Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah mendukung penuh keterbukaan informasi. Surat Izin Terbit (SIT) dan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dihapus, bredel ditiadakan, sehingga siapa pun boleh mendirikan perusahaan pers. Lahir pula Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Euforia ini ditandai dengan kemunculan begitu banyak media cetak, terutama dalam format tabloid. Ada media cetak yang menjadi simpatisan dan bahkan jadi corong partai politik, tabloid yang mengandung unsur pornorgrafi, dan tentu saja tabloid hiburan.

Pamor infotainment meroket dari satu kali penayangan menjadi tiga kali. Bahkan, jumlah acara infotainment yang ditayangkan dalam sehari rata-rata lebih dari 15 jam atau dalam satu minggu lebih dari 210 episode. Ini data tahun 2007 sebagaimana dikutip dari harian Kompas edisi 8 Januari 2008.

Angka tersebut melonjak dari tahun-tahun sebelumnya. Masih mengutip Kompas edisi yang sama, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat mencatat, pada 2002 frekuensi tayangan infotainment hanya sebanyak 24 episode setiap minggu atau tiga episode per hari yang ditayangkan 10 stasiun televisi swasta. Pada 2003, jumlah tayangan infotainment meningkat empat kali lipat menjadi 101 episode setiap minggu atau 14 episode per hari.

Pada 2004, frekuensi tayangan infotainment bertambah menjadi 151 episode per minggu atau 22 episode per hari dan pada 2005 penayangan infotainment melonjak lagi menjadi 180 episode per minggu (26 episode per hari).

Catatan lain, pada 2011, di Indonesia ada sekitar 40 judul infotainment yang merata ada di hampir semua televisi, dengan durasi tayang lebih dari 14 jam sehari dan mampu menyedot sekitar 10 juta penonton (Vivanews, 27 Desember 2009).

Melesatnya jumlah tayangan infotainment di televisi lebih dipengaruhi nilai ekonomi yang prospektif, yaitu biaya produksi murah dan banyak diminati pasar. Infotainment menjadi sangat penting sebagai sumber fulus dan sangat menguntungkan produser karena ceruk pasarnya sangat besar, rating-nya tinggi dan modal cepat kembali.

Rating ialah persentase jumlah orang yang menonton suatu program acara televisi yang diukur dari populasi tertentu. Jadi, kalau sebuah tayangan televisi rating-nya tinggi, itu berarti jumlah penontonnya banyak. Misalnya, dari 1.000 orang di suatu wilayah, ada 800 orang yang menonton tayangan A. Artinya, ada 80% populasi yang menyaksikan tayangan tersebut. Atau biasanya disebutkan bahwa tayangan A memiliki rating 8 (buku Saatnya Kita Melek Media, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, 2017).

Menurut Veven SP Wardana (dalam Loven, 2008), rating diperkenalkan di Indonesia pada 1991, sesuai permintaan stasiun televisi dan juga Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I).

Mereka setuju bahwa televisi komersial membutuhkan data tentang perilaku menonton dan hasil dari iklan televisi. Layanan rating ini dibiayai bersama. televisi membiayai 75% dari total biaya, sementara P3I membiayai 25% sisanya. Pada 1993, TVRI tak lagi berlangganan layanan rating karena, sebagai televisi non-komersial, TVRI dianggap tak membutuhkan data rating yang mahal. Perusahaan yang kemudian menyuplai televisi swasta di Indonesia adalah perusahaan riset pemasaran ACNielsen.

Sebelum itu, pada 1971, Indonesia mencatat adanya lembaga yang disebut In Search Data, perusahaan pertama yang punya konsern pada riset pemasaran dan sosial. Pada 1973, In Search Data bergabung dengan Survey Research Group (SRG), dan pada 1983 SRG bergabung dengan AGB membentuk Survey Research Indonesia (SRI). Pada 1994, SRI bergabung dengan ACNielsen International di bawah Dun and Bradstreet (D&B). Pada 1997 perusahaan tersebut dikenal dengan ACNielsen/SRI. Tahun 1998, nama SRI dihilangkan, dan menjadi ACNielsen saja. Sejak Februari 2001, ketika ACNielsen bergabung dengan VNU, departemen riset media dikenal sebagai Nielsen Media Research (NMR) (Remotivi, 19 Mei 2016).



FIKTIF atau tidak faktual, tendensius, penyebar gosip dan fitnah, dan penyebar aib kehidupan pribadi selebritas menjadi kelemahan infotainment yang banyak disuarakan pakar komunikasi, praktisi jurnalistik, dan juga kaum ulama. Publik yang kritis pun ikut marah.

Konten infotainment dinilai lebih banyak menimbulkan mudarat ketimbang memberi manfaat bagi kepentingan publik secara luas.

Alhasil, Dewan Pers dan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kebanjiran pengaduan terkait performa dan kinerja infotainment. Pada hingga Juni 2010, misalnya, KPI menerima 637 pengaduan yang 32,18 persen atau sekitar 200 pengaduan terkait infotainment. Pengaduan lainnya terkait kategori program siaran variety show, sinetron, dan berita.

Dewan Pers pertama kali dibentuk tahun 1968. Pembentukannya berdasar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers yang ditandatangani Presiden Soekarno, 12 Desember 1966.

Tujuan dibentuknya Dewan Pers adalah untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kualitas serta kuantitas pers nasional (Penjelasan Pasal 15 ayat 1 Undang-Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers).

Sedangkan KPI lahir atas amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran (UU Penyiaran). KPI adalah lembaga negara yang bersifat independen yang ada di pusat dan di daerah yang tugas dan wewenangnya diatur dalam UU Penyiaran sebagai wujud peran serta masyarakat di bidang penyiaran.


Keberadaan infotainment makin kontroversial dan menimbulkan polemik berkepanjangan setelah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Hasyim Muzadi menegaskan bahwa tayangan infotainment gosip atau ghibah hukumnya haram. Fatwa ini disampaikan berdasarkan hasil Musyawarah Alim Ulama NU di Surabaya, Juli 2006.

Karena itulah PBNU mendesak tayangan infotainment gosip dihentikan dengan alasan pemberitaan yang mengobral masalah pribadi dan rahasia keluarga bisa berdampak buruk bagi masyarakat. Menurut Hasyim, infotainment gosip merupakan pembunuhan karakter orang yang diberitakan. Dalam Islam, ghibah diibaratkan sebagai seseorang yang tega memakan daging bangkai saudaranya sendiri (Detik.com, Jumat, 25 Desember 2009).

Berselang empat tahun, penegasan serupa disampaikan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj. PBNU menegaskan tidak mengharamkan infotainment, tapi unsur ghibah yang ada di dalamnya. Ghibah atau mengorek dan menceritakan aib orang lain diharamkan dalam ajaran Islam.

Penegasan itu disampaikan Said untuk menanggapi keluhan para wartawan infotainment yang mengaku disudutkan oleh adanya pemberitaan perihal haramnya infotainment. Penegasan haramnya ghibah dalam infotainment disampaikan dalam Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di Asrama Haji Sukolilo, 27-30 Juni 2006 (Tribunnews.com, Selasa, 27 Juli 2010).

Berbeda dengan NU, Majelis Ulama Indonesia (MUI) malah mengeluarkan fatwa haram untuk infotainment baik bagi yang menayangkan, menonton, maupun yang mengambil keuntungan dari aib, gosip dan hal-hal lain terkait ranah pribadi. Fatwa tersebut dikeluarkan Komisi C MUI yang membidangi fatwa dalam Musyarawah Nasional MUI di Jakarta, Selasa, 27 Juli 2010.

Terkait fatwanya, MUI merekomendasikan perlunya dirumuskan aturan untuk mencegah konten tayangan yang bertentangan dengan norma agama, keadaban, kesusilaan dan nilai luhur kemanusiaan.

MUI juga merekomendasikan kepada KPI untuk meregulasi tayangan infotainment supaya hak masyarakat untuk menjamin hak masyarakat memperoleh tayangan bermutu dan melindunginya dari hal-hal negatif. Lembaga Sensor Film diminta proaktif melakukan sensor terhadap tayangan infotainment demi menjamin terpenuhinya hak-hak publik dalam menikmati tayangan bermutu (Antaranews.com, Selasa, 27 Juli 2010).

Sebelum MUI mengeluarkan fatwa haram itu, dalam Rapat Dengar Pendapat pada 14 Juli 2010, Komisi I DPR bersama KPI dan Dewan Pers sepakat menyatakan bahwa program siaran infotainment banyak melakukan pelanggaran.

Bahkan KPI telah menyatakan tayangan infotainment sebagai produk nonfaktual karena tidak menjalankan prinsip-prinsip jurnalistik. Namun Dewan Pers menilai pernyataan KPI perlu ditelaah lebih lanjut lantaran tidak semua tayangan infotainment melanggar kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip jurnalistik. Hanya sedikit tayangan infotainment yang memenuhi ketentuan Kode Etik Jurnalistik (KEJ).

Begitu pun akhirnya Dewan Pers tetap menghormati otoritas KPI. Dewan Pers mendukung kewenangan KPI untuk memutuskan status program infotainment, reality show sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran—disahkan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 28 Desember 2002.

Padahal, sebelumnya pada 2009, dalam pertemuan dengan Dewan Pers di Gedung Dewan Pers, Ketua KPI Sasa Djuarsa Sendjaja dan beberapa komisioner KPI meminta Dewan Pers untuk menyusun regulasi di bidang infotainment dan reality show.

Keputusan KPI yang menyatakan infotainment sebagai produk nonfaktual diperkuat oleh rekomendasi Komisi I DPR RI yang menyatakan program infotainment, reality show, dan sejenisnya, banyak melanggar norma agama, etika moral, norma sosial, KEJ, serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).

Kesepakatan ketiga lembaga itu mencerminkan persoalan pokok infotainment bahwa pelaku industri televisi lebih menempatkan misi bisnis lebih utama dibanding misi ideal. Industri televisi lebih banyak melayani fungsi hiburan dan cenderung mengabaikan fungsi pendidikan, kontrol sosial, dan informasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 UU Pers.

Lembaga televisi juga cenderung lebih menonjolkan pelaksanaan fungsi ekonomi ketimbang menjalankan fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial, serta kebudayaan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 UU Penyiaran.

Penonjolan fungsi hiburan juga tidak sepenuhnya terpenuhi dalam program infotainment karena industri televisi telah mereduksi makna infotainment hanya seputar perselingkuhan, kumpul kebo, perceraian, dan konflik keluarga selebritas.

Namun, kendati MUI sudah mengharamkan isi program infotainment, serta ada kesepakatan bersama Komisi I DPR dengan KPI dan Dewan Pers tentang status infotainment, tidak otomatis sensor diberlakukan terhadap infotainment. Infotainment menjadi produk yang disiarkan televisi dan lembaga penyiaran televisi harus tunduk kepada UU Penyiaran.

Pasal 47 UU Penyiaran tegas menyatakan bahwa isi siaran dalam bentuk film dan/atau iklan wajib memperoleh tanda lulus sensor dari lembaga yang berwenang. Jadi sangat jelas, sensor tidak dapat dilakukan terhadap produk siaran di luar film dan iklan. Sensor terhadap program infotainment hanya dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengamandemen pasal-pasal sensor dalam UU Penyiaran.

Meski Komisi I DPR bersama KPI dan Dewan Pers sepaham dan bersepakat bahwa program infotainment banyak melanggar aturan, bukan berarti kekompakan ketiga pemangku kepentingan itu menular ke organisasi profesi wartawan yang menjadi konstituen Dewan Pers, yaitu Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), dan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI).

PWI menyatakan infotainment sebagai produk jurnalistik. Menurut PWI, proses pembuatan infotainment dilakukan secara jurnalistik, seperti peliputan, proses produksi, dan proses tayang. Selain itu, PWI beranggapan infotainment sudah lama menjadi produk kreatif dari jurnalisme. Namun, PWI sepakat, belakangan ada yang prosesnya “kebablasan”, melupakan kaidah jurnalistik, melanggar privacy, dan kerapkali mengabaikan fakta. (Yudi Hendriana, Wakil Pemimpin Redaksi Global TV dalam buku Jurnalisme Televisi Indonesia, Tinjauan Luar Dalam, Kepustakaan Populer Gramedia, November 2012).

AJI dan IJTI menyatakan sebaliknya. Alasannya sederhana: tayangan gosip yang berkaitan dengan kehidupan pribadi dan tidak berkaitan dengan kepentingan umum bukanlah karya jurnalistik. Apalagi ditemukan fakta bahwa kebanyakan konten infotainment dihasilkan oleh orang-orang yang bekerja di rumah produksi (production house/PH). Namun, AJI dan IJTI bersepakat, bahwa pekerja infotainment melakukan pekerjaan dengan tahapan-tahapan jurnalistik dan dikemas dalam bentuk berita.

Sikap AJI dan IJTI sesuai dengan disertasi doktor ilmu komunikasi Universitas Indonesia, Mulharnetti Syas. Dia berpendapat, program infotainment yang ditayangkan stasiun-stasiun televisi bukanlah karya jurnalistik. Alasannya, infotainment menanyangkan hal-hal yang tidak sesuai dengan fakta alias hanya gosip. Dia juga menganggap pekerja infotainment bukanlah wartawan, tapi pekerja yang bernaung di bawah rumah produksi.

Berbeda dengan perbedaan sikap ketiga organisasi wartawan, KPI dan Dewan Pers akhirnya mencapai kesepakatan yang lebih elegan melalui penandatanganan nota kesepahaman atau memorandum of understanding tentang Penanganan Pelanggaran Isi Siaran Jurnalistik yang ditandatangani Ketua KPI Pusat Judhariksawan dan Ketua Dewan Pers Bagir Manan pada Selasa, 22 April 2014. 

Nota kesepahaman yang ditandatangani di Jambi ini terdiri dari 13 pasal dan berlaku selama tiga tahun sejak ditandatangani. Masa berlakukanya disesuaikan dengan masa jabatan anggota KPI dan Dewan Pers yang sama-sama 3 tahun.

Pasal 42 UU Penyiaran tentang kegiatan jurnalistik menyebutkan wartawan Penyiaran dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik media elektronik tunduk kepada Kode Etik Jurnalistik dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kode Etik Jurnalistik dibuat berdasarkan Surat Keputusan Dewan Pers Nomor 03/SK-DP/III/2006 Tanggal 24 Maret 2006.

Pasal 1 UU Pers (Ketentuan Umum) ayat 1: Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk suara lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.

Pasal 1 UU Pers ayat 4: Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik.


MASYARAKAT atau publik harus tegas menolak program atau tayangan infotainment yang tidak bermutu, melanggar peraturan dengan tidak menontonnya. Ketegasan lain bisa diekspresikan dengan mencermati dan mencatat konten negatif lalu melaporkannya kepada KPI dan juga Dewan Pers.

Peran serta masyarakat sangat dibutuhkan untuk mengoreksi segala kekurangan isi siaran televisi dan media lainnya dengan tujuan untuk mengembangkan dan memajukan kemerdekaan pers.

Pasal 17 UU Pers:

1. Masyarakat dapat melakukan kegiatan untuk mengembangkan kemerdekaan pers dan menjamin hak memperoleh informasi yang diperlukan.
2. Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 dapat berupa:
a. Memantau dan melaporkan analisis mengenai pelanggaran hukum, dan kekeliruan teknis pemberitaan yang dilakukan oleh pers;
b. Menyampaikan usulan dan saran kepada Dewan Pers dalam rangka menjaga dan meningkatkan kualitas pers nasional.

Penjelasan Pasal 17 ayat 2: Untuk melaksanakan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat ini dapat dibentuk lembaga atau organisasi pemantau media (media watch).

Peran serta masyarakat juga tercantum dalam Pasal 52 UU Penyiaran:

1. Setiap Warga Negara Indonesia memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam berperan serta mengembangkan penyelenggaraan penyiaran nasional;
2. Organisasi nirlaba, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi, dan kalangan pendidikan, dapat mengembangkan kegiatan literasi dan/atau pemantauan lembaga penyiaran;
3. Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap program dan/atau isi siaran yang merugikan.

Penjelasan Pasal 52 ayat 2: Yang dimaksud dengan pemantauan Lembaga Penyiaran adalah melakukan pengamatan terhadap penyelenggaraan siaran yang dilakukan oleh lembaga-lembaga penyiaran. Yang dimaksud dengan kegiatan literasi adalah kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan sikap kritis masyarakat.

Literasi media adalah kemampuan untuk mengakses, menganalisis, mengevaluasi, dan mengomunikasikan isi pesan media. Menurut KPI, setidaknya ada tiga tujuan literasi media.

Pertama, memahami operasi media dengan benar. Pengguna media perlu mengetahui bagaimana media beroperasi, mulai dari bahwa televisi memerlukan modal besar dalam tiap produksinya, orientasi profit yang tinggi, hingga soal kepemilikan media yang bisa menentukan arah dan kebijakan sebuah tayangan televisi.

Kedua, menyikapi media secara benar. Khalayak perlu menerapkan sikap dan perilaku yang benar dan tepat terhadap media massa yang mereka konsumsi. Faktanya, sikap yang salah berimplikasi buruk. Jika tidak menyukai konten yang disajikan media tertentu, jangan baca, dengar, dan tonton lagi konten tersebut.

Ketiga, memihak pada konten media yang benar. Faktanya, tidak semua isi media adalah benar dan merupakan kebenaran. Namun, bukan berarti semua isi media tidak benar. Sajian program faktual sekalipun belum tentu mengandung informasi yang benar meski tersaji dengan konsep jurnalistik yang benar.

Beberapa media massa di Indonesia justru kerap menyajikan konten yang buruk, seperti mengandung unsur seks, kekerasan, horor, dan mistis. Terhadap media semacam ini pengguna media diharapkan memberikan sanksi sosial (social punishment), minimal dengan tidak menontonnya, memberitahu lingkungan sekitar, dan tentu membantu sekali bila mencatat dan melaporkannya ke KPI.
 
Peserta seminar yang diadakan UKM Pers G-Plasma Polikteknik Negeri Madiun berasal dari sejumlah kampus yang ada di sekitar Madiun, seperti Ponorgo, Kediri, dan Tuban.

DALAM tulisan ini saya membatasi pembahasan media siaran televisi dan infotainment sebagai salah satu sajian televisi yang masih diandalkan untuk perhatian pemirsa walau meski pamor infotainment tidak lagi segebyar seperti dulu.

Pembatasan itu disesuaikan dengan tema dan permintaan panitia pelaksana seminar “Media yang Kritis terhadap Infotainment” yang diadakan di auditorium Politeknik Negeri Madiun, Jawa Timur, Sabtu, 14 Oktober 2017.

Seminar diadakan oleh Unit Kegiatan Mahasiswa Pers G-Plasma (Goresan Pena Jurnalis & Media Aspirasi Mahasiswa) Politeknik Negeri Madiun untuk memperingati ulang tahun pertama mereka. ABDI PURMONO


Share this :

Previous
Next Post »