Mata, Dokter Mata, dan Sesal yang Percuma

Senin, Juli 03, 2017

Kacamata kepunyaanku. Foto: ABDI PURMONO 

Jaga dan sayangi mata agar tidak menyesal kemudian. Bila gangguan mata mengharuskan ke dokter mata, maka jadilah pasien yang kritis.

SAYA pernah menganggap berkacamata itu keren justru saat mata saya sehat-sehat saja, masih tajam dan cerlang. Saya pun sempat mengidamkan berkacamata.

Suatu ketika, sekitar 4 tahun lalu, mata saya bermasalah. Tulisan di buku yang saya baca tampak buram atau kabur. Saya pun mengadu ke dokter mata. Setelah diperiksa, sang dokter mengatakan saya harus memakai kacamata baca alias kacamata plus karena sudah waktunya bagi orang seusia saya. Saya dinyatakan mengalami rabun dekat atau hipermetropi.

Bagi saya, faktor usia bukan alasan yang memuaskan untuk diterima begitu saja. Lalu saya katakan bahwa saya sering melihat orang yang berusia lebih tua dari saya dan hobi membaca matanya sehat-sehat saja. Kenapa bisa begitu?

Si dokter rupanya tidak komunikatif. Ia hanya memberikan penjelasan singkat dengan menyebut kebiasaan seseorang saat membaca tak lebih sebagai “bonus” dan dalam kasus saya lebih ditentukan oleh faktor usia.

Saya pun tidak menuruti saran dokter agar memesan kacamata plus lantaran saya belum puas. Saya tidak percaya begitu saja.

Lalu saya pergi ke dokter mata di Klinik Mata Malang (Malang Eye Clinic) yang berlokasi di Jalan Dr Cipto, Kelurahan Rampal Celaket, Kecamatan Klojen, Kota Malang. Komunikasi dengan dokter kedua ini berlangsung interaktif dan menyenangkan. Tapi saya tidak ingat nama dokternya.

Tanpa terlalu banyak basa-basi sang dokter menanyakan kebiasaan saya saat membaca dan gejala gangguan kesehatan mata yang saya alami. Saya suka membaca sambil tiduran di sofa meski tempatnya terang dan sering berlama-lama di depan komputer. Akibatnya, lama-lama area mata saya sering terasa panas dan kepala pusing. Begitu yang saya ungkapkan.

Sang dokter merespons pengakuan saya dengan melakukan pemeriksaan visus (tajam penglihatan). Saya diminta duduk di kursi dan kemudian disuruh membaca huruf yang tertera dalam snellen chart, poster yang berfungsi untuk mendeteksi tajam penglihatan seseorang. Perintah serupa saya alami saat mengikuti ujian untuk mendapatkan surat izin mengemudi.

Setelah itu dokter menjelaskan tanda-tanda umum kerusakan pada mata, antara lain tidak bisa melihat dengan jelas dalam jarak tertentu baik melihat benda hidup dan benda mati. Semua benda yang dilihat membayang dan samar-samar.

Tanda lain, orang yang mengalami gangguan penglihatan sering memicingkan mata seperti mata silau. Benda memang terlihat jelas saat mata dipicingkan, tapi sebenarnya justru mata dipaksa bekerja lebih keras melebihi kemampuannya.

Tanda berikutnya adalah membaca dan menonton televisi jadi terpaksa sangat dekat.

Dokter pun menjelaskan lagi, tanda-tanda kerusakan mata itu sangat dipengaruhi lima kebiasaan buruk saat membaca:

1. Membaca sambil tiduran. Saat tiduran, objek bacaan justru semakin dekat dengan wajah dan memaksa mata bekerja lebih keras melebihi kemampuannya.

2. Terlalu dekat layar televisi saat menonton. Ukuran televisi ikut menentukan jarak pandang. Semakin gede ukuran layar televisi, maka seharusnya makin jauh jarak menonton.

3. Membaca di tempat gelap atau remang-remang.

4. Membaca terlalu dekat. Jarak ideal membaca buku atau koran, misalnya, sekitar 30 sentimeter.

5. Terlalu lama di depan layar komputer sehingga berdampak negatif terhadap kesehatan mata, seperti mata berair dan cepat lelah.

Penjelasan sang dokter begitu gampang dicerna dan menyenangkan. Apalagi dokternya tetap sabar dan tidak pelit memberitahu saya tentang jenis gangguan mata, yaitu:

1. Rabun jauh atau miopi (myopia). Gangguan rabun jauh biasanya faktor keturunan. Penderita rabun jauh dibantu dengan menggunakan kacamata minus—orang biasa menyebut mata minus.

2. Rabun dekat (hipermetropi). Orang yang dengan kerusakan mata seperti ini dibantu dengan kacamata plus.

3. Katarak, yaitu bagian keruh pada lensa mata yang biasanya bening sehingga daya pandang buram seperti berkabut. Lensa mata adalah bagian transparan di belakang pupil (titik hitam di tengah bagian mata yang gelap).

Katarak tidak menyebabkan rasa sakit dan termasuk penyakit yang sangat umum terjadi pada manusia. Katarak biasanya dialami orang yang sudah tua maupun pada penderita diabetes.

4. Rabun senja atau rabun ayam (nyctalopia). Orang yang mengalami rabun senja kesulitan melihat jika kekurangan sumber cahaya pada sore hari saat matahari tenggelam. Namun rabun senja tidak bisa dibantu dengan penggunaan kacamata.                                                   
5. Silindris. Penderita mata melihat semua benda berbayang menjadi dua dan oleh karenanya membutuhkan kacamata berbentuk silinder supaya pandangannya lebih fokus.

Alhasil, singkat cerita, saya memang divonis mengalami rabun dekat sehingga dan disarankan berkacamata plus. 

Dan yang pasti saya agak menyesali dulu pernah mengidamkan berkacamata dan sekarang terpenuhi. Sungguh saya merasakan banyak kenikmatan yang berkurang dalam perkara baca-membaca, pandang-memandang. 

Contoh, kacamata pertama saya hancur dilindas ban kendaraan angkutan kota di Bogor. Kacamata kedua patah di Jakarta. Akibatnya, saya sangat kesulitan membaca pesan yang masuk ke gawai (gadget) sampai pernah saya meminta tolong pada orang lain untuk membacakan pesan tersebut. 

Begitu pula kesulitan saat melakukan hobi memotret maupun bermain catur tanpa berkacamata. Kelancaran kerja dan aktivitas lain saya nyaris bergantung penuh pada kacamata, seolah-olah kacamata sudah jadi berhala. 

Tapi pada akhirnya saya harus berdamai dengan diri sendiri untuk tidak terus bersesal hati dengan tetap berusaha menjaga baik-baik mata saya agar tidak makin parah. Percuma saja menyesalinya.

Jadi, sebenarnya ada dua hal penting yang ingin saya sampaikan. Pertama, jangan percaya begitu saja penjelasan dokter. Bertanyalah apabila merasa ragu atau belum puas. Gunakanlah sebaik-baiknya hak kita sebagai pasien.

Hak-hak pasien dilindungi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen sebagaimana tertera pada Pasal 4. Hak pasien pun diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, serta tercantum dalam Pasal 32 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit.

Kedua, sayangilah mata kita supaya tetap sehat seperti dengan memperbanyak makan buah dan sayur, terutama buah-buahan berwarna merah dan wortel, serta mengindari kebiasaan buruk yang mengakibatkan mata bekerja sangat keras.

Demikian catatan ini. Semoga bermanfaat bagi Anda yang membacanya. ABDI PURMONO

Share this :

Previous
Next Post »
2 Komentar
avatar

Aku pakai kacamata sejak kelas 6 sd. Sampai skarang masih aja pakai. Pengen lasik mata tapi mahal. Hehhee

Balas
avatar

@Alida: Iya, kalo begitu kamu sdh sgt senior berkacamata. Operasi lasik bukannya untuk penderita mata minus? Aku lihat video testimoni penderita mata minus yg operasi lasik, eh biayanya minimal Rp 50 juta.

Balas