Mengenal Jurnalisme Investigasi

Rabu, April 12, 2017
Ilustrasi jurnalisme investigasi dalam film Spotlight (2015). Sumber: Google

Jurnalisme investigasi bertujuan membongkar kejahatan dan menunjuk pelakunya.

ISTILAH investigasi sering serampangan dipakai oleh media massa terlebih oleh koran atau majalah yang terbit di daerah. Merujuk pengalaman, pemaikaian istilah investigasi lebih ditujukan untuk mendongkrak gengsi dan reputasi, atau malah untuk gagah-gagahan belaka.

Padahal liputan penyelidikan (investigative reporting) tidak segampang itu. Dalam praktiknya terbukti liputan penyelidikan lebih berat ketimbang rata-rata pekerjaan jurnalisme sehari-hari lantaran wartawan investigasi tidak bekerja berdasarkan agenda peliputan reguler.

Ambil contoh laporan panjang yang dilakukan koran terbitan Surabaya dan Malang. Harian Surya edisi Jumat, 3 Oktober 2003, menurunkan laporan panjang di rubrik Malang Raya yang berjudul Warga Batu sulit air di gelimang sumber air—penulisan judul asli demikian. Surya mewartakan kesulitan warga Kota Batu mendapatkan air justru di daerah yang sebenarnya memiliki sumber air melimpah. Memang sebuah ironi. Ini kenyataan yang menyerupai kiasan “bagai ayam semaput di lumbung padi.”

Dalam pengantarnya redaksi Surya menyebutnya laporan investigasi oleh M. Taufiq Zuhdi, wartawan gres. Penabalan istilah investigasi untuk laporan itu tidak tepat.

Sebenarnya Surya sudah mempunyai rubrik Liputan Khusus yang terbit hampir saban hari. Temanya beragam, namun kebanyakan berhubungan dengan isu-isu korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Kalau tak salah ingat, koran Malang Post juga sempat melakukan hal serupa selama tahun 2002, yang dimuat di halaman 2. Diberi nama “News Indepth” (perhatikan ejaannya). Malang Post mencoba menyoroti berbagai persoalan yang dinilai aktual dan faktual dalam tulisan sepanjang setengah bahkan pernah satu halaman. Lepas dari kualitas penulisannya, isu yang diangkat Malang Post lumayan menarik.

Antara lain, isu penyeragaman batik yang diwajibkan bagi setiap sekolah dasar (Sabtu, 7/9); rebutan aset antara Pemerintah Kabupaten Malang dan Pemerintah Kota Batu (Jumat, 13/9); relokasi pedagang buku di Jalan Majapahit alias Blok M (Senin, 23/9 dan Selasa, 31/12); televisi lokal (Senin, 30/9), serta maraknya peristiwa pencurian kendaraan bermotor (Senin, 7/10).

Lepas dari kualitasnya, apa yang dilakukan Surya dan Malang Post lebih cocok disebut indepth reporting. Artinya, berita yang dibuat tidak benar-benar menyajikan penelusuran dan penyelidikan wartawan, melainkan semata mengungkap, mengorganisasikan, dan menganalisis fakta-fakta yang telah diketahui banyak orang dan tidak dirahasiakan lagi.

Yang membedakan investigative reporting dari indepth reporting adalah motif dan tujuan peliputan. Pada investigative reporting, seorang atau lebih wartawan memutuskan untuk melakukan liputan investigasi lantaran mengendus adanya pelanggaran atau penyelewenangan yang merugikan kemaslahatan masyarakat, namun sengaja hendak ditutup-tutupi, serta ketidakberesan ini memang dianggap layak dan penting untuk diketahui masyarakat.

Mantan pemimpin redaksi majalah Tempo, Goenawan Mohamad, menyebut investigative reporting sebagai jurnalisme “membongkar kejahatan”. Jurnalis yang baik, akan mencoba mempelajari dokumen-dokumen bersangkutan dan membongkar tindak kejahatan di belakangnya. Majalah Tempo sendiri sudah menambahkan rubrik Investigasi setelah terbit kembali pada 6 Oktober 1998.

Adanya pelanggaran hukum bukan menjadi unsur utama dalam indepth reporting. Tujuan indepth reporting lebih terfokus untuk mengangkat suatu masalah secara mendalam, seperti masalah anak jalanan, pengangguran, dan nasib petani yang tak kunjung ceria. Indepth reporting biasanya disajikan dalam bentuk feature dalam satu tulisan atau lebih, sebagaimana dicontohkan Kompas lewat rubrik Fokus.

Investigative reporting bermula dari suatu anggapan atau kecurigaan bahwa something is wrong, that someone has done something wrong, yang biasanya bersumber dari informasi rahasia atau berdasarkan pengamatan seorang reporter yang jeli. Sedangkan indepth reporting umumnya berasal dari suatu diskusi rapat redaksi yang memutuskan untuk menulis suatu laporan yang mendalam dan utuh mengenai suatu hal supaya dapat dimengerti secara lebih objektif.

Liputan penyelidikan terlanjur identik dengan pembongkaran kasus-kasus besar, semisal korupsi miliaran rupiah, skandal tokoh sekelasa menteri dan presiden, serta sindikat narkotika. Padahal, sebenarnya jurnalisme investigasi juga bisa diterapkan untuk hal-hal yang tidak terlalu besar tapi penting dan terlebih bila menyangkut kepentingan publik yang sengaja dirahasiakan.

Ada tujuh tahapan yang diperlukan dalam melakukan investigative reporting.

Pertama, smelling a story. Seorang wartawan patut curiga dan mencium adanya ketidakberesan yang pantas diketahui publik. Setelah itu penentuan subjek; apa memang layak diselidiki, apakah menyangkut kepentingan umum, seberapa besar magnitude-nya, menarik perhatian masyarakat atau tidak, bagaimana feasibility-nya, serta apakah didukung atasan—karena menyangkut dukungan dana, waktu, dukungan moral, penyediaan tempat (space) buat tulisan hasil investigasi. Dalam tahap ini perlu pemastian apakah liputan itu mau dikerjakan oleh perseorangan atau tim. Biasanya laporan investigasi merupakan hasil kerja tim. Apabila dikerjakan tim, lazimnya ditentukan pembagian tugas dan wewenang, serta penanggung jawab (project officer).

Tahap berikutnya adalah perencanaan (planning), mencakup semua aspek yang mungkin timbul. Lebih baik didahului dengan diskusi maupun adu pendapat (brainstorming). Jika oke, maka dibuatlah outline. Outline merupakan kerangka dari apa yang akan diselediki, diawali dengan suatu hipotesis atau asumsi dasar dari persoalan yang dipilih. Hipotesis sangatlah penting untuk membantu wartawan memfokuskan dirinya dalam suatu investigasi. Pun dalam outline disebutkan rencana pembagian tulisan. Misalnya apakah perlu pembuatan sidebars atau boks untuk memudahkan penulisan dan sekaligus memudahkan pembaca, disertai uraian singkat rencana isi masing-masing bagian.

Outline hendaknya disertai rencana waktu pengerjaan serta penentuan narasumber, termasuk narasumber cadangan jika sumber utama gagal diperoleh. Jika investigasi dikerjakan keroyokan, maka dalam outline diuraikan secara jelas pembagian kerjanya.

Berikutnya melakukan riset kepustakaan dan riset lapangan. Riset sebenarnya sudah bisa dilakukan sebelum perencanaan. Riset amat diperlukan agar selain membantu menguasai permasalahan, seorang wartawan terbantu mengetahui dan memilah mana sumber primer, mana sumber skunder. Riset juga akan memperkaya hasil laporan dengan data-data yang diperlukan, bisa bersumber dari kepustakaan, klipingan, atau dari internet.

Setelah semuanya mantap, baru turun ke lapangan. Sekalipun sudah menguasai permasalahan, seorang wartawan tidak bisa becus bekerja jika tidak menguasai keterampilan jurnalistik—news gathering dan news writing—termasuk teknik wawancara dan menembus narasumber.

Yang selalu perlu diingat, sang wartawan harus terus-menerus melakukan melakukan check, double check, dan triple check terhadap informasi dan data yang diperoleh di lapangan. Barulah setelah semua informasi tergali, tinggal menulis. Tulisan mesti otoritatif, objektif, nonpartisan, fair, impartial, serta tentu saja yang manusiawi dan enak dibaca.

Untuk mempermudah seorang investigator dalam mengatur sistematika pekerjaannya, Direktur Philippines Center for Investigative Journalism, Shella Coronel, membagi proses investigasi ke dalam dua kali tujuh bagian. Bagian pertama merupakan bagian penjajakan dan pekerjaan dasar. Sedangkan bagian kedua sudah berupa penajaman dan penyelesaian investigasi.

Bagian pertama terdiri: petunjuk awal (first lead), investigasi pendahuluan (initial investigation), pembentukan hipotesis (forming an investigative hypothesis), pencarian dan pendalaman literatur (literature search), wawancara para pakar dan sumber-sumber ahli (interviewing experts), penjejakan dokumen-dokumen (finding a paper trail), serta wawancara sumber-sumber kunci dan saksi-saksi (interviewing key informants and sources).

Bagian kedua terdiri: pengamatan langsung di lapangan (first hand observation), pengorganisasian file (organizing files), wawancara lebih lanjut (more interview), analisis dan pengorganisasian data (analyzing and organizing data), penulisan (writing), pengecekan fakta (fact checking), pengecekan pencemaran nama baik (libel check).

Begitupun, secara umum ada beberapa teknik yang biasa dipakai seorang investigator. Pertama, riset dan reportase yang mendalam dan berjangka waktu panjang untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan hipotesis.

Kedua, pencarian jejak dokumen (paper trail) yang berupa upaya pelacakan dokumen publik maupun pribadi untuk mencari kebenaran-kebenaran untuk mendukung hipotesis. Ketiga, wawancara yang mendalam dengan pihak-pihak yang terkait dengan investigasi baik para pemain langsung maupun mereka yang bisa memberikan background terhadap topik investigasi.

Keempat, pemakaian metode penyelidikan polisi dan peralatan anti-kriminalitas, termasuk melakukan penyamaran (undercover). Sedangkan alat-alat bisa termasuk kamera tersembunyi atau perekam. Kelima, pembongkaran informasi yang tidak diketahui publik maupun informasi yang sengaja disembunyikan.

Jelaslah, investigative reporting itu njelimet banget. Teori dan praktik sama-sama merepotkan sehingga dibutuhkan orang-orang pilihan, bukan tipe manusia memble, untuk dipercaya menjadi wartawan investigasi.

Wartawan investigasi harus siap fisik dan mental. Betapa besar tantangan dan risiko yang harus diterima dan dihadapi wartawan investigasi; berbeda dengan wartawan yang biasa mengerjakan laporan reguler. Wartawan penyelidik lebih sering menjadi target ancaman, jebakan, pelecehan, penipuan, dan tuntutan pencemaran nama baik. Belum lagi ancaman diputus pacar, bosan, rusaknya perkawinan, lama membujang, frustrasi, rekan kerja yang sirik, bos yang rewel, redaktur yang penakut, dan macam-macam.

Asyiknya, disadari atau tidak, dalam bekerja, seorang wartawan investigasi bisa mirip seorang peneliti, atau hakim atau detektif, atau seorang filsuf, sekaligus.


CATATAN

Disampaikan dalam Pendidikan dan Latihan Jurnalistik Tingkat Dasar se-Malang yang diadakan Unit Kegiatan Pers Mahasiswa (UKPM) Universitas Merdeka, Malang, Kamis, 9 Oktober 2003.






Share this :

Previous
Next Post »