Darah di Kuil Sri

Minggu, Maret 05, 2017
Majalah PANJI MASYARAKAT Nomor 21 Tahun III, 8 September 1999


Ilustrasi: Seorang umat Hindu di Singapura, dengan pipih dan tubuh tertembus paku baja, menjalani prosesi Thaipusam, 21 Januari 2000. (Sumber: Time
Konflik Hindu: Perselisihan umat Buddha belum usai, terdengar kabar umat Hindu terlibat bentrok di Sumatera. Gara-gara ritual yang menyiksa tubuh.

DALAM keadaan kesurupan (trance), sejumlah lelaki Tamil mencucuk (menusuk) tubuh, wajah, dan lidah mereka dengan besi. Darah pun mengalir. Lalu, masih dengan bertelanjang dada, mereka berjalan di atas bara sembari mengucapkan doa-doa.

Jangan salah. Ini bukan pertunjukkan debus. Ini adalah cara penganut Hindu tadi melaksanakan ritual Timeri dalam upacara Aadhi Tiruvisha di Kuil Sri Mariyamman di Desa Bulucina, Deli Serdang, Sumatera Utara, Ahad pekan lalu.

Namun suasana khidmat tak berlangsung lama. Tiba-tiba datang sekelompok orang pria pimpinan Naransami dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Sumatera Utara. Mereka minta acara itu dihentikan. “Kegiatan menyiksa diri semacam itu bukan bagian dari ritual agama Hindu,” tegas Naransami, Sekretaris PHDI Sumut.

Permintaan itu ditolak oleh Forum Komunikasi Umat Hindu (FKUH) Sumatera Utara, penyelenggara ritual tersebut. Terjadilah perdebatan sengit berbuntut bentrok. Keadaan pun gaduh. Untung pihak keamanan cepat bertindak, dan keadaan dapat segera diatasi.

Pihak FKUH juga sewot bila ritual Timeri itu dibilang kegiatan penyiksaan diri. Menurut sekretarisnya, Thina Thayalan, acara ritual itu merupakan tradisi dalam agama Hindu sejak ribuan tahun lalu. Ritual itu dimaksudkan sebagai syukuran atas limpahan rahmat atau sebagai ungkapan terima kasih setelah permintaan (nazar) seseorang dikabulkan Tuhan. “Jadi ritual itu bukan penyiksaan diri dan bukan sadistis,” katanya.

Kegiatan Timeri, menurut Thina, dilaksanakan sekali setahun, yaitu tiap penanggalan Aadhi Masem yang biasanya jatuh sekitar Juli atau Agustus. Artinya, tidak dilakukan di sembarang waktu. Syarat-syaratnya juga berat. Seseorang yang hendak mengikuti ritual ini harus berpuasa 41 hari. Selama itu ia tidak boleh makan makanan berbau amis dan dianjurkan makan sayuran. Bagi yang telah menikah juga dilarang bercampur dengan istrinya. Setelah berpuasa seperti itu, barulah seseorang bisa mengikuti prosesi Aadhi Tiruvisha.

Dalam mengikuti upacara ritual tersebut, sebagai perlindungan dari hal-hal gaib, tangan peserta dipasangi gelang berupa kunyit yang telah dikeringkan, dan mereka mengenakan pakaian warna kuning. Peserta dan pengunjung tidak boleh memakai alas kaki. Bila itu sudah dipenuhi, prosesi dimulai dari pinggir sungai. Peserta dimandikan dan disyarati dengan mantra sampai kesurupan.

Nah, saat kemasukkan roh itulah, para peserta melakukan atraksi penyiksaan diri: mencucuk lidah, wajah, dan badan untuk selanjutnya berjalan di atas bara api yang sudah tersedia di halaman kuil. Sukses-tidaknya seseorang dalam pijak api diyakini tergantung pada bagus-tidaknya puasa orang yang bersangkutan. Usai upacara, mereka makan bersama berlauk sayuran dalca (gulai terung).

Ilustrasi: Festival Berjalan di atas bara api oleh umat Hindu di
Singapura. (Sumber: The Straits Times).
Sebetulnya, upacara seperti itu sudah berlangsung sejak 1970-an. Namun karena dinilai banyak penyimpangan di dalamnya, pada 6 Januari 1976 Dirjen Bimas Hindu dan Buddha mengeluarkan surat edaran pelarangan penyelenggaraan upacara tersebut. Aturan itu diperkuat lagi dengan Surat Keputusan Menteri Agama 10 April 1979, yang melarang upacara Timeri atau pijak api, salah satu bagian dari Aadhi Tiruvisha. Dan sejak itu pula, kegiatan menyiksa tubuh itu hilang sama sekali.

Bagi kalangan FKUH, yang percaya bahwa ritual itu sebagai bagian dari ajaran Hindu, pelarangan itu dianggap sebagai pengekangan. Apalagi di masa Orde Baru pemerintah hanya mengakui PHDI. Makanya, begitu era reformasi bergulir, FKUH kembali didirikan, termasuk penyelenggaraan ritual Timeri itu.

“PHDI arogan dengan memaksakan kehendak lewat intimidasi segala macam. Padahal Menag Malik Fadjar sendiri sudah mengatakan bahwa agama sudah harus dikembalikan kepada pemeluknya,” tutur Thina berapologi.

Namun pihak PHDI tetap merasa benar dengan pelarangan itu. Menurut Ketua PHDI Sumut Shri Ramlu, ajaran Hindu mengajarkan bahwa pelaksanaan upacara keagamaan harus berdasarkan nilai-nilai etika-moral. Yang paling pokok dalam Hindu adalah kebenaran (satya), kebajikan (dharma), kasih sayang (prema), kedamaian (shanti), dan hidup tanpa kekerasan (ahimsa).

Oleh karena itu, praktek Timeri jelas bertentangan dengan nilai etika-moral Hindu. “Jika tetap dipaksakan, Timeri justru akan menodai upacara Mahapuja,” katanya.

Meski begitu, pihak PHDI sebenarnya membolehkan Timeri dilaksanakan seperti halnya debus, barongsai, asal diselenggarakan di tempat terbuka, bukan di kuil dan ada izin dari PHDI selaku majelis tertinggi agama Hindu. “Kalau demikian, mereka kita perbolehkan, asal praktek itu tidak dikait-kaitkan dengan upacara keagamaan Hindu seperti yang selama ini mereka lakukan,” tegas Naransami. NASRULLAH ALIEF, ABDI PURMONO (DELI SERDANG)


Share this :

Previous
Next Post »