Melawat Sayap Garuda Bekerja di Lanud Abdulrachman Saleh

Senin, Januari 02, 2017
Gerbang utama Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh pada Kamis, 30 Mei 2012. (Foto-foto: ABDI PURMONO)

SAYA merasa sangat beruntung bisa mengikuti press tour dan outbound yang diselenggarakan Dinas Penerangan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara di Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh alias selama tiga hari, mulai 30 Mei sampai 1 Juni 2012.

Kegiatan itu bertujuan mempererat silaturahim antara Angkatan Udara dan jurnalis supaya diperoleh suatu kesamaan membangun bangsa dari sisi masing-masing pihak.

Begitu sambutan Kepala Dinas Penerangan Markas Besar TNI Angkatan Udara Marsekal Pertama TNI Azman Yunus yang saya catat di awal pembukaan acara.

Marsekal Pertama TNI Azman Yunus.
Kegiatan bernama Media Dirgantara itu diikuti 31 jurnalis; 30 orang dari Jakarta dan hanya saya yang berasal dari Malang. Alhamdulillah, pada upacara penutupan, saya diumumkan sebagai peserta paling bersemangat. Saya diganjar sertifikat yang ditandatangani dan diserahkan langsung oleh Azman Yunus.

Namun, mendapat akses eksklusif untuk melihat dari dekat kesibukan prajurit di Pangkalan Abdulrachman Saleh menjadi pengalaman pertama nan langka yang berbuah perasaan senang melebihi kesenangan saat mendapat sertifkat.

Meski mungkin jumlah kunjungan saya ke Lanud Abdulrachman Saleh lebih banyak dari 30 peserta lainnya, saya tiada bosan. Saya justru merasa puas bisa cukup leluasa mengamati dan menikmati suasana di Pangkalan yang bermarkas di Desa Saptorenggo, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Jawa Timur, itu dalam waktu cukup lama.

Sebagaimana halnya kawasan militer strategis lainnya, Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh terkesan sangar dan misterius karena dijaga sangat ketat terutama oleh polisi militer dan Batalyon Komando 464/Nanggala Pasukan Pasukan Khas (Paskhas). Banyak area terlarang bagi warga sipil dan anggota Pangkalan sendiri, yang hanya boleh diakses dengan izin khusus.

Pihak Pangkalan menjatah waktu antara 30 sampai 45 menit di tiap tempat yang dikunjungi, bahkan ada yang hanya 15 menit. Tentu saja tidak semua informasi diberikan petugas, apalagi kalau tidak ditanyakan. Namun tetap saja ada informasi yang diterima peserta dari petugas maupun anggota Pangkalan yang ogah menyebutkan identitasnya.

Informasi tentang jumlah personel dan alat utama sistem persenjataan atau alutsista yang dimiliki Pangkalan, misalnya, menjadi informasi terlarang untuk dipublikasikan lantaran menyangkut kerahasiaan kekuatan militer dan keamanan pertahanan negara.

Apa boleh buat, saya dan kawan-kawan peserta hanya bisa bersikap memaklumi dan manggut-manggut saja.

Namanya juga kegiatan outbound, seluruh peserta merasakan pengalaman mengikuti latihan fisik dan mental dalam asuhan sejumlah perwira dan prajurit Paskhas, seperti blusukan tengah malam di sungai dan kompleks kuburan yang gelap di kampung sekitar Pangkalan, serta menuruni papan panjang dari ketinggian dengan tali atau rappelling.

Latihan menembak dengan SMG Vz. 61 Skorpion, 31 Mei 2012.
Ada juga latihan menembak dengan menggunakan pistol mitraliur SMG Vz. 61 Skorpion buatan Republik Ceko yang dipakai Detasemen Bravo 90, detasemen elite antiteror Paskhas. SMG itu akronima dari submachine gun alias senjata submesin.

Semua kegiatan outbound diadakan di tempat terbuka. Nah, kegiatan utama sebenarnya adalah mengunjungi satuan-satuan di Pangkalan, yakni Skuadron Udara 4, Skuadron Udara 21, Skuadron Udara 32, dan Skuadron Teknik 022. 

SEMULA Skuadron Udara 21 merupakan kandang pesawat tempur ringan OV-10 Bronco. Pesawat yang digunakan sejak 1976 ini kemudian dipensiunkan pada Oktober 2010 gara-gara dua kecelakaan yang menewaskan tiga prajurit dalam tempo dua tahun. Itu belum termasuk jatuhnya Bronco di era 1990-an.

Kecelakaan pertama terjadi pada Jumat, 22 Juli 2005. Pesawat tempur taktis OV-10 Bronco TT-1011 jatuh di Gunung Limas, Desa Gadingkembar, Kecamatan Jabung, Kabupaten Malang. Kecelakaan ini menewaskan Mayor (Penerbang) Robby Ibnu Robert dan Letnan Dua (Penerbang) Harchus Aditya Wing Wibawa. 

Persis berselang dua tahun, OV-10 Bronco TT-1014 jatuh di ladang tebu Dusun Bunut, Desa Bunut Wetan, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, Senin, 23 Juli 2007. Lokasi kejadian berjarak 1,5 kilometer dari ujung landasan pacu Pangkalan. Letnan Dua (Penerbang) Eliseus Quinta Rumiarsa tewas. Sedangkan Mayor (Penerbang) Danang Setyabudi, sang instruktur, berhasil menyelamatkan diri dengan kursi pelontar. 

Baca: Daftar Kecelakaan Enam Pesawat Milik Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh dan Selusin Anggota Pangkalan Udara Abdulrachman Saleh Gugur dalam Kecelakaan Hercules.

Super Tucano tiba di Malang, 2 September 2012.
Sebagai gantinya, kini Skuadron 21 dihuni delapan pesawat sejenis buatan pabrikan Empresa Braziliera de Aeronautica (Embraer), Brazil, yakni Super Tucano. Ada 16 pesawat yang dipesan pemerintah kita. Empat pesawat pertama tiba di Pangkalan Abdulrachman Saleh pada Minggu siang, 2 September 2012. Empat pesawat lagi mendarat di Pangkalan pada 26 September 2014.

Skuadron Udara 4 mengoperasikan CASA C-212 seri 200 buatan tahun 1971. Satu pesawat bernomor register A-2106 jatuh di Gunung Salak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, pada Kamis, 26 Juni 2008. Pesawat jatuh saat melakukan misi ujicoba kamera baru dari Dinas Survey dan Pemotretan Udara TNI Angkatan Udara. Sebanyak lima anggota Pangkalan dan 13 penumpang tewas.

Skuadron itu bertugas menyiapkan dan mengoperasikan pesawat angkut ringan untuk operasi dukungan udara, operasi search and rescue terbatas, mendukung sekolah navigator dan kursus pengenalan terbang pesawat angkut.

Dalam prakteknya, Skuadron Udara 4 lebih banyak melakukan pemotretan udara dan mapping untuk kepentingan operasi militer dan pembangunan nasional secara real time. Dalam kondisi darurat, CASA bisa difungsikan sebagai pesawat angkut pasukan, termasuk mengangkut bahan bantuan di daerah bencana.

Karena tugas dan fungsinya, awak Skuadron Udara 4 mendapat julukan “Walet”. Setiap pilot Skuadron Udara 4 harus menjalani pendidikan selama empat bulan di Sekolah Penerbang Pangkalan TNI Angkata Udara Adisucipto, Yogyakarta.

Nah, pengalaman paling berkesan saya peroleh di Skuadron Udara 32. Skuadron ini merupakan rumah bagi semua pesawat angkut militer legendaris: Hercules. “Herky” adalah call sign bagi pesawat berbodi montok buatan Lockheed Martin, Amerika Serikat, itu.

Seorang petugas menceritakan secara ringkas sejarah Skuadron Udara 32. Bermoto Swadhyayajnana Anuraga Bhakti Nagara alias “Berlatih Diri dan Siap Berbakti kepada Negara dan Bangsa”, skuadron ini semula berindukan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma di Jakarta Timur.

Dalam sejarah kedirgantaraan nasional, Indonesia pernah menjadi operator terbanyak Hercules C-130—dengan beberapa varian—di belahan selatan dunia sejak akhir 1950-an sampai era 1970-an. Kekuatan pertahanan udara Indonesia masa itu sangat disegani negara lain di Asia dan bahkan menjadi yang terkuat di kawasan Asia Tenggara.

Saking banyaknya jumlah pesawat, pemerintah mendirikan Skuadron Udara 31 angkut berat, disusul pendirian Skuadron Udara 32 pada 29 Desember 1965. Kedua skuadron berpangkalan di Halim Perdanakusuma. 

Yang menarik, Hercules C-130B di Skuadron 31 malah berdampingan dengan beberapa pesawat angkut militer terkenal Antonov An-12 yang didatangkan dari Uni Soviet untuk menyukseskan Operasi Dwikora, Mei 1964. Padahal, era itu Amerika Serikat dan Uni Soviet masih terlibat Perang Dingin”. Uni Soviet kemudian membubarkan diri pada 26 Desember 1991.

Skuadron 32 kemudian dipindah ke Pangkalan Udara Utama 32 Abdulrachman Saleh di Malang pada 1976. Skuadron 32 sempat dinonaktifkan hampir selama lima tahun sampai kemudian diaktifkan lagi pada 11 Juli 1981. Pesawat Antonov An-12 sudah tiada, tinggal Hercules C-130B yang berkuasa.

Pemerintah lalu membagi kekuatan udara di antara kedua skuadron. Skuadron Udara 31 di Halim Perdanakusuma mendapat enam C-130H, dengan nomor registrasi Alpha (A)-1317, A-1318, A-1319, A-1320, A-1324, dan A-1323.

Skuadron Udara 32 mendapat dua Hercules C-130B (A-1301 dan A-1313), dua Hercules C-130H (A-1315 dan A-1316), dan dua Hercules C-130KC (tanker udara) dengan nomor registrasi A-1309 dan A-1310.

Perawatan Hercules, Kamis, 30 Mei 2012.
Ceritanya sampai di situ. Belakangan, saat mengunjungi perpustakaan yang berada di Kantor Penerangan dan Perpustakaan (Pentak) Pangkalan Abdulrachman Saleh, kami disodori buku sejarah Hercules yang berjudul Hercules, Sang Penjelajah: Skuadron Udara 31 yang dibuat Markas Besar TNI Angkatan Udara.

Usai penjelasan, kami dibebaskan memotret kurang dari 20 menit. Kami lihat sejumlah prajurit sedang memeriksa, merawat, dan memperbaiki Hercules A-1316 warna putih keperakan dan satu Hercules warna hijau loreng yang lupa saya catat nomor registrasinya. Mereka telaten memeriksa sayap dan baling-baling, kabin, dan kokpit.

Menurut Letnan Satu (Teknik) Harjo Saputro, semua kegiatan itu disebut trouble shooting propeller alias pemecahan masalah baling-baling. “Kerusakan pada Herky biasanya diketahui dari indikator di kokpitnya,” kata Harjo. 

Pemeriksaan kokpit Hercules, Kamis, 30 Mei 2012.
Sejatinya, kata Harjo, semua Hercules mempunyai jadwal rutin untuk diperiksa per 50 jam terbang. Pemeriksaan juga dilakukan sebelum dan sesudah Hercules mengudara tanpa menunggu jadwal rutin per 50 jam. Untuk merawat dan memperbaiki kerusakan Hercules melibatkan sekitar 172 teknisi.

Rincian pekerjaan dicatat ke dalam logbook atau buku kerja. Di tiap pesawat terdapat logbook. Isinya, antara lain, jam pemakaian masing-masing onderdil pesawat. Dari pencatatan ini bisa diketahui ada-tidaknya kerusakan onderdil. Setiap ada kerusakan pada komponen langsung diperbaiki dan kalau ada onderdil yang harus diganti, maka segera diganti.

Sejujurnya saya agak heran saat menyaksikan kondisi hanggar Hercules yang menurut saya sangat bersahaja. Personel Pangkalan bekerja dengan peralatan yang sederhana pula. Tapi, yang jelas, mereka amat kompak dan tekun bekerja.

Dari Skuadron 32 kami dibawa ke Skuadron Teknik 022 yang dikomandani Letnan Kolonel Rudolf Buulo.
Letnan Kolonel (Teknik) Rudolf Buulo.
Rudolf menjelaskan, Skuadron Teknik 022 mempunyai tugas pokok melaksanakan pemeliharaan tingkat berat pesawat terbang bersayap tetap (fix wing), turbin motor (motor turbine), pemeliharaan komponen dan alat uji, serta produksi material. 

Berdiri pada 31 Juli 1960, Skuadron 022 semula hanya mumpuni menangani pesawat-pesawat butut hasil rampasan dari Jepang, seperti Cureng, Nishikoren, dan Hayabusha. Pesawat-pesawat ini jadi modal awal pendirian TNI Angkatan Udara.

Sesuai hasil Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda, 23 Agustus-2 November 1949, TNI AU menerima sejumlah aset Angkatan Udara Kerajaan Belanda yang mencakup pesawat, hanggar, depo pemeliharaan, serta depot logistik lainnya. Beberapa jenis pesawat Belanda yang diterima antara lain C-47 Dakota, B-25 Mitchell, P-51 Mustang, AT-6 Harvard, PBY-5 Catalina, dan Lockheed L-12.

Pada 1950 Angkatan Udara mengirim 60 calon penerbang ke California, Amerika Serikat, untuk mengikuti pendidikan terbang pada Trans Ocean Airlines Oakland Airport (TALOA). Saat itu TNI AU mendapat pesawat tempur dari Uni Soviet dan Eropa Timur, berupa MiG-17, MiG-19, MiG-21, pembom ringan Tupolev Tu-2, dan pemburu Lavochkin La-11.

Pembaruan armada dilakukan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) pada awal 1980-an dengan mendatangkan pesawat OV-10 Bronco, A-4 Sky Hawk, F-5 Tiger, F-16 Fighting Falcon, dan Hawk 100/200.

Kepesatan perkembangan jagat kedirgantaraan dan beragamnya alutsista yang dimiliki AURI, berpengaruh pada pemeliharaan pesawat yang dilakukan Skuadron Teknik 022.

Pengalaman panjang itu menempah kemampuan para teknisi Skuadron Teknik 022 sampai kemudian mereka mampu melaksanakan pemeliharaan tingkat sedang pesawat yang di masanya berteknologi lebih mutakhir dari pesawat-pesawat warisan Belanda, seperti Hercules C-130B dari Skuadron Udara 33 Pangkalan Udara Sultan Hasanuddin, Makassar, dan CASA C–212 Aviocar dari Skuadron Udara 4, dan pesawat tempur Hawk-100/200.

Rudolf Buulo mengatakan, untuk pesawat Hercules dilaksanakan pemeliharaan menyeluruh setiap tiga tahun sekali (three years inspection) per pesawat. Pekerjaannya mencakup inspeksi rangka, pipa-pipa bleed air, landing gear, engine tipe T56-7/15 Roll-Royce, sistem kelistrikan dan navigasi, serta sistem lainnya. Kalau pemeriksaan ringan yang rutin per 50 jam terbang.
Pesawat CASA-212 Seri 200 Skuadron Udara 4, 30 Mei 2012.
Sedangkan pada pesawat CASA C-212 dilaksanakan time change time atau TCT, yaitu penggantian komponen yang memiliki usia seperti FCU (fuel control unit) atau fuel pump, PI (periodic inspection) setiap kelipatan 200 jam terbang yang juga meliputi inspeksi rangka, power plant tipe–331-10R-512C buatan Honeywell, landing gear, sistem avionik dan sistem lainnya.

Hercules, CASA, dan Hawk masih dipakai hingga sekarang meski berusia uzur. “Harus kami akui sebagian besar pesawat kita berusia tua, tapi soal pemeliharaan dan perawatannya masih maksimal dan boleh disamakan dengan pemeliharaan pesawat di luar negeri,” kata Rudolf pada Jumat, 1 Juni 2012.

Kata dia, pemeliharaan pesawat selalu diperbarui dengan terus mengikuti informasi terkini dunia kedirgantaraan internasional yang kemudian diserap melalui penelitian dan pengembangan.

Intinya, Rudolf menekankan, Skuadron Teknik 022 sudah memiliki kemampuan melakukan pemeliharaan menurut standar internasional. Kemampuan ini didukung para teknisi berpengalaman, fasilitas pemeliharaan dan perawatan yang memadai.

Masalahnya, kata Rudolf, kemampuan Pangkalan terkendala oleh ketiadaan stok suku cadang atau onderdil pesawat-pesawat tua itu. “Idealnya,” ujar Rudolf, “kami harus memiliki stock level di gudang, namun hingga saat ini belum ada sehingga suku cadang yang kita pesan di awal tahun saja yang tersedia. Untuk ke depannya masih terus dipikirkan.”

Rudolf dan koleganya sangat mengharapkan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta untuk membantu TNI Angkatan Udara mengatasi kesulitan mendapatkan suku cadang, dengan cara menyediakan anggaran belanja yang cukup.

AZMAN Yunus membawa kami ke Depo Pemeliharaan 30 atau Depohar 30. Kedatangan kami disambut oleh Komandan Depohar 30 Kolonel (Teknik) Dento Priyono di ruang serbaguna.

Depohar 30 ibarat sebuah bengkel induk dengan tiga anak. Tanpa Depohar 30, perawatan dan perbaikan di empat skuadron mustahil berlangsung lancar.

Dento menjelaskan, Depohar 30 bertugas melaksanakan pemeliharaan tingkat berat pesawat terbang bersayap tetap, turbin motor, pemeliharaan komponen dan alat uji, serta produksi material. Tugas-tugas ini terbagi ke Satuan Pemeliharaan atau Sathar 31, Sathar 32, dan Sathar 33.

Sathar 31 bertugas melaksanakan pemeliharaan tingkat berat motor turbin yang terdiri dari overhaul dan hot section inspection untuk mesin T-56 Series (Hercules C-130B), TPE-331 (CASA C-212), T-76 (OV-10 Bronco), dan CT7-9 (CN-235). Pelaksanaan tugas pokok Sathar 31 melibatkan 99 teknisi.

Sathar 32 khusus bertugas melaksanakan pemeliharaan tingkat berat pesawat terbang bersayap tetap. Pemeliharaan ini mencakup pemeliharaan tingkat berat Sukhoi Su-27/30, pemeriksaan berkala atau periodic inspection 1.800/3.600 jam terbang CASA C-212, dan servis besar atau major servicing 2.000 jam terbang per 10 tahun kalender Hawk MK-109/209.

Pelaksanaan tugas pokok Sathar 32 melibatkan 105 mekanik, termasuk 16 perwira teknik sebagai pengawas jalannya pemeriksaan. Mereka memiliki bidang spesialisasi beragam, seperti air frame system, environmental system, perbaikan struktur atau structure repair, sistem hidrolik atau hydraulic system, mesin dan sistem bahan bakar (engine and fuel system), sistem kelistrikan dan instrumen, sistem avionik atau avionic system, sistem persenjataan atau armament system, serta ground support equipment atau GSE.

Pemeriksaan Hawk-200 TT-0221, Kamis, 30 Mei 2012.
Saat kami mengunjungi Sathar 32, puluhan teknisi sedang memeriksa dan memperbaiki pesawat tempur Hawk-200 bernomor register TT-0221 dan TT-0209. Corak dan warna kedua pesawat berbeda. 

Menurut Kepala Seksi Pemeliharaan Sathar 32 Mayor (Teknik) M. Hadis H, corak dan warna yang berbeda di tiap pesawat merupakan taktik penyamaran pesawat di udara. Misalnya, kelir putih-kelabu disesuaikan dengan langit Malang yang cenderung putih keabu-abuan.

Tiap pesawat membutuhkan waktu 3-4 bulan pemeriksaan total. Jika ada dua pesawat sekaligus, maka pemeriksaan dilakukan paralel. Pemeriksaan rutin dilakukan tiap 2.000 jam atau 10 tahun kalender, mana yang lebih dulu dicapai.

Kami bergeser ke Sathar 33 dengan agak tergesa-gesa, mengikuti kesigapan dan kecepatan langkah tentara yang memandu kami.

Sebagai satuan pelaksana Depohar 30, Sathar 33 bertugas pokok melaksanakan pemeliharan tingkat berat komponen pesawat terbang dan alat uji, serta pabrikasi. Sathar 33 memiliki beberapa perbengkelan, antara lain, bengkel pneudraulic, bengkel mesin, bengkel rangka, bengkel pabrikasi, bengkel listrik, dan bengkel QEC (quick engine change).

Kami bergerak cepat dari bengkel ke bengkel. Beberapa kawan terlihat mulai ngos-ngosan, tapi untungnya masih bersemangat. Durasi kunjungan di tiap bengkel hanya 15 menit dan tidak semua bengkel dikunjungi dan tak seluruh kegiatan boleh dipotret dan direkam dengan kamera televisi.

Bengkel pneudraulic berkemampuan melaksanakan perbaikan roda (wheel) pesawat maupun pergantian ban pesawat (change tyre wheel), kemampuan memelihara komponen pneumatic dan hidrolik, serta perakitan selang (hose assembly).

Kami melihat prajurit teknik yang sedang memeriksa ban-ban dan velg pesawat. Tak ada ban dan velg yang baru. Seorang prajurit sempat mengatakan ban pesawat biasa disemir layaknya ban mobil agar terlihat baru.

Di bengkel mesin kami ditunjukkan beberapa alat produksi komponen dari mesin bubut sampai dengan komputer kontrol numerik atawa computer numerical control. Mesin produksi, misalnya, “mendaur ulang” beberapa komponen maupun sepenuhnya memproduksi komponen baru.

Di bengkel rangka kami diperkenalkan dengan kemampuan Sathar 33 memperbaiki rangka pesawat terbang. Pekerjaan bengkel rangka berhubungan erat dengan bengkel pabrikasi. Bengkel pabrikasi mempunyai unit pengecatan (pesawat, QEC, dan GSE), unit kayu, dan fiberglass. Semua unit ini mendukung dalam perawatan pesawat.

Saat melihat pekerjaan di bengkel rangka dan bengkel pabrikasi tadi, saya dan beberapa teman merasa sedang berada di dalam sebuah bengkel karoseri.

Mengecek sistem kelistrikan di bengkel listrik Sathar 33.
Dari sana kami diarahkan ke bengkel listrik. Bengkel ini berkemampuan memelihara dan memperbaiki pelbagai komponen pesawat yang menggunakan tenaga listrik. Bengkel listrik dilengkapi beragam test bench hasil swakarya yang kualitasnya telah mendapat pengesahan dari instansi terkait.

Bengkel terakhir yang kami kunjungi adalah bengkel QEC. Bengkel ini berkemampuan melakukan overhaul atau bay service, dan servis QEC pesawat Hercules C-130B.

Sampai di sini, bisakah Anda bayangkan di mana dan bagaimana pesawat-pesawat tua milik Pangkalan Udara Abdulrachman dipelihara dan dirawat agar tetap tampak “segar dan gagah” alias awet muda?

Mengutip pernyataan Letnan Kolonel Rudolf Buulo, kompetensi para teknisi Pangkalan Abdulrachman Saleh sudah teruji dan mumpuni. Mereka cepat menyerap dan menguasai teknologi terbaru. Hanya saja, peralatan dan onderdil yang dibutuhkan tidak sepenuhnya tersedia gara-gara ketiadaan anggaran pengadaan yang cukup.

Padahal, bila diamati di empat skuadron dan Sathar, banyak prajurit di empat skuadron dan Depohar 30 yang bekerja di dalam ruangan yang agak murung dan dengan peralatan kerja yang terkesan sederhana. Bangunan-bangunan tempat mereka bekerja sudah tua dan, jujur saja, memprihatinkan. Ada bangunan dengan atap seng dan dinding yang sudah berkarat dan kusam.

Namun, justru dari bilik-bilik bangunan tua yang kami kunjungi itulah saya dan peserta Media Dirgantara lainnya menjadi tahu keandalan para teknisi Pangkalan. Coba deh camkan pernyataan Rudolf di bawah ini.

“Kami akui kami punya banyak keterbatasan, tapi jangan pernah meragukan kemampuan dan keterampilan prajurit-prajurit di sini. Mereka punya semangat membara dan dedikasi yang tinggi,” kata Rudolf.

Rudolf seperti hendak menegaskan bahwa apa pun kondisinya, para prajurit AURI adalah “Sayap Tanah Air Indonesia” (Swa Bhuwana Paksa) yang setia mengamalkan moto Prayatna Kerta Gegana untuk selalu siaga dan waspada melindungi dan mengamankan udara dirgantara Indonesia.

Siap, Komandan! ABDI PURMONO

Berfoto bersama setelah latihan menembak.

Beberapa foto terkait karya saya:

1. Perawatan Kapal Hercules Setiap 50 Jam Penerbangan, Sabtu, 2 Juni 2012, pukul 08:01 WIB. Ada 6 foto yang dipakai.

https://foto.tempo.co/read/beritafoto/2330/Perawatan-Kapal-Hercules-Setiap-50Jam-Penerbangan/1


2. Indonesia Kembali Datangkan 4 Pesawat Super Tucano,Sabtu, 27 September 2014. Enam foto yang dipakai.

https://foto.tempo.co/read/beritafoto/21447/Indonesia-Kembali-Datangkan-4-Pesawat-Super-Tucano/1


Share this :

Previous
Next Post »
2 Komentar
avatar

Mas Abel tulisannya panjang bangeet. Hihii
Seru juga bisa lihat secra adekat ya mas. Tapi aku emang rodo nggak paham soal itu. Mmh nggak seru karena nggak ada foto mas Abel sendirian. Hihii

Balas
avatar

@Rach Alida Bahaweres: iya, aku pun baru nyadar tulisannya kepanjangan. :) Ya, nulis kepanjangan gitu pas otakku lagi waras, jari2ku lagi kerajinan mencet2 kibod laptop, dan mataku pas segar2nya macam mata ikan bandeng. hahaha

Sori, aku mmg gak suka difoto dan apalagi foto selfie. Gak pede... :)

Balas