Horas, Dua Seteru Berdamai

Minggu, Desember 25, 2016

Majalah PANJI MASYARAKAT Nomor 33 Tahun IV, 6 Desember 2000

Menjadi salah satu Sinode Agung paling bersejarah sejak HKBP didirikan pada 1861. (Foto-foto: ABDI PURMONO)

Sinode Agung HKBP ke-56 menyepakati rekonsiliasi di antara dua kelompok yang bertikai. Para pimpinan jemaat malah bersikap arogan dan sarat privilese. Mengapa?

SIDANG Pleno Sinode Agung Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di auditorium HKBP di Desa Simanungkalit, Kecamatan Sipoholon, Kabupaten Tapanuli Utara, tampaknya bakal dikenang sebagai hari bersejarah. Maklumlah, perhelatan kali ini terhitung paling besar sejak Sinode ini berdiri di Sipirok, 7 Oktober 1861.

Sedikitnya, 1.359 Sinodestan dari 440 resor, plus 22 anggota Majelis Pusat dan 18 praeses menghadiri rapat pleno itu. Menariknya, para peserta ini datang dari dua kelompok yang bertikai. Selain itu, baru sekarang pula kegiatan ini menghadirkan tokoh-tokoh agama Islam dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, yaitu Andi Jamaro, pakar sosiologi Universitas Airlangga Hotman M. Siahaan, Menteri Perindustrian dan Perdagangan Luhut B. Pandjaitan, dan Menteri Pertanian Bungaran Saragih.

Menurut Jubil Raplan Hutauruk, ada dua hal penting yang patut dicatat dalam Sinode kali ini. Selain menunjukkan bahwa HKBP sebagai gereja yang terbuka, inklusif dan dialogis yang bersumber dari firman Allah, tak kalah pentingnya adalah sebagai tempat untuk menyempurnakan proses rekonsiliasi yang tengah berlangsung di tubuh HKBP. Maklumlah, berdasar Sinode Agung dua tahun lalu, rekomendasi rekonsiliasi dilakukan di tingkat jemaat, resor, distrik, dan lembaga, termasuk rekonsiliasi antarjemaat.

“Selain itu, Sinode ini pun dimaksudkan untuk mengevaluasi seluruh kinerja HKBP pascakrisis 1992-1998, sekaligus menetapkan kebijakan dan merancang program umum HKBP dua tahun ke depan,” kata eforus HKBP ini kepada Panji.

Sejauh ini, cukup banyak hambatan yang mendera HKBP untuk mengembangkan diri. Hal ini terutama menyangkut persoalan ikatan tradisi, visi dan misi, kedisiplinan, dan perilaku berorganisasi. Salah satu yang menonjol adalah keengganan untuk menerima apalagi memulai sesuatu yang baru. Ketika Garis-garis Kebijaksanaan Pembinaan dan Pengembangan (GBKPP) masih dalam proses penyusunan, misalnya, ada sebagian pendeta yang melontarkan isu bahwa pimpinan HKBP hendak mengubah nama HKBP, dan GBKPP sengaja disusun untuk menghilangkan hamomion (misteri) gereja sehingga pengelolaannya dilakukan dengan manajemen terbuka.

Isu ini memang disengaja dikembangkan. Itu terjadi karena sebelum GBKPP disahkan pada Sinode Agung ke-49 (1988), selama berpuluh tahun pendeta HKBP berada dalam posisi yang sentralistik dan sarat privilese dalam kehidupan berjemaat. Apalagi, hubungan antara pendeta dan pimpinannya pun mirip hubungan antara camat dan bupati, sehingga memunculkan hubungan formalitas yang mengaburkan objektivitas.

Kekurangan lainnya bertumpu pada persoalan intern organisasi. Program yang dicanangkan HKBP lewat Sinode Agung 1988 sudah mensahkan GBKPP, tapi dalam prakteknya banyak yang tidak menggubrisnya. Sementara hambatan eksternal yang dialami HKBP menyangkut kebebasan beragama, politik perizinan, dan intervensi kekuatan konglomerat (kasus PT Inti Indorayon Utama), dan pembungkaman pers sehingga pers tak mampu bicara lebih jujur mengenai HKBP.

Ironisnya, Sinode yang dilangsungkan 21-24 November ini terusik ketika ratusan mahasiswa Sekolah Tinggi Teologi (STT) HKBP Pematang Siantar di bawah pimpinan Marolop Sitinjak melakukan demontrasi. Walaupun sempat terjadi ketegangan, tapi tidak sampai pada perbuatan anarkis.

Dalam pertemuan dengan Sekretaris Jenderal HKBP Willem Tumpal Pandapotan Simarmata, para mahasiswa menyampaikan delapan aspirasi kepada pucuk pimpinan HKBP dan Sinodestan. Di antaranya menuntut agar pelayanan gereja HKBP paa milenium ketiga difokuskan kepada pembenahan struktural dan fungsional; eksodusnya muda-mudi HKBP ke Gereja Kristen Protestan Indonesia (GKPI) dan Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) supaya ditanggapi secara serius oleh pemimpin HKBP.

Namun, persoalan itu akhirnya bisa diselesaikan oleh pihak HKBP. Mereka berjanji akan menuntaskan masalah ini dalam waktu dekat. Sementara dari sidang Sinode sendiri, ada tiga hal pokok yang mengemuka.

Pertama, HKBP harus lebih proaktif dalam menjalin kerangka dalam menjalin kerja sama dengan agama-agama lain, terutama dengan Islam dalam kerangka hubungan yang inklusif, terbuka, dan dialogis. Kedua, pendeta harus mampu menjadi penafsir sosial (yang aktual) dan tidak lagi melulu mengandalkan tafsir teologis alias dogmatis. Pendeta tak cukup bergelut dalam ritus-ritus ibadah belaka. Ketiga, konstitusi HKBP mestinya makin memberikan peluang bagi jemaat untuk berpartisipasi aktif dan konstruktif, dalam pola kemitraan yang bottom up dan bukan top down

“Inilah paradigma baru HKBP ke depan,” kata Willem Tumpal Pandapotan Simarmata. ■ ABDI PURMONO (MEDAN)




Share this :

Previous
Next Post »