TKW Indonesia Suarakan Tuntutan Buruh Migran Dunia di PBB

Sabtu, September 17, 2016
Sejumlah BMI saat mengikuti kegiatan di Kota Batu, Jawa Timur, 30 Agustus 2016.
Foto: ABDI PURMONO

DUA hari lagi Eni Lestari Andayani Adi menjadi tenaga kerja wanita Indonesia pertama yang berpidato dalam sesi pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Migran dan Pengungsi (High Level Summit on Migrant’s and Refugees) ke-71 di New York, Amerika Serikat.

Eni Lestari berasal Desa Minggiran, Kecamatan Papar, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, yang hampir 17 tahun bekerja di Hong Kong. Dia aktif di banyak organisasi buruh migran, antara lain Jaringan Buruh Migran Indonesia (JBMI) Hong Kong dan kini mengetuai International Migrant's Alliance atau IMA. IMA merupakan aliansi formal buruh migran yang lahir di Hong Kong pada 2008 yang kini beranggotakan 120 organisasi buruh migran dari 32 negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.

“Saya diberi waktu 3 menit untuk berpidato dalam sesi opening KTT PBB, bergantian dengan dua aktivis HAM dari Irak dan Suriah. Kami akan berpidato dalam perspektif perbudakan dan perdagangan manusia (human trafficking), serta pengungsi,” kata Eni Lestari kepada saya, Sabtu, 17 September 2016.

Nantinya Eni tampil bergantian dengan aktivis dari Irak (Nadia Murad Basee Taha alias Nadia Taha) dan Suriah (Mohammed Badran), yang masing-masing bekerja di Jerman dan Belanda. Nadia mewakili Yazda, organisasi global etnis Yazidi yang berbasis di Amerika Serikat. Sedangkan Badran mewakili Syirian Volunteers in the Netherland atau SYVNL. Nadia dan Badran juga mendapat waktu tiga menit untuk berpidato.

Pidato mereka akan disaksikan 1.900 hadirin, yang terdiri dari para pemimpin PBB, kepala negara, menteri, masyarakat sipil, sektor swasta, organisasi internasional, dan akademisi. (Baca: Inilah TKW Indonesia Pertama yang Tampil di Forum PBB).

Eni akan menyuarakan tiga isu, yaitu menuntut semua negara mengutamakan hak dan kesejahteraan buruh migran, negara penerima buruh migran diminta tidak menempatkan mereka sebagai masyarakat kelas dua, serta negara pengirim jangan membiarkan praktek ekploitasi dan perdagangan manusia (human trafficking) terhadap buruh migran.

Menurut Eni, selama ini buruh migran mengalami diskriminasi dan terisolasi. Diskriminasi membuat buruh migran—bukan hanya buruh migran Indonesia—sering mengalami kekerasan fisik dan bahkan sampai dibunuh. Banyak buruh migran yang hidupnya terkungkung oleh beban kerja yang sangat berat dan cenderung tidak manusiawi sehingga mereka sangat kesulitan mendapat kesempatan untuk berkumpul bersama teman-temannya.

Ketidakberdayaan buruh migran merupakan akumulasi dari praktek jahat perdagangan manusia yang dilakukan perusahaan pengirim dan agennya. Parahnya, para buruh migran yang tak berdaya justru dimanfaatkan sindikat narkoba. Sindikat ini menawarkan sejumlah uang agar sang buruh migran bisa melunasi tumpukan utang, misalnya. Sebagai imbalan, si buruh migran dirayu dan bahkan dipaksa melakukan pekerjaan yang sebenarnya tidak mereka ketahui. Mereka dijebak.

Eni Lestari dan kawan-kawan sudah mencoba menguak kebusukan perusahaan pengirim dan agen, serta sindikat narkoba, dengan terus mengadvokasi kasus Mary Jane Veloso, terpidana mati asal Filipina, dan Merry Utami, terpidana mati asal Indonesia. Mereka buruh migran yang diduga kuat menjadi korban dalam kasus perdagangan narkotika antarnegara.

Penjelasan Eni diperkuat Karsiwen dan Kurniawan Sabar, masing-masing sebagai Ketua Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi) merangkap juru bicara JBMI Indonesia di Jakarta, serta Direktur The Institute for National and Democratic Studies (INDIES). 

Perlu diketahui, JBMI adalah jaringan organisasi buruh migran, mantan buruh migran dan keluarganya, yang berada di Hong Kong, Makau, Taiwan dan Indonesia. JBMI bermisi untuk memperjuangkan perlindungan sejati melalui pengorganisasian, pemberdayaan dan perubahan kebijakan di Indonesia, kawasan regional dan internasional. 

JBMI-Indies diterima Dicky Komar, 16 September 2016
Foto: JBMI
Jumat kemarin Karsiwen dan Kurniawan mereka menemui Dicky Komar, Direktur Hak Asasi Manusia dan Kemanusiaan pada Direktorat Jenderal Multilateral Kementerian Luar Negeri. Mereka menyampaikan harapan dan tuntutan buruh migran untuk disuarakan secara tegas oleh Pemerintah Indonesia dalam KTT PBB di kantor pusat PBB di New York, Amerika Serikat, lusa nanti.

“Tuntutan yang kami sampaikan juga untuk memperkuat tuntutan yang nanti disuarakan Eni Lestari,” kata Iwenk, panggilan akrab Karsiwen.

Menurut Karsiwen, JBMI dan Indies mendesak Pemerintah Indonesia untuk tidak menjadikan buruh migran—negara mengistilahkan tenaga kerja Indonesia—sebagai sumber uang melalui skema Roadmap 2017. Buruh migran adalah manusia yang harus dilindungi negara dan bukan komiditas barang dagangan yang menghasilkan remitansi dalam jumlah superjumbo per tahun.

Dalam audiensi dengan Dicky Komar, JBMI dan Indies meminta Pemerintah Indonesia untuk memastikan PBB dan seluruh negara penerima atau negara tujuan buruh migran Indonesia untuk menjamin penerapan sistem kerja dan upah yang adil, regulasi yang kuat dan jelas, menjalankan kontrak standar, serta menjamin keselamatan buruh migran sejak berangkat ke negara penempatan dan pulang ke Tanah Air. Buruh migran pun harus mendapat jaminan kemerdekaan berpendapat dan berserikat.


Jaminan itu harus ada supaya kekerasan berujung kematian yang dialami TKW bernama Yufrinda Selan dan buruh migran lainnya dari Nusa Tenggara Timur tidak terulang. Yufrinda ditemukan tewas tergantung di Malaysia pada 9 Juli lalu. Diduga dia menjadi korban perdagangan orang yang melibatkan 12 anggota sindikat. Identitas diri Yufrinda di paspor dan kartu tanda penduduk disebut berasal dari Kupang. Padahal aslinya dia berasal dari Desa Tupan, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Usia Yufrinda pun dituakan dari aslinya.

Intinya, kata Iwenk, Pemerintah Indonesia harus bersedia mematuhi amanat Konvensi Migran 1990 tentang Perlindungan Hak-Hak Pekerja Migran Beserta Keluarga—disahkan PBB dalam Resolusi Nomor 45/158 Tanggal 18 Desember 1990. Konvensi ini kemudian diberlakukan sebagai hukum internasional pada 1 Juli 2003. Indonesia menandatangani Konvensi Migran 1990 pada 2004 tapi baru meratifikasinya pada 12 April 2012. Sebagai contoh, baru Indonesia dan Filipina negara di kawasan Asia Tenggara yang meratifikasi Konvensi itu.

Karena sudah meratifikasi Konvensi Migran 1990, maka sudah seharusnya Pemerintah Indonesia bersama lembaga legislatif mencabut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (PPTKILN), serta melibatkan organisasi buruh migran dalam revisi Undang-Undang PPTKILN yang sekarang sudah berupa Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri. Buruh migran harus dilibatkan lantaran beleid itu berkaitan langsung dengan nasib dan hajat hidup mereka.

Aspirasi buruh migran yang disampaikan JBMI dan Indies ditanggapi positif oleh Dicky Komar. Sebagaimana dikutip Karsiwen, Dicky menegaskan bahwa persoalan pekerja migran Indonesia menjadi salah satu concern Pemerintah Indonesia yang akan disampaikan dalam KTT PBB nanti. Pemerintah nanti menyerukan kepada seluruh negara pengirim buruh migran untuk meratifikasi Konvensi Migran 1990. ABDI PURMONO

Share this :

Previous
Next Post »