Chairil Anwar Ingin Hidup Seribu Tahun Lagi di Malang

Senin, Agustus 15, 2016
Monumen Chairil Anwar di Kota Malang, Jumat, 12 Agustus 2016.
Foto-foto: ABDI PURMONO

SAYA bertanya, orang-orang menggeleng. Mereka tidak mengenali tokoh yang dipatungkan di Jalan Basuki Rahmad alias Jalan Kayutangan, Kota Malang, persisnya di pojok Gereja Hati Kudus Yesus. Gereja Katolik ini didirikan pada 1905.

Seluruh warga Kota Malang selayaknya berbangga karena di kota seluas 110 kilometer persegi dan berjuluk Paris van Java ini terdapat patung pujangga kondang Chairil Anwar. Sang penyair lahir di Medan, Sumatera Utara, 26 Juli 1922, dan dimakamkan di Jakarta pada 28 April 1949. 

Tapi, patungnya yang didirikan tepat di jantung Kota Malang menjadi salah satu patung tertua Chairil Anwar yang ada di Indonesia. Kawasan tempat keberadaan patung Chairil Anwar ini sekarang jadi kawasan cagar budaya Kayutangan. 

Selain di Malang, sejauh ini ada tiga patung Chairil Anwar lainnya. Satu patung dipasang di Taman Monumen Nasional alias Monas di Jakarta pada 1986. Namun, patung Chairil Anwar digabung dengan tokoh-tokoh Indonesia lainnya dan ditempatkan di dalam gedung. Patung Chairil Anwar ditempatkan tepat di depan patung Pangeran Diponegoro menunggang kuda.

Patung Chairil Anwar juga ada di Sekolah Taman Siswa di Jalan Garuda, Kemayoran, Jakarta, seperti disebutkan di halaman 134-135 majalah Tempo edisi khusus kemerdekaan (15-21 Agustus 2016) yang berjudul Patung-Patung Sang Penyair. Mengutip pemberitaan surat kabar Nieuwe Courant pada 23 Januari 1951, Tempo menyebutkan gambar patung dada itu dirancang oleh pelukis dan pematung Hendra Gunawan yang ketika itu sedang sibuk-sibuknya membuat patung Jenderal Soedirman di Yogyakarta. Selanjutnya, pembuatan patung setengah badan Chairil Anwar dikerjakan oleh pematung Sajono, seperti diberitakan surat kabar Nieuwsgier pada 29 April 1953. 

Belakangan, pada 2013, politikus Fadli Zon mendirikan patung Chairil Anwar di halaman Rumah Budaya milik Fadli yang beralamat di Jalan Raya Padang Panjang-Bukittinggi, Tanah Datar, Sumatera Barat. Fadli memesan pembuatan patung Chairil kepada seniman Bambang Winaryo saat peringatan ulang tahun ke-91 sang penyair. 

Dalam konteks itulah patung Chairil Anwar di Malang menjadi istimewa.

Semasa hidup, sastrawan Ratna Indraswari Ibrahim (wafat 28 Maret 2011) pernah menceritakan betapa Malang dianugerahi sejarah sastra lisan dan sastra tulis yang cukup berlimpah. Paitun Gundul, Macapat, Panji, merupakan tiga contoh sastra lisan yang populer dan masih hidup di tengah masyarakat Malang. Cerita pendek, skenario, dan novel karya Sunaryo Basuki KS, Achmad Hudan Dardiri, Emil Sanossa, dan Ratna sendiri, sudah dikenal di jagat kesusatraan Tanah Air.

Era 1950-an menjadi puncak perkembangan sastra Malang. Tema-tema karya sastra silih berganti seturut perkembangan zaman. Karya sastra Malang sebelum hingga akhir 1950-an lebih berkiblat pada hedonisme Eropa atau nasionalisme Indonesia. Tema-tema kekirian semarak pada 1960-1965. Tema-tema politik mendominasi periode pasca-1965 dan setelah itu perkembangan sastra Malang pelan-pelan mengkerut hingga sekarang.

Kejayaan sastra Malang juga tergambar di dalam buku Kronik Sastra Indonesia di Malang karya Suripan Hadi Hutomo yang diterbitkan pada 1994. Disebutkan dalam buku ini Malang pernah jadi barometer sastra di Indonesia setelah Padang dan Yogyakarta. Malang mempunyai sastra suratkabar, majalah, buku, stensilan, bahkan fotokopian.

Sastra suratkabar disajikan oleh koran berbahasa Belanda, Jawa, dan Melayu. Koran berbahasa Belanda yang berpengaruh masa itu adalah Handels en Advertentieblad, yang terbit sepanjang 1865-1878. Swara Malang merupakan koran mingguan berbahasa Jawa yang terbit pada 1937. Sedangkan Sinar Malang berbahasa Melayu dan terbit tiga kali dalam sepekan. Diketahui terbit pada 1934, tapi belum diketahui kapan tutupnya. Sisa-sisa ketiga koran itu tersimpan di Perpustakaan Nasional, Jakarta.

Sastra majalah sempat tumbuh subur di Malang. Sebagai contoh, ada majalah Sasterawan buatan Ikatan Sasterawan Malang dan terbit pada 1946. Salah satu anggota redaksinya bernama Merayu Suka, yang menulis sejumlah roman semisal Mariati, Putera Mahkota yang Terbuang, dan Menanti Kasih dari Mekkah.

Lalu ada pula Angin Lalu, contoh sastra buku yang digagas Angkatan Seniman Muda Indonesia Malang tahun 1955. Banyak penulis sajak-sajak tersebut terpengaruh oleh Chairil Anwar.

Nah, untuk mengukuhkan diri sebagai salah satu barometer sastra Tanah itulah Achmad Hudan Dardiri—seorang pejuang sekaligus intelektual muda yang saat itu menjadi guru SMA Negeri 1 Malang dan kemudian jadi Wali Kota Pasuruan (1969-1975) dan Bupati Jombang (1978-1983)—menggagas pendirian monumen Chairil Anwar pada 28 April 1955 atau enam tahun setelah kematian sang penyair. Peresmian nomumen dilakukan Wali Kota Malang M. Sardjono Wirjohardjono.

Bagian kaki patung berhias relief sajak Akuyang merupakan sajak ikonik nan legendaris yang dibuat Chairil Anwar pada Maret 1943.

AKU

Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau 

Tak perlu sedu sedan itu 

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang 

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang 

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih perih 

Dan aku akan lebih tak peduli 

Aku mau hidup seribu tahun lagi


Di halaman 63 buku berjudul Malang, Telusuri dengan Hati karya Dwi Cahyono (Desember 2007, lihat foto di bawah ini) disebutkan bahwa puisi Aku menggambarkan semangat perjuangan seorang seniman lewat karya sastranya. Di Malang, peran aktif seniman dalam membangkitkan api perjuangan sangat dihargai.

Peresmian Monumen Chairil Anwar, 28 April 1955.
Patung Chairil Anwar dibuat sebagai bukti bahwa perjuangan tidak hanya bisa dimenangkan lewat pertempuran berdarah-darah, tapi juga bisa dimenangkan lewat seni. Untuk mengobarkan semangat para pemuda Malang, sengaja patung Chairil Anwar didirikan di tengah-tengah poros jalan utama masa itu sehingga dengan gampang dilihat oleh orang-orang yang melintasi jalan tersebut.

Pembuatan patung juga didedikasikan untuk mengenang kehadiran Chairil Anwar di Malang dari 25 Februari hingga 6 Maret 1947, bersamaan dengan penyelenggaraan Sidang Pleno Kelima Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), sebuah komite yang jadi cikal bakal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Sidang pleno KNIP ini dihelat di bekas gedung Societeit Concordia—kini bernama Plasa Sarinah.

Dalam buku kumpulan puisi berjudul Aku Ini Binatang Jalang  (Gramedia Pustaka Utama, Maret 1986), buku yang dibawa tokoh Rangga dalam film Ada Apa dengan Cinta?, disebutkan Chairil Anwar menggubah tiga puisi selama di Malang, yakni Sorga (25 Februari 1947), serta Sajak buat Basuki Resobowo dan Dua Sajak buat Basuki Resobowo yang sama-sama bertanggal 28 Februari 1947.

Plasa Sarinah sangat bersejarah. Kompleks Sarinah pernah menjadi rumah dinas pertama bupati Malang, Raden Panji Wielasmorokoesoemo alias Raden Toemenggoeng Notodiningrat, sebelum dipindah ke Jalan Haji Agus Salim. Setelah ia meninggal, Belanda mengambil alih pendapa kabupaten dan menyulapnya sebagai tempat warga Belanda berkumpul dan bersenang-senang.

Sejarah mencatat, empat bulan setelah pelaksanaan sidang KNIP, gedung tersebut hancur dibombardir Belanda yang melancarkan operasi militer pertama atau Agresi Militer I (21 Juli-5 Agustus 1947) dan kian hancur saat Belanda melancarkan Agresi Militer II pada 19-20 Desember 1948.

Namun apalah arti sejarah besar itu andaikata warga kota abai dan bahkan tiada peduli. Malang sekarang sudah terlanjur identik sebagai “kota sepak bola”, yang ditandai oleh kelahiran klub Persema Malang (20 Juni 1953) dan Arema Malang (11 Agustus 1987).

Boleh dibilang, patung Chairil Anwar dan sejarah sastra yang melingkupinya makin tenggelam dalam keriuhan pesta ulang tahun klub sepak bola ternama. Patung itu kesepian di tengah taman yang modelnya suka berubah.  

Sebenarnya para suporter bisa berperan aktif dan menjadi pelopor kebangkitan sastra Malang. Saya membayangkan suatu saat Aremania maupun Ngalamania membacakan puisi-puisi karya Chairil Anwar maupun karya penyair Malang lainnya di dalam Stadion Kanjuruhan dan Stadion Gajayana.

Lebih paten lagi bila para suporter berinisiatif melagukan sajak-sajak para penyair dan menyanyikannya bersama secara aktraktif di dalam stadion. Bukan mustahil hal ini bisa dilakukan. Atau, ya paling tidak, para suporter di Malang dan di daerah lain di Indonesia bisa mempelopori penggunaan bahasa Indonesia lewat spanduk-spanduk yang acap kali dipasang saat merayakan ulang tahun klub pujaan hati mereka.

Bukankah memuliakan “bahasa ibu” sendiri lebih baik dan bermanfaat ketimbang menggunakan kata-kata asing yang belum tentu tepat dan belum tentu juga dipahami sendiri oleh si pembuat, serta lebih bermanfaat tinimbang menyanyikan lagu-lagu yang mengandung rasialisme. Penggunaan bahasa asing di spanduk tiada dilarang, tapi alangkah kerennya atawa mbois ilakes bila suporter lebih kreatif memilih dan menyusun kata-kata dari bahasa ibu, entah itu dari bahasa Indonesia maupun yang bersumber dari bahasa lokal Malangan. Misalnya begitu.

Janganlah bersikap “durhaka” pada bahasa ibu sendiri. Ini sekadar saran, boleh diterima boleh ditolak.

Yang jelas Chairil Anwar tak pernah mengingkari keinginan untuk hidup seribu tahun lagi kendati hidupnya kurang dari 27 tahun. Rawatlah baik-baik patung Chairil Anwar agar semangatnya bisa hidup hingga tahun 2922 atau 2943. ABDI PURMONO



Share this :

Previous
Next Post »
9 Komentar
avatar

Bertahun-tahun ada patung Chairil Anwar disitu, baru kali ini aku mengetahui sejarahnya. Makasih bang...

Balas
avatar

Ya, tidak apa-apa, Pe. Aku juga tahunya dari (almarhumah) Mbak Ratna Indraswari Ibrahim dan Dwi Cahyono Inggil. Awalnya aku cuma melintasi patung Chairil tapi lama-lama penasaran juga ingin mengetahui identitas patung itu. Sudah lama kepingin menulis cerita tentang monumen Chairil Anwar, tapi selalu kelupaan sampai akhirnya ingat lagi pas kawan Eko Widianto cerita mendapat penugasan garap cerita patung Chairil Anwar untuk edisi khusus kemerdekaan majalah TEMPO tentang sang pujangga.

Eman-eman juga bila begitu banyak cerita menarik dari Mbak Ratna, plus keterangan Dwi Cahyono yang kemudian ia bukukan, tidak ditulis alias terbuang begitu saja. Karena mungkin Mbak Ratna menceritakannya kepada banyak orang, terutama kaum jurnalis, bisa saja ceritanya kemudian mirip-mirip setelah disajikan wartawan, entah di media tempatnya bekerja, atau di blog. Lagi pula, apa yang disajikan Google itu macam belantara. :)

Balas
avatar

Matur nuwun Mas/Mbak Malang Art Channel... :)

Balas
avatar

Terkadang, satu narasumber, muncul beribu cerita :D

Balas
avatar

Aku ke Malang tapi nggak ngeh kalau ada patung ini mas
Baca tulisan ini eeh aku jadi paham tentang patung ini.

Balas
avatar

Alida, wajar saja kamu kalau tak itu siapa tokoh yang dipatungkan. Lebih aneh bila warga kotanya sendiri yang tak mengenali atau jangan-jangan sengaja tak peduli terhadap patung itu. Aku ini termasuk yang merasa bersalah karena selama ini "malas" menuliskan keberadaan patung itu meski niat sudah lama dipasang.

Keberadaan patung Chairil Anwar bisa menjadi penanda pertumbuhan dan perkembangan sebuah kota. Terima kasih sudah mampir di lapak reot ini. Semoga blogmu sudah waras lagi... :)

Balas
avatar

Perlu dicari itu patung ... dan bakalan aku photo didepannya...

sungguh menginspirasi... jalan2 kemalang ah ....

Balas
avatar

Adhi Artadhitive: silakan dicari, semoga senang. Terima kasih sudah mau mampir.

Balas