Goda Gado Srimulat (1)

Senin, Juli 25, 2016
Rubrik Budaya harian Waspada, Minggu, 10 Mei 1998

SEMALAM di Semarang, 6 November 1988. Lokasi di Taman Hiburan Rakyat (THR) Tegal Wereng. Delapan ratus lebih kursi tersedia, en toh, masih kurang. Sejumlah penonton terpaksa berdiri. Sementara di luar panggung pengunjung masih antre. Pendek cakap: penonton boleh kebanyakan, apa daya kapasitas kursi kebobolan.

Malam itu lakon Untung Ada Saya diusung Aneka Ria Srimulat (ARS). Ya, Srimulat Unit Semarang punya hajatan. Tapi siapa sangka siapa duga, kalau malam itu malam "pamitan" Srimulat dari pantai utara Jawa Tengah.

Semasa baru buka cabang di Semarang pada 1986, jumlah penonton mendingan. Paling tidak Srimulat masih bisa panen duit meski belum mencapai target. Dua tahun berikutnya jumlah penonton terus berkurang. Tempat tongkrongan Srimulat itu pun semakin lengang. Pas hari-hari biasa, paling banter 50 orang yang datang. Walhasil Srimulat Semarang tekor.

ARS Surabaya bernasib serupa. Kendati sudah mangkal di kompleks THR Surabaya sejak 1961, Srimulat cuma kebagian gedung berkapasitas 750 orang. Penonton kerap mangkel karena kehabisan karcis. Baru pada 1982, THR di Jalan Kusuma Bangsa itu dibongkar total. Praktis Srimulat absen sekian lama. Giliran Srimulat mentas lagi, jumlah penonton merosot drastis. Sebabnya, mungkin, masyarakat mengira Srimulat tak bisa main gara-gara THR itu beresnya kelamaan. Terhitung sejak Mei 1989, Srimulat vakum sampai pertengahan 1996; tatkala Srimulat nongol kembali lewat layar Indosiar.

Hikayat Srimulat bermula dari Raden Ayu Srimulat, seorang biduan panggung dan penyanyi. Dia lahir di Solo pada 1905. Anak Wedana Bekonang di Solo ini berpendidikan HIS (Hollands Inlandsche School) dan MULO (Meer Uitgbreid Lager Onderwijs) alias sekolah dasar dan SMP model Belanda tempo dulu.

Besar sebagai gadis ningrat ternyata tak membuat Sri bahagia. Sri berontak dari tetek-bengek aturan ketat keluarga yang dirasakannya mengekang kebebasan dia untuk mengekspresikan hobinya pada ketoprak dan wayang orang. Keluarga Sri gusar. Mereka terlanjur berpandangan mereng terhadap jenis kesenian tradisi ini. Enggak pantaslah bagi keturunan priyayi; macam tak ada saja pekerjaan lain yang lebih terhormat—kira-kira begitulah persepsi kolot keluarganya.

Sri memang bertalenta besar. Selain ciamik bermain ketoprak dan wayang orang (wong), dia becus juga bernyanyi. Orkes Bunga Mawar dan RRI Surakarta merupakan tempat dia bersenandung ria.

Dia terus mengasah bakat. Tak puas menjadi penyanyi, Sri mencicipi panggung sandiwara di kelompok Bintang Surabaya pimpinan Fred Young. Dus, menjadi pemainnya rombongan sandiwara Nusantara binaan Jepang.

Berbekal pengalaman di dunia panggung, Sri merambah dunia film. Beberapa film sudah dibintanginya, antara lain: Saputangan (1949), Bintang Surabaya (1951), Putri Sala (1953), Sebatang Kara (1954), dan Raja Karet dari Singapura (1956).

Sewaktu di Bunga Mawar (1946), Sri ketemu Teguh Slamet Rahardjo (beken dipanggil Teguh). Mereka jatuh cinta dan menikah pada 8 Agustus 1950 (Sri lebih tua 21 tahun), sekalian meresmikan dibentuknya rombongan kesenian keliling Gemah Malam Srimulat (GMS). Sedangkan Bunga Mawar sendiri bubar dua tahun sebelum pernikahan mereka (1948).

Nama Sri terus mencorong. Dia sukses menggaet atensi orang banyak karena dialah satu-satunya yang berdendang sambil melucu waktu itu. Sri menjadi nomaden bersama GMS. Mereka berkelana dari pasar malam ke pasar malam di kala musim kering. Musim penghujan sama dengan menganggur.

Baru pada sekitar 1957 GMS dipermanenkan di Solo. Cuma sebentar. Mereka hunting lagi ke Jember, Malang, Blitar, Kediri, Madiun, Semarang, Pati, Kudus, Pekalongan, bahkan sampai ke Medan, Palangkaraya, Balikpapan, dan Banjarmasin, hingga “parkir” di Pasar Malam Manggarai. Lantas hijrah lagi ke Cikini Raya—sebelum ada Taman Ismail Marzuki (TIM). Dan pengembaraan mereka mentok di salah satu pojok THR Surabaya, Mei 1961.

Semenjak itu Srimulat identik dengan Surabaya. Di Kota Pahlawan itu Srimulat sempat gonta-ganti nama. Mula-mula GMS, lalu Srimulat Review, dan terakhir ARS. Di kota ini beberapa seniman sempat nimbrung. Di antaranya Budi S.R., selaku perancang panggung; A. Rafiq (penyanyi dangdut); Paimo di piano; Udin Zach (peniup klarinet); Gatot Sunyoto di perkusi dan bongo, dan Maryono, si pemusik tiup.

Di 1968 ARS berkabung atas wafatnya Sri pada 1 Desember. ARS agak goyah. Tapi Srimulat terus mengembangkan diri dan mekar menjadi sebuah grup lawak sekaligus produsen komedian kenamaan seperti Asmuni, Tarsan, Basuki, Timbul, Paimo, Bandompo, Bambang Gentolet, Eddy Geol, dan Gepeng.

Pas Hari Pahlawan 10 November 1968 TIM resmi dipakai sebagai Pusat Kesenian Jakarta. Sampai Agustus 1972, Srimulat belum dapat tampil di TIM. Pada 1971 Srimulat melakukan diversifikasi usaha dengan mendirikan grup ludruk Surya Bhaskara, yang hanya bertahan empat tahun.

Munculnya Srimulat setiap empat bulan di TIM sejak September 1972, membuat pabrik ketawa ini kian populer. Keberhasilan ini cukup menjadi alasan bagi Teguh untuk mendirikan Srimulat Film Corporation. Beberapa film diproduksi, tapi nombok karena gagal menyedot penonton. Perusahaan film ini berumur pendek.

Untuk beberapa lama Srimulat hidup akur sebagai usaha dagang yang dikelola secara seduluran (kekeluargaan). Sekitar 1975 Srimulat mulai dilibas kemelut karena soal pembayaran honor. Johny Gudel, Karjo AC/DC (meninggal dunia Selasa, 24 Maret 1998), Suroto, Subur, Rujilah, Rus Pentil, dan Sumiati, beberapa pemain musik, tukang lampu (lighting man), plus pembantu panggung, hengkang ke Jakarta. Para disertir ini (43 orang) mendirikan grup sendiri. Srimulat sempat jeblok karenanya.

Tapi Teguh memang lelaki tegar. Ia tetap tegak di tengah “pasukan” baru, antara lain Paimo, Eddy Geol, dan Jujuk. Kehadiran Asmuni, Herry Koko, Ismiati, dan Abimanyu, membuat Srimulat bergairah kembali. Seusai beberapa bulan gawat, jumlah penonton kembali normal. Warsa 1977 Srimulat kembali merasakan jaman keemasan. Kelompok yang melabel diri dengan dagelan blangkonan ini memang digdaya. Tiga panggung teater rakyat yang juga berada di THR Surabaya—Ludruk Beringin Jaya, Ketoprak Sri Budaya, dan Wayang Wong Sri Wandowo—tercampak.

Rupanya perut Srimulat belum kenyang. Tahun 1978 Teguh membuka ARS Solo di Taman Hiburan Bale Kambang. Srimulat tak butuh tempo lama untuk menjadi kebanggaan warga kota itu. penonton Srimulat tak melulu datang dari Kota Solo, tapi juga dari Klaten, Sragen, Wonogiri, dan Sukoharjo.

Sekalipun gagal menegakkan “Srimulat Tandingan”, pembangkangan Gudel tak percuma. Ia tak hanya memberikan teguran keras, tapi turut menyumbang pikiran mengenai perbaikan manajemen Srimulat. Sikap Gudel menuai hasil bagus.

Kelak, tatkala kemudian Teguh berekspansi ke Jakarta, ia bukan lagi Teguh yang semau gue. Perlakuan terhadap kesejahteraan anak buahnya sudah lebih afdol. Mulai Oktober 1981 Srimulat selalu mentas di Taman Ria Remaja (TRR) Senayan. Malahan sejak awal 1982 TVRI Stasiun Pusat Jakarta berbaik hati memberikan kesempatan kepada Srimulat untuk muncul satu kali sebulan, dengan durasi 55 menit.

Pokoknya, di awal 1980-an Srimulat menggapai puncak kesuksesan. Setiap malam nilai karcis yang terjual paling sedikit mencapai Rp 3 juta. Pemainnya mulai hidup makmur. Asmuni punya restoran yang mentereng dan laris. Tarzan bisa berhaji. Teguh naik mobil Mercedez. Dan Gepeng semakin ganjen dengan mobil dan 50 gram rantai emas yang menggayuti lehernya.

Berpuluh rekaman kaset dagelannya pun laris manis. Belum lagi film yang dibintangi Gepeng—Untung Masih Ada Saya, Gepeng Mencari Untung, Gepeng Bayar Kontan—meledak. Teguh dan partisannya menikmati masa panen raya. Bukan sekadar harta dan nama, kehormatan pun mereka renggut.

Satu hal penting yang dilakukan Teguh di masa-masa kejayaan Srimulat ini adalah siasat baru: kalau di antara anggota Srimulat ada yang lebih menonjol, harus ada pemain lain yang mengimbanginya. Jadi, bila sewaktu-waktu ada pemain yang ngacir kabur, maskot lain siap menggantikan.

Namun nasib apes kembali mendera Srimulat. Kejayaan mereka cuma bertahan lebih dari lima tahun. Pada Agustus 1986 Srimulat mengalami krisis. Pangkal soal berawal dari ketidakdisiplinan anggotanya. Pemain inti seperti Basuki, Timbul, Kadir, Nurbuat, dan Rohani menceraikan diri secara diam-diam. Gepeng yang bergabung sejak 1978 kelewat kesenthelan dan dengan sangat terpaksa dipecat. Tarsan secara terang-terangan menyatakan mengundurkan diri. Teguh berkilah, tradisi bongkar pasang pemain dalam sebuah teater rakyat adalah suatu hal yang maklum adanya.

Yang pasti, gonjang-ganjing di tubuh Srimulat berdampak buruk pada para fans. Di Jakarta, Semarang, bahkan Surabaya jumlahnya melorot tajam. Sialnya di awal 1988 ARS Jakarta nyaris disepak keluar dari TRR Senayan. Demi mempertahankan diri, berbagai jurus sudah dicoba, misalnya dengan mengundang bintang tamu. Hasilnya, alhamdulillah: nol. Srimulat sekarat.


Keadaan tak tertolong lagi. ARS Semarang ditutup pada 6 November 1988. Sebagian pendukungnya didrop ke Jakarta dan Surabaya, sisanya dipensiunkan. Toh krisis tak juga membaik. Klimaksnya, 1 Mei 1989 ARS Jakarta dilikuidasi. Tinggallah ARS Surabaya beserta pengikut seadanya. Tubuh Srimulat yang dulu gendut, akhirnya mengkerut. Produsen manusia-manusia jenaka ini bangkrut. Hampir tujuh tahun lebih Srimulat “istirahat”. ***

Share this :

Previous
Next Post »