Agar Wayang Krucil Wiloso Lestari

Selasa, September 08, 2015
Gebyak Wayang Krucil Wiloso, Jumat, 24 Juli 2015
Foto-foto: ABDI PURMONO

DUA bocah laki-laki memacu sepeda motor butut di jalanan berbatu dan berdebu. Sang motor terengah-engah sampai mogok tiga kali. Namun kedua bocah tetap riang dan bersemangat ngegas supaya lekas menonton pertunjukan wayang krucil.

Kedua bocah mendaku baru dua kali menonton pagelaran wayang krucil dan tak pernah tahu lakon apa yang dimainkan sang dalang. “Senang saja, Mas, karena ceritanya ada lucu-lucunya dan seru. Sekalian kami bisa jumpa teman-teman walau lain desa,” kata salah satu bocah.

Mereka tiba di rumah Mbah Saniyem di Dusun Wiloso, Desa Gondowangi, Kecamatan Wagir, Kabupaten Malang, Jawa Timur, saat dalang Djain baru 10 menit memainkan wayang krucil berlakon Panji Asmorobangun.

Acara bertajuk “Gebyak Wayang Krucil Wiloso” itu dihelat pada Jumat, 24 Juli 2015, bertepatan dengan hari ketujuh Lebaran, yang dalam tradisi Jawa disebut hari raya ketupat alias syawalan.

Digelar di halaman rumah Mbah Saniyem, pementasan wayang krucil—di beberapa daerah disebut wayang klithik—itu ditonton banyak warga desa setempat dan desa tetangga, serta akademisi, seniman, dan budayawan. Dimulai pukul satu siang, pertunjukan berakhir pada pukul 4 sore.

Kiri-kanan: Danis, Djain, Henry, Dwi, Soleh 
Acara kemudian dilanjutkan dengan sarasehan bernarasumber Mudzakir Dwi Cahyono (arkeolog Universitas Negeri Malang), Ki Soleh Adi Pramono (seniman senior dan pengasuh Padepokan Mangun Darmo, Kecamatan Tumpang, Kabupaten Malang), dalang Djain, serta Danis Setyobudi Nugroho (Kepala Desa Gondowangi merangkap koordinator Pelestarian Wayang Krucil Wiloso). Sarasehan dipandu budayawan asal Sidoarjo sekaligus peneliti wayang Panji, Henry Nurcahyo.

Seluruh rangkaian acara didokumentasikan secara lengkap karena pihak penyelenggara dan seluruh narasumber bersepakat menjadikan pertunjukan wayang krucil bukan sebagai hiburan belaka, melainkan sebagai upaya mengonservasi kesenian tradisi yang makin langka dan sarat ritual sakral.

Semula banyak warga menonton dari kejauhan. Begitu dalang Djain mengeluarkan sepasang wayang golek yang disebut golekan lanang dan golekan wedok, mereka langsung mendekat dan merubungi tempat pertunjukkan. Kedua wayang golek yang dianggap bertuah itu menjadi pembuka dan penutup pertunjukan.

Namun, sejatinya, sang dalang Djain belum mengeluarkan wayang golek bernama Sempyur Sejati. Sang tokoh masih terbungkus kain putih tua di dalam kotak wayang. Dianggap sebagai sesepuhnya seluruh karakter wayang krucil, Sempyur Sejati biasanya ditampilkan pada momen-momen teramat khusus.   

Menurut Dwi Cahyono, golekan lanang dan golekan wedok bisa diartikan sebagai perlambang kesuburan seperti ditokohkan Dewi Sri dan Dewa Sedono. Pertunjukan wayang krucil hampir selalu berhubungan dengan ritual pertanian.


Golekan lanang dan golekan wedok.
“Dulu, wayang krucil ditampilkan itu di awal musim tanam dan pasca-panen. Kalau sekarang pertunjukannya disesuaikan dengan kondisi terkini dan itu wajar karena pertunjukan wayang krucil di Wiloso kembali diaktifkan kurang-lebih baru enam-tujuh tahun terakhir setelah vakum lebih dari 30 tahun,” kata Dwi Cahyono.

Berbeda dengan wayang krucil yang berfisik pipih, wayang golek lebih montok. Di masa jayanya di beberapa daerah di Jawa Timur, boneka wayang golek hampir selalu ada dalam koleksi wayang krucil dan jumlahnya kurang dari lima buah.

Danis Setyobudi Nugroho mengatakan, dua tokoh wayang krucil yang paling disakralkan oleh warga Desa Gondowangi adalah Mbah Gimbal dan Mbah Tandur. Penampilan dua tokoh lokal ini biasanya disesuaikan dengan kondisi wilayah.

Untuk Dusun Wiloso yang berdaerah agraris, misalnya, tokoh wayang krucilnya lekat dengan jagat pertanian dan melalui karakter Mbah Gimbal dan Mbah Tandur-lah amanat kepada seluruh warga untuk menjaga tanah dan tradisi pertanian disampaikan.

Dusun Wiloso berlokasi terpelosok di timur lereng Gunung Kawi (2.551 meter dari permukaan laut) dan terpaut jarak sekitar 10 kilometer dengan Kepanjen, Ibu Kota Kabupaten Malang.

Dari sekitar 8 ribu jiwa penduduk Desa Gondowangi, yang bertahan menggarap sawah tinggal sepuluh persen. Selebihnya bekerja menjadi buruh pabrik atau menekui pekerjaan informal lainnya.

Kesenian wayang krucil diperkirakan sudah eksis sejak 300 tahun silam. Sedangkan wayang krucil yang ada di Dusun Wiloso ditaksir berumur 120 tahun dan karenanya disakralkan warga setempat. Bukan sembarang orang yang boleh membuka kain pembungkus dan memainkan wayang-wayang tersebut. 

Koleksi wayang krucil di desanya terlengkap di Provinsi Jawa Timur. Ada sekitar 75 wayang krucil yang seluruhnya disimpan dalam satu kotak besar di rumah Mbah Saniyem. Semua wayang masih terawat dengan baik.

“Saya sudah berkeliling ke Ngawi, Bojonegoro, Kediri, Jombang, Tulungagung, Blitar, dan Lumajang, tapi wayang krucil yang ada hanya dua hingga lima wayang saja. Jadi, di tempat kami koleksinya terlengkap, tapi warisan leluhur ini bisa punah bila tidak kami lestarikan,” kata Danis.

Pertunjukan wayang krucil diadakan di hari maupun momen khusus, termasuk bila ada yang nanggap. Namun, wayang krucil wajib dipentaskan di bulan Syawal, bersamaan dengan ritual selamatan dan bersih desa.

Pementasan wayang krucil sempat lama mati suri. Seingat Danis, wayang krucil terakhir dipentaskan pada 1969, lalu vakum lantaran perpolitikan nasional sedang bergolak. Berkat usaha berliku dan berbekal kecintaan, pertunjukan wayang krucil kembali dihidupkan sejak 2008. Meski wayangnya milik Mbah Saniyem, tapi warga rela patungan dana untuk mementaskannya. Dibutuhkan Rp 2 juta hingga Rp 2,5 juta untuk membiayai satu pertunjukan.

Agar makin lestari dan populer, wayang krucil ditampilkan di ajang seni-budaya yang lebih besar, seperti Malang Tempo Doeloe 2011, 2012, dan 2013, serta Pekan Budaya Kabupaten Malang 2014.

“Kami sudah anggarkan biaya pementasan wayang krucil lewat APBdes (Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa) dan pembuatan duplikatnya. Pemerintah daerah sudah menyetujuinya demi pelestarian wayang krucil,” ujar Danis.

Warga setuju pementasan wayang krucil harus ditradisikan dan wajib dilakukan minimal satu kali dalam setahun, yakni hari raya ketupat alias syawalan. Pertunjukan syawalan harus di halaman rumah Mbah Saniyem, selaku pemilik koleksi wayang krucil. Mereka percaya, bila tidak dipentaskan di hari ketujuh Lebaran itu, Desa Gondowangi bisa mengalami celaka.

Lagi pula mereka sudah menganggap wayang krucil sebagai rohnya desa dan dengan sifat mistisnya ini pula mereka peduli dan bergotong royong untuk memelihara dan mementaskan wayang krucil agar tak punah.

Saking sakralnya, saat hendak pentas sang dalang tidak bisa langsung berlatih menggunakan wayang asli yang terbuat dari kayu pule atau kayu mentaos—di beberapa daerah, wayang krucil dibuat dari kayu sengon—dengan ketebalan 2-3 sentimeter. Hanya bagian tangan yang terbuat dari kulit.

Masalahnya, kayu pule makin susah diperoleh. Satu-satunya pohon pule yang tersisa di Kecamatan Wagir tumbuh di punden Sentono, Desa Pandanrejo. Alhasil, dalang Djain rela berlatih memakai wayang berbahan kertas dan bahkan sandal jepit. “Wayang asli baru dipakai saat pementasan dimulai,” kata Djain, 46 tahun.

Agar wayang asli awet, kata Danis, pemerintah desa bersama warga sedang melakukan duplikasi wayang. Duplikat wayang dipakai sebagai sarana latihan bagi siapa pun yang ingin mempelajari wayang krucil. Ini cara yang cerdik dan kreatif: fisik dan kesakralan wayang krucil yang asli terjaga tanpa mengabaikan orang-orang yang berhasrat mempelajari kesenian wayang.  

Saat ini di Dusun Wiloso ada 24 seniman wayang krucil dengan usia rata-rata melebihi 50 tahun. Djain sendiri masih jadi satu-satunya dalang wayang krucil di Kabupaten Malang. Tukang cat pada proyek-proyek di perguruan tinggi di Malang ini mengaku generasi kesepuluh dalang wayang kulit. Ia meneruskan profesi sang ayah, Karlin.

Kecintaan Djain pada wayang diawali dengan menyukai gamelan sejak kelas empat sekolah dasar. Djain kemudian beralih ke wayang krucil karena, selain dorongan cinta yang begitu besar, ia masih berkerabat dekat dengan Saniyem.

Djain membutuhkan dalang pengganti. “Saya butuh pengganti, tapi saya belum tahu siapa calon penggantinya karena anak-anak sekarang lebih tertarik pada HP (handphone),” ujar Djain, lalu ngakak.

Djain senang-senang saja ditanggap oleh siapa dan di mana pun. Selain memang butuh fulus untuk menafkahi keluarga, tujuan utamanya adalah agar masyarakat bisa mengenal dan menyukai wayang krucil.

Karena itu ia malas ribet dalam perkara memenuhi order. Sebagai contoh: durasi pentas fleksibel, bisa 30 menit sampai empat jam. Cerita yang diusung pun bebas, tapi ia memastikan harus tetap berhubungan dengan kisah-kisah kerajaan. Tidak ada alasan khusus kecuali kesukaan saja.

Kendati fleksibel, tetap saja ada ritual yang dilakoni Djain saat prapementasan. Ia merapal doa disertai pembakaran dupa, kemudian memilih boneka-boneka wayang krucil yang mau dimainkan. Seluruh boneka wayang pilihan ditaruh di sampingnya.

Keprak pun dibunyikan dengan cempala dan seterusnya sampai cerita usai. Keprak adalah lempengen besi atau perunggu yang di dalam kotak wayang dan dibunyikan oleh dalang sebagai pengisi suara dan pemberi aba-aba. Sedangkan cempala adalah alat untuk membunyikan keprak. Untuk cempala yang dijepit jempol kaki berbahan besi dan cempala yang dipegang tangan berbahan kayu.

Menurut Ki Soleh Adipramono, perhelatan “Gebyak Wayang Krucil Wiloso” sedikitnya melibatkan 15 seniman, yakni terdiri dari seorang dalang, dua sinden, dan 12 wiyogo atau penabuh gamelan.

Gamelan yang digunakan untuk mengiringi pertunjukan sangat sederhana, berlaras slendro berjumlah enam macam, yakni kendang, saron, ketuk, kenong, kempul (barang), gong suwukan, serta berirama playon bangomati (srepegan). Ada kalanya wayang krucil menggunakan gending-gending besar.

Repertoar atau lakon wayang krucil yang dimainkan beragam, seperti lakon bernuansa islami, Panji Asmorobangun, Singosari, Babad Majapahit, atau Babad Tanah Jawi. Di Malang, siklus cerita Panji-lah yang paling populer sehingga wayang krucil Wiloso pun biasa disebut wayang krucil Malangan. Apalagi gendingan yang dimainkan memang bergaya Malangan.

Lakon-lakon tersebut berbeda dengan wayang kulit, yang notabene bentuk wayang paling populer di Jawa. Pada wayang kulit, lakon-lakonnya diambil dari lingkaran klasik wayang purwa, yakni dari empat siklus yang sebagian besar bahannnya berasal dari India. Di kalangan orang Jawa siklus Mahabarata-lah yang paling populer di wayang kulit.

Wayang-wayang kulit digerakkan oleh dalang di depan layar putih yang disinari blencong atau lampu sehingga bayangan wayang-wayang muncul pada layar. Para penonton duduk di kedua sisi layar sehingga penonton bisa memilih apakah mau melihat bayang-bayang atau melihat langsung boneka-boneka asli yang dimainkan oleh dalang.

Apa pun jenisnya, dalam wayang penonton bertemu dengan sejumlah besar pribadi yang beraneka ragam. Penokohan wayang krucil dibagi empat, yaitu kapandhitan (pemuka agama), bambangan (kesatria), punakawan, dan sabrangan (tokoh antagonis). Bila di wayang kulit satu wayang mewakili satu karakter, maka di wayang krucil satu wayang bisa memerankan banyak karakter, semisal Minak Jinggo, Damarwulan dan Anglingdarma.

Mbah Saniyem

DAN Mbah Saniyem menyukai semua karakter wayang krucil yang dimainkan Djain. Dia duduk manis sepanjang pertunjukan. Matanya berbinar, wajahnya berhias senyum.

Saya ingin nanti ada keturunan saya, entah anak, cucu, atau cicit saya yang harus dan mau mempertahankan koleksi wayang krucil di rumah ini walau di antara mereka tak ada seorang pun yang jadi dalang,” kata Saniyem, seusai pertunjukan.

Berusia sekitar 83 tahun, Saniyem mempunyai enam anak, sepuluh cucu, dan 13 cicit (buyut). Sebagian dari keturunannya, termasuk beberapa menantu, duduk menemani Saniyem.

Saniyem menyimpan wayang krucil berdasarkan amanat ayahnya. Sebagai generasi kedelapan, Saniyem bersumpah takkan menjual wayang krucil meski ditawar atau dibarter dengan banyak uang maupun harta benda lainnya.

Seseorang pernah merayu Saniyem untuk menukar wayang krucil dengan sebuah truk. Tentu saja dia menolak. Bagi Saniyem, wayang krucil yang sudah berusia ratusan tahun tiada sebanding dengan harta benda apa pun. Namun, dalam perkara usia wayang krucil, Saniyem sekeluarga serta seluruh warga desa tidak bisa memastikannya kecuali mengira-mengira saja.

Wayang krucil diwarisi Saniyem dari ayahnya, Mentaram alias Mbah Taram, seniman asal Desa Putat, Kecamatan Tanggulangin, Kabupaten Sidoarjo. Diperkirakan Mbah Taram membawa wayang krucil ke Desa Gondowangi pada 1896 atau 1910.

Saking tuanya, dari sekitar 75 wayang, sekitar 6 wayang patah. Bila tidak dipentaskan, seluruh wayang krucil disimpan rapi di dalam sebuah kotak besar. Berdasarkan kalender Jawa, di tiap hari Jumat legi, Saniyem bersama keluarga menaruh sesajen di dekat kotak. Sesajennya berupa kemenyan, dupa ratus, dan bunga. Juga ada ritual berpuasa di hari-hari tertentu.

Danis menjelaskan, menurut beberapa literatur, wayang krucil dibuat oleh Raden Pekik pada 1648. Raden Pekik adalah putra Panembahan Kediri atau keturunan kedelapan Sunan Ampel yang saat itu menjadi Adipati Surabaya.

Ada pula literatur yang menyebutkan wayang krucil warisan Sunan Kudus. Sunan Kudus menggunakan wayang krucil untuk menyebarkan ajaran Islam di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sekaligus untuk menghibur rakyat kecil yang masa itu tak kuasa menonton wayang kulit, yang notabene masih jadi tontonan kaum ningrat dan keluarga kaya.

Jadi wajar bila wayang krucil dulunya disebut wayang dakwah keliling alias wayang bermisi agama melalui cerita-cerita Islami seperti cerita Walisongo dan cerita kerajaan Islam. Cerita Islami biasanya mengalir lewat tokoh menak Umar Amir. Namun, bagi Djain, apa pun cerita islaminya, cerita wayang krucil harus berhubungan dengan cerita kerajaan.

Berbeda dengan wayang kulit, pementasan wayang krucil biasanya dilakukan pada siang hari. Wayang krucil tidak memerlukan gawang kelir (layar) dan blencong (lampu penerang layar) untuk menciptakan bayangan laksana di pertunjukan wayang kulit. Oleh karena itu, layar wayang krucil pun biasa disebut sebagai kelir kaca: pertunjukan tembus pandang dan bisa dilihat oleh penonton dari depan dan di belakang dalang.

Kotak penyimpanan wayang krucil hanya dibuka Saniyem dan keluarganya saat gebyak syawalan, upacara ruwatan, atau kegiatan bersih desa.

Untuk mementaskan wayang krucil dibutuhkan prosesi yang rumit dan bernuansa magis seperti membuat nasi tumpeng, menyediakan sesajen, serta keharusan berpuasa bagi pemilik dan dalang wayang krucil. Pementasan pun didahului dengan pembacaan mantra dan penyampaian petuah oleh Saniyem.

“Semula gebyak memang hanya dilakukan oleh keluarga Mbah Saniyem. Namun sejak 2008, gebyak wayang krucil kami buat meriah agar bisa jadi pertunjukan seni budaya yang bisa dinikmati seluruh warga kampung di sini dan warga kampung tetangga. Tujuannya cuma, yaitu agar wayang krucil di kampung kami tidak punah,” kata Danis, menambahkan.

Dwi Cahyono menguatkan penjelasan Danis. Menurut Dwi, wayang krucil di Dusun Wiloso merupakan salah satu seni pertunjukan tradisional yang dalam kondisi harus diselamatkan.

Di wilayah Kabupaten Malang, wayang krucil kini hanya bisa ditemukan di Dusun Wiloso, Desa Gondowangi, dan Desa Gedog di Kecamatan Turen. Namun jumlah wayang krucil di Gedog sudah sangat sedikit, serta dalang dan seniman wayang lainnya sudah tiada.

“Jadi,” kata Dwi, “tinggal di Wiloso wayang krucil yang memungkinkan berpentas. Itu pun baru dapat pentas lagi tahun 2008 atau 2009 setelah satu generasi (sekitar tiga dasawarsa) vakum.”

Dwi memperkirakan, wayang krucil di Dusun Wiloso telah ada sejak 1,2 abad lalu. Sejaun ini belum didapat data perihal kehadiran wayang krucil di wilayah Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu).

Bila pernyataan HJ de Graaf dan Th. Pigeud benar bahwa Pangeran Pekik (Adipati Surabaya) adalah kreator wayang krucil sepanjang 1630-1650-an, maka boleh jadi wayang krucil masuk Malang pada medio abad ke-17, hampir bersamaan waktu dengan Mataramisasi ke Bang Wetan pada masa pemerintahan Sultan Agung.

“Namun, materi ceritanya, yaitu cerita Panji telah hadir di Malang sejak masa akhir Kerajaan Singosari atau setidaknya masa pemerintahan Hayam Wuruk,” ujar Dwi, yang juga pengajar kesenian Panji.


KORAN TEMPO, Kamis, 10 September 2015
Wayang krucil adalah varian wayang Panji dengan tokoh peran berupa boneka wayang (puppet) dari bahan kayu pilih dua dimensional. Ada tiga macam cerita yang dipentaskan, yaitu ragam kisah dalam cerita Panji, cerita menak (warga Wiloso menyebutnya cerita Umar Amir), dan Damar Wulan atau Brawijayan.

“Cerita yang dimainkan oleh dalang Djain di Wiloso itu cerita Brawijayan dengan latar kisah kerajaan Majapahit. Cerita ini sudah sangat jarang dimainkan dalam pertunjukan wayang. Sering kali cerita Panji dipentaskan dalam wayang krucil di Malang pada masa lalu,” kata Dwi.

Wayang krucil Wiloso mempunyai karakter wayang Malangan, baik dari musik pengiring, pilihan lakon maupun bahasa dalangnya. Konteks budaya agrarisnya masih kental dan sudah melekat sejak dulu. Ia dan Danis sepaham bahwa wayang krucil sudah menjadi rohnya desa sehingga wayang krucil setara dengan benda pusaka nan keramat.

Karena itu, Pemerintah Kabupaten Malang diharapkan terlibat aktif dalam upaya penyelamatan wayang krucil seperti halnya upaya penyelamatan wayang topeng yang masih bertahan di Malang. ABDI PURMONO


Share this :

Previous
Next Post »