Lima Gajah Sumatera Mati karena Virus Herpes

Jumat, Februari 20, 2015
Pusat Perawatan Gajah TSI Prigen
Minggu, 8 Februari 2015
Foto: ABDI PURMONO

SELAIN perburuan dan penyempitan luas habitat, populasi gajah sumatera (Elephas maximus sumatrensis) terancam semakin berkurang akibat serangan elephant endotheliotropic herpes viruses atau EEHV. 

Lima anak gajah sumatera di Pusat Konservasi Gajah Taman Nasional Way Kambas (PKG TNWK), Lampung Timur, mati karena terkena virus herpes dalam tiga bulan terakhir. Kematian lima anak gajah sejak November 2014 ini ditetapkan oleh pengelola TNWK sebagai kejadian luar biasa.

“Dikhawatirkan penyakit herpes tersebut menular ke gajah yang hidup di hutan ataupun di pusat konservasi gajah di Aceh dan Riau,” kata Tony Sumampau, Direktur Utama Taman Safari Indonesia (TSI) dalam acara Orientasi Wartawan Konservasi Forum Konservasi Satwaliar Indonesia (FOKSI) di TSI Prigen, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Kegiatan ini berlangsung pada 6-8 Februari 2015.

Berdasarkan informasi yang diterima Tony, kini status siaga I diterapkan PKG TNWK, yang semula dihuni 67 ekor gajah. Status tersebut diberlakukan karena virus herpes berpeluang menyerang anak gajah ataupun gajah dewasa. Pengelola pusat konservasi menyiagakan dokter hewan dan paramedis, pawang gajah (mahout), dan sukarelawan. Mereka harus terus memantau perkembangan anak-anak gajah yang masih sehat.

Penyebaran virus herpes di Way Kambas membuat TSI juga meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan gajah-gajah sumatera yang dikoleksi TSI Cisarua, Bogor, dan TSI Prigen terkena herpes.

TSI dan FOKSI juga membantu menggalang dana untuk membeli obat khusus herpes yang mahal dan susah didapat di Indonesia. Harga obat herpes gajah mencapai US$ 4.000. Lantaran sulit mendapatkan obat herpes, PKG terpaksa menggunakan obat herpes buat manusia. Kebutuhan obat anti-herpes sangat besar karena dosis obat biasanya disesuaikan dengan bobot gajah.

Dokter hewan sekaligus pawang gajah TSI Prigen, M. Nanang Tejolaksono, mengatakan penyakit EEHV pernah menyerang gajah di Afrika, Kamboja, dan Thailand. Masa inkubasi virus ini adalah 1-5 hari, sebelum menyerang pembuluh darah dan memicu detak jantung yang cepat sehingga menimbulkan kematian. Virus paling mematikan dari varian EEHV adalah jenis 1A dan 1B.

“Namun virus penyebab kematian gajah sumatera di Way Kambas belum bisa dipastikan jenisnya karena masih dilakukan uji laboratorium,” ucap Nanang.

Ia berharap hasil uji sampel gajah mati segera keluar sehingga gajah lainnya bisa diselamatkan. Sebagian besar gajah yang terserang virus EEHV masih anakan.

Untuk mengantisipasi penularan herpes, TSI akan memisahkan anakan gajah dari induknya, kemudian menguji hewan itu lewat air liur untuk mengetahui apakah mereka membawa virus herpes atau tidak. Sejauh ini belum ada gejala-gejala yang mengkhawatirkan pada gajah-gajah TSI.

KORAN TEMPO
Rabu, 11 Februari 2015
Gajah yang terkena EEVH bisa dipantau dari kondisi fisik yang melemah dan lidah berwarna biru pekat. Untuk mencegah penularan, tim pusat konservasi memberikan obat anti-virus dua kali sehari kepada anakan gajah selama 20 hari sejak terjadinya kematian anak gajah keempat. Selain itu, tim memisahkan kandang gajah dewasa dengan gajah muda untuk mengurangi penularan.

Gajah sumatera serta seluruh gajah Asia dan sub-spesiesnya sudah masuk dalam daftar merah spesies terancam punah yang dirilis oleh IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources). Satwa itu juga dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetaan Jenis Tumbuhan dan Satwa. 

Kini, gajah sumatera termasuk dalam daftar 25 spesies satwa liar dilindungi dan terancam punah yang populasinya ditargetkan bertambah 10 persen hingga 2019 atau selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. ABDI PURMONO 


Share this :

Previous
Next Post »