Koban dan Perpolisian Masyarakat

Sabtu, Desember 08, 2012
Koban di Kota Tsukuba
Foto-foto: ABDI PURMONO

KULUPA tanggalnya. Tapi yang kuingat, pada awal Desember 2005, Asahi Shinbun pernah menampilkan lima foto polisi wanita yang mejeng di depan Balai Kemitraan Polisi dan Masyarakat (BKPM) di Bekasi. Koran ternama Jepang itu tidak menyebutkan secara persis di mana lokasi BKPM itu kecuali menyebutkan bahwa BKPM itu menjadi koban pertama di Indonesia yang seluruh petugasnya perempuan.

Wajar jika Asahi menyebut BKPM sama dengan koban. Dalam bahasa Jepang, koban artinya pos polisi di perkotaan. Sedangkan pos polisi di pedesaan disebut chuuzaisho.

BKPM sendiri merupakan hasil kerja sama polisi Jepang dengan Indonesia. Kerja sama ini sudah dirintis sejak 2000 di masa kepala Kepolisian Republik Indonesia dijabat Jenderal Polisi Rusdihardjo, tapi baru berwujud pada September 2004 di Bekasi. Dengan bantuan pemerintah Jepang, proyek percontohan koban Indonesia memang dimulai dari wilayah Bekasi.

Konsep, penampilan, dan operasional BKPM dicita-citakan menyerupai model polisi komunitas (community police) ala Jepang. Satu BKPM dilengkapi dengan mobil, motor patroli, komputer, faksimile, dan handy talkie. Karena masih dalam taraf percontohan, maka koban Indonesia diberi toleransi 15 menit untuk melayani laporan yang masuk. Sebaliknya, reaksi cepat polisi Jepang hanya 5 menit. Tak apalah, namanya juga proyek percontohan.  

Koban di Distrik Ginza, Tokyo.
Ingat koban, ingat seorang teman polisi yang pernah mengikuti studi banding kepolisian masyarakat di Jepang. Setahuku, setahun kemudian, pangkat sang teman cepat naik sepulang dari Jepang. Mungkin karena dasarnya ia seorang polisi yang pintar dan berdedikasi tinggi. 

Ia mengirim salinan Surat Keputusan Kapolri No. Pol. : SKEP/737/X/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang Kebijakan dan Strategi Penerapan Model Perpolisian Masyarakat dalam Penyelenggaran Tugas Polri. Surat keputusan yang ditandatangani Jenderal Polisi Sutanto ini tebalnya 19 halaman.

Dalam pendahuluan, disebutkan bahwa Kepolisian Daerah (Polda) Nusa Tenggara Barat, bekerja sama dengan Universitas Negeri Mataram, merupakan satuan organisasi Polri yang pertama kali (2001) menyelenggarakan proyek “Pengembangan Kepolisian Nasional Berorientasi Masyarakat Lokal” atas dukungan biaya dari lembaga-lembaga donor yang mendukung proses reformasi Polri.  

Setelah itu, sejumlah Polda menyelenggarakan proyek serupa, seperti di Polda Kalimatan Barat, Polda Jawa Timur, dan Polda Jawa Barat, dengan mengimplementasikan community policing dan membangun forum kemitraan polisi-masyarakat pada tingkat Polsek atas dukungan biaya International Organization for Migration (IOM).

Polda Metro Jaya/Kepolisian Resor Bekasi mengembangkan program community policing dengan mengadopsi pola Koban di Jepang atas dukungan biaya Japan International Coordination Agency (JICA). Polda Daerah Istimewa Yogyakarta mengembangkan program community policing dengan dukungan biaya Asia Foundation.

Koban di area Stasiun Kereta Tokyo.
Penerapan model Community Policing melalui berbagai proyek tersebut didasarkan atas persepsi masing-masing penyelenggara proyek sehingga menimbulkan kekurang-sinkronan dalam implementasinya.

Adapun, mengenai latar belakang penyelenggaran perpolisian masyarakat langsung kukutip dari Surat Keputusan itu.

  a. Sebelum konsep Community Policing diluncurkan terutama di negara-negara maju, penyelenggaraan tugas-tugas kepolisian baik dalam pemeliharaan keamanan dan ketertiban maupun penegakan hukum, dilakukan secara konvensional. Polisi cenderung melihat dirinya semata-mata sebagai pemegang otoritas dan institusi kepolisian dipandang semata-mata sebagai alat negara sehingga pendekatan kekuasaan bahkan tindakan represif seringkali mewarnai pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian. Walaupun prinsip-prinsip “melayani dan melindungi” (to serve and to protect) ditekankan, pendekatan-pendekatan yang birokratis, sentralistik, serba sama/seragam mewarnai penyajian layanan kepolisian. Gaya perpolisian tersebut mendorong polisi untuk mendahulukan mandat dari pemerintah pusat dan mengabaikan ‘persetujuan’ masyarakat lokal yang dilayani. Selain itu polisi cenderung menumbuhkan sikap yang menampilkan dirinya sebagai sosok yang formal, dan ekslusif dari anggota masyarakat lainnya. Pada akhirnya semua itu berakibat pada memudarnya legitimasi kepolisian di mata publik pada satu sisi, serta semakin berkurangnya dukungan publik bagi pelaksanaan tugas kepolisian maupun buruknya citra polisi pada sisi lain.

Koban di Distrik Asakusa, Tokyo.
           b.    Kondisi seperti diutarakan pada huruf a, juga terjadi di Indonesia, lebih-lebih ketika Polri dijadikan sebagai bagian integral ABRI dan polisi merupakan prajurit ABRI yang dalam pelaksanaan tugasnya diwarnai sikap dan tindakan yang kaku bahkan militeristik yang tidak proporsional. Perpolisian semacam itu juga ditandai antara lain oleh pelaksanaan tugas kepolisian, utamanya penegakan hukum, yang bersifat otoriter, kaku, keras dan kurang peka terhadap kebutuhan rasa aman masyarakat. Di sisi lain pelaksanaan tugas kepolisian sehari-hari, lebih mengedepankan penegakan hukum utamanya untuk menanggulangi tindak kriminal. Berdasarkan TAP MPR Nomor II/MPR/1993 tentang Garis Besar Haluan Negara yang berkaitan dengan Sistem Keamanan dan Ketertiban Masyarakat Swakarsa, Polri dibebani tugas melakukan pembinaan Kamtibmas yang diperankan oleh Babinkamtibmas sebagai ujung tombak terdepan. Pendekatan demikian memposisikan masyarakat seakan-akan hanya sebagai obyek dan polisi sebagai subjek yang “serba lebih” sehingga dianggap figur yang mampu menangani dan menyelesaikan segenap permasalahan Kamtibmas yang dihadapi masyarakat.

      c.  Sejalan dengan pergeseran peradaban umat manusia, secara universal terutama di negara-negara maju, masyarakat cenderung semakin ‘jenuh’ dengan cara-cara lembaga pemerintah yang birokratis, resmi, formal/kaku, general/seragam dan lain-lain dalam menyajikan layanan publik. Terdapat kecenderungan bahwa masyarakat lebih menginginkan pendekatan-pendekatan yang personal dan menekankan pemecahan masalah dari pada sekedar terpaku pada formalitas hukum yang kaku. Dalam bidang penegakan hukum terutama yang menyangkut pertikaian antar warga, penyelesaian dengan mekanisme informal dipandang lebih efektif dari pada proses sistem peradilan pidana formal yang acapkali kurang memberikan peranan yang berarti bagi korban dalam pengambilan keputusan penyelesaian masalah yang dideritanya.
Koban di Distrik Asakusa, Tokyo.

 d. Kondisi sebagaimana diutarakan di atas mendorong diluncurkannya program-program baru dalam penyelenggaraan tugas kepolisian terutama yang disebut Community Policing. Lambat laun, Community Policing tidak lagi hanya merupakan suatu program dan/atau strategi melainkan suatu falsafah yang menggeser paradigma konvensional menjadi suatu model perpolisian baru dalam masyarakat madani. Model ini pada hakekatnya menempatkan masyarakat bukan semata-mata sebagai obyek tetapi mitra kepolisian dan pemecahan masalah (pelanggaran hukum) lebih merupakan kepentingan dari pada sekedar proses penanganan yang formal/prosedural.

e. Dalam kehidupan bermasyarakat bangsa Indonesia nilai-nilai yang terkandung dalam konsep Community Policing pada hakekatnya bukan merupakan hal yang asing. Kebijakan Siskamswakarsa diangkat dari nilai-nilai sosio-kultural masyarakat Indonesia, yang lebih menjunjung nilai-nilai sosial dari pada individu. Pelaksanaan pengamanan lingkungan secara swakarsa pernah/masih efektif berjalan. Pada bagian-bagian wilayah/etnik tertentu nilai-nilai kultural masih efektif (bisa diefektifkan) dalam penyelesaian masalah sosial pada tingkat lokal. Nilai saling memaafkan dijunjung tinggi dalam masyarakat Indonesia yang religius. Pada zaman dahulu dikenal adanya “Hakim Perdamaian” desa. Kondisi itu semua merupakan modal awal yang dapat berperan sebagai faktor pendukung yang efektif dalam pengembangan Community Policing “ala” Indonesia, jika dikelola secara tepat sesuai ke-kini-an dan sejalan dengan upaya membangun masyarakat madani khususnya kepolisian “sipil” yang menekankan pada pendekatan kemanusiaan khususnya perlindungan hak-hak asasi manusia dalam pelaksanaan tugas kepolisian.

Tapi, by the way, istilah koban belum akrab benar di telinga rakyat Indonesia, kecuali bagi masyarakat Bekasi. Mungkin. Mata orang Indonesia juga belum biasa melihat wujud koban di Jepang. Nah, dalam semangat hendak berbagi informasi tentang koban, silakan melihat rupa sejumlah koban di beberapa kota di Jepang, yang kupotret dalam kurun November 2005 sampai Januari 2006.

Kota Fujieda dan Atami sama-sama di Prefektur Shizuoka. Atami merupakan kota wisata pantai, tapi pasirnya diimpor layaknya Singapura membeli pasir dari Bangka. Di Atami ada restoran Indonesia—kalau tak lupa, namanya Restoran Jembatan Merah. Kota Tsukuba masuk wilayah Prefektur Ibaraki. Desain kota ini sangat bergaya Amerika Serikat, mirip Silicon Valley di California. Japan Aerospace Exploration Agency atau JAXA (Badan Eksplorasi Antariksa Jepang) alias NASA-nya Jepang ada di Tsukuba.

Koban di Kota Fujieda, Prefektur Shizuoka.
Berbeda dengan di tempat lain, sewaktu hendak memotret koban di area Stasiun Kereta Api Tokyo (Tokyo no eki), polisi di situ sempat melarang dengan cara menyilangkan kedua tangannya. Pelarangan dilakukan untuk mencegah aksi terorisme. Tapi aku sudah terlanjur memotretnya diam-diam. Lha wong di tempat lain, seperti di distrik Ginza dan Asakusa, tak dilarang kok.

Aku pernah melaporkan kehilangan barang pribadi yang tak begitu penting ke polisi di sebuah koban di Kyoto. Sang polisi bertindak cekatan. Laporan segera diproses. Di depanku ia sibuk menelepon. Besok paginya, Pak Polisi menelepon untuk mengabari barangku ternyata tertinggal di dalam taksi yang kutumpangi.

“Barang milik Anda segera dikirim ke alamat tempat tinggal yang Anda berikan kepada kami,” kata Pak Polisi. Benar saja omongan Pak Polisi. Sore harinya barang kuterima utuh dari kurir perusahaan ekspedisi.

Ada juga pengalaman tak enak tapi sangat berkesan tentang polisi Jepang. Dua kali aku dicegat polisi rahasia di Stasiun Nagoya dan Stasiun Tokyo. Polisi di Stasiun Nagoya mengira aku penumpang tak bertiket yang seenaknya menerobos pintu masuk stasiun kereta cepat (shinkansen). Pak Polisi lekas menunduk sambil meminta maaf setelah aku menunjukkan tiket dan kartu identitas orang asing yang berlaku tiga tahun.

Lebih sial lagi di Tokyo. Dua polisi mencegatku karena mengira aku pencuri (dorobo) yang baru keluar dari stasiun kereta bawah tanah (chikatetsu). Seingatku, waktu itu aku baru pulang dari Universitas Sophia (Shopia Daigaku) di Distrik Chiyoda, satu dari 23 distrik di Tokyo. Namun, tiga kali kedua polisi membungkukan tubuh sambil mengucapkan “gomen nasai” alias “mohon maaf” setelah aku menyebutkan tasku berisi baju dan celana seraya menunjukkan kartu identitas orang asing yang sama.

Agak aneh, aku sempat menertawakan mereka, tapi sikap mereka malah tambah santun. Kalau di sini mungkin aku sudah digampar karena dianggap melecehkan aparat negara. Mungkin lho...

Bagi Anda yang pesimistis dan suka buruk sangka kepada polisi kita, percayalah, masih banyak polisi baik berintegritas tinggi di negeri ini. Tetaplah optimistis. ***

Koban di Kota Atami, Prefektur Shizuoka.

Share this :

Previous
Next Post »