Karya Terakhir Ratna untuk Aktivis Mahasiswa 1998

Senin, November 12, 2012

Nomor dua dari kiri Djoko Saryono (Guru Besar Bidang Pembelajaran Bahasa Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang), Hariyono (Guru Besar Bidang Ilmu Sejarah Politik Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang), dan budayawan Ki Djati Koesoemo. (Foto-foto: ABDI PURMONO)

Hampir semua karya Ratna berpusat pada karakter perempuan yang tegar dan kuat, bukan perempuan lemah, cengeng, dan suka berpasrah diri.

MALANG — Novel karya terakhir Ratna Indraswari Ibrahim diperkenalkan ke publik setelah setahun lebih sang sastrawan meninggal pada 28 Maret 2011. Ratna meninggal akibat komplikasi sakit jantung dan paru-paru, serta serangan stroke  berulang.

Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada September lalu, novel 1998 baru dikenalkan ke publik oleh Rumah Budaya Ratna pada Minggu malam, 4 November 2012, di Gedung Dewan Kesenian Malang, Kota Malang.

Acara peluncuran sekaligus bedah novel itu dihadiri banyak seniman, jurnalis, akademisi, aktivis mahasiswa, dan aktivis buruh. Dari empat pembahas, hanya Uslan Hamid, aktivis hak asasi manusia dari Imparsial, yang batal hadir. Djoko Saryono (Guru Besar Bidang Pembelajaran Bahasa Indonesia Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang) membahas dari aspek kesusastraan, Hariyono (Guru Besar Bidang Ilmu Sejarah Politik Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Malang) membedah dari sisi sejarah, dan sisi kebudayaan diulas oleh Ki Djati Koesoemo. Acara berlangsung hingga hampir pukul 22.30 WIB.

Arbanat String Ensemble

Acara didahului penampilan Dodok E Rock, Arbanat String Ensemble, Charles Djalu Syndicate, JKJT, dan Malang Dance Company yang menarikan topeng Malang.

Menurut Iman Suwongso, koordinator Rumah Budaya Ratna, novel 1998 dikerjakan Ratna sejak 2002 dan ditamatkan pada Juli 2010. Sempat lama di tangan penerbit nyaris tanpa kejelasan, akhirnya diterbitkan juga. “Novelnya sempat ditawarkan ke beberapa penerbit ketika penerbit yang pertama ditawari sangat lama memberi kepastian,” kata Iman.

Semasa hidup, kata Iman, Ratna sempat mengatakan bahwa novel 1998 didedikasikan untuk rekan-rekan mahasiswa yang berjuang menegakkan Orde Reformasi pada 1998, yang ditandai dengan makzulnya Presiden Soeharto. “Tanpa mereka mungkin kita tidak seperti sekarang. Tidak dapat menikmati teknologi dengan kebebasan informasi seperti hari ini. Meski saya tahu masa lalu itu jauh, namun kita bisa belajar dari sana,” kata Ratna, ditirukan Iman. (Baca: Cerpenis Ratna Indraswari Ibrahim Tutup Usia)

Ketiga pembahas sependapat bahwa novel 1998 dan seluruh karya Ratna tak bisa disebut sebagai fiksi belaka walau dirupakan sebagai fiksi. Sebab, karya-karya Ratna merupakan pengisahan banyak fakta diperoleh dari observasi-observasi langsung. Dan, menariknya, kegiatan observasi itu dilakukan Ratna dalam kondisi cacat fisik. Mayoritas karakter yang ditulis perempuan kelahiran Malang, 24 April 1949, itu mewakili perjalanan kondisi sosial masyarakat.

Bagi Djoko Saryono, novel 1998 berposisi istimewa karena mengangkat tema yang hingga sekarang enggan disentuh sastrawan. Lewat 1998 Ratna merekam pergolakan sosial-politik saat Soeharto masih berkuasa tanpa menyajikan perdebatan politik, pengumbaran jargon, wacana, atau narasi, kecuali sekadar potongan ungkapan dan perenungan para tokoh.

Djoko dan kawan-kawan Ratna mengistilahkan metode kerja Ratna sebagai sembarangan menyaring berita untuk menyebut cara Ratna mengatasi problem keterbatasan fisiknya. Menyaring berita dilakukan Ratna dengan mengajak tamu, penggemar, dan teman-temannya berbincang-bincang. Nah, hasil obrolan ini yang direkam Ratna ke dalam otaknya, lalu dituturkan untuk diketik oleh asistennya. Jadi, karya-karya Ratna bisa dibilang bukan karya fiksi tulen berkadar seratus persen

“Karya-karya Ratna pada dasarnya menyerupai sebuah potret dokumentatif, dengan banyak karakter yang sebenarnya nyata. Banyak karakter dalam karya-karya disebutkan dengan nama asli, nama samaran, atau nama plesetan, dan sebagian karakternya itu masih hidup hingga sekarang,” kata Djoko, yang lama meneliti Ratna.


Namun, Djoko berpendapat, dari semua novel karya Ratna, Lemah Tanjung (2003) mewakili karakter kuat Ratna pribadi. Novel ini dibuat berdasar kisah nyata dan didedikasikan untuk warga Kota Malang yang berjuang menentang pembangunan perumahan mewah di atas lahan hutan kota bekas Akademi Penyuluh Pertanian seluas 28 hektare—kini jadi Ijen Nirwan Residence milik Grup Bakrie. Ratna terlibat langsung menentang pengalihan fungsi hutan kota tersebut sehingga Lemah Tanjung lebih mirip doku-drama dari bahan otentik. (Baca: Lemah Tanjung dan Sastra Perlawanan)

Dua pembahas lain juga menyatakan, membaca karya Ratna seolah sedang membaca catatan harian seorang penulis sekaligus aktivis sosial-budaya dan lingkungan, yang direkam dalam ingatan dan dituturkan ke asisten Ratna untuk diketik. Salah seorang asisten setia Ratna adalah Titik Qomariyah. Titik pernah menjadi wartawan.

Hariyono menyebut Ratna sebagai penutur yang setia mengalirkan cerita lewat tokoh utama perempuan. Hampir semua karya Ratna berpusat pada karakter perempuan yang tegar dan kuat, bukan perempuan lemah, cengeng, dan suka berpasrah diri. Novel 1998 menarik pembacanya untuk tekun menyimak dunia khayali dan kekerasan dunia nyata.

Adapun Ki Djati Koesoemo menyatakan Ratna sesungguhnya telah menegaskan sikap politiknya dalam novel 1998. “Dia berpolitik dengan santun dan mulia,” ujar Djati.

Ratna merekam episode perjuangan mahasiswa menentang rezim Soeharto melalui novel 1998 yang setebal 322 halaman itu, dengan tokoh sentral sejoli Putri dan Neno. Putri disebutkan anak wali kota Malang yang kuliah di Universitas Brawijaya. Putri yang semula cuek terhadap dinamika politik berbalik getol terlibat setelah berpacaran dengan Neno, aktivis kampus.

Neno mendadak hilang. Putri mencari, yang dicari tetap misterius. Setamat kuliah Putri melanjutkan studi ke Amerika Serikat. Setelah kekuasaan Soeharto rontok, Putri pulang ke Indonesia dan mengutuki kenyataan bahwa tak seorang sudi bertanggung jawab atas penculikan mahasiswa. Dan Neno tak pernah ditemukan. 

Menurut beberapa pegiat Rumah Budaya Ratna, Neno sejatinya adalah Herman Hendrawan, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga sekaligus aktivis Partai Rakyat Demokratik, yang hilang pada 12 Maret 1998.

Novel 1998 bukan novel bertema cinta yang mengharu-biru dan Ratna memang tidak mengajak pembaca untuk bersikap manja dan cengeng menghadapi kenyataan paling getir sekalipun. Tragedi harus diterima dengan sikap tegar dan kuat. Ini tercermin di banyak karya Ratna.

Seperti halnya Neno, mayoritas tokoh dalam novel 1998 masih hidup. Beberapa tokoh menggunakan nama asli atau nama alias. Sebagai contoh, dua karakter asli ini adalah seorang aktivis perempuan yang kini menjadi jurnalis di sebuah media cetak nasional di Jakarta, serta seorang lagi kini aktif di Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri. ABDI PURMONO






Share this :

Previous
Next Post »