Museum Malang Tempo Doeloe Resmi Dibuka

Selasa, Oktober 23, 2012
Foto-foto: ABDI PURMONO
MALANG — Jumlah museum di Kota Malang bertambah setelah Museum Malang Tempo Doeloe (MTD) diresmikan pada Senin siang, 22 Oktober 2012. Museum ini milik Dwi Cahyono, Ketua Dewan Kesenian Malang yang juga Ketua Yayasan Inggil.

Peresmian museum dihadiri sejumlah pejabat musyawarah pimpinan daerah, seperti Komandan Resor Militer 083/Baladhika Jaya Kolonel M. Nakir, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Malang Ida Ayu Made Wahyuni, serta Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Timur Aris Soviyani, Dewan Pakar Badan Pelestarian Pusaka Indonesia Eka Budianta, pengusaha biro perjalanan dan pimpinan maskapai, serta para seniman.

Dwi Cahyono menjelaskan, pendirian museum sudah dirintis sejak 1996. Namun, gagasan besar Cahyono beberapa kali gagal diwujudkan. Beberapa pihak yang diajak bermitra mundur sampai akhirnya ia sendiri yang membiayai seluruh pengerjaan museum mulai Maret 2012 dan menghabiskan isi kocek Rp 1,5 miliar.

Alhamdulillah, baru tahun ini bisa terwujud. Museum ini juga menjadi kado istimewa bagi ulang tahun pernikahan emas (50 tahun) orangtua kami,” kata Dwi Cahyono, putra pasangan pasangan H. Abdul Madjid dan Hj. Nur Sriati. Ibunda Dwi Cahyono adalah pemilik restoran Rawon Nguling, Probolinggo.

Museum MTD beralamat di Jalan Gajah Mada 2, persis di belakang balai kota dan bersebelahan dengan Rumah Makan Inggil, restoran berkonsep museum kepunyaan Dwi Cahyono. Dibuka tiap hari sepanjang pukul 08.00 sampai 17.00 WIB, pengunjung umum dikenai tiket masuk Rp 25 ribu dan Rp 10.000 bagi pelajar.

Ia mengawali penyelamatan 72 arca yang tercecer di Kota Malang mulai 1996. Arca-arca ini berumur 500 sampai 600 tahun. Pada 1997 ia merancang museum Malang 1.000 tahun. Gagal juga. Lalu, pada 1999 dan 2011 dijalin kerja sama dengan Pusat Perbelanjaan Sarinah. Sempat dibuat 18 ruang, tapi gagal lagi. 

Pekerjaan mencari dan mengumpulkan data benda-benda koleksi merupakan pekerjaan tersulit bagi Dwi. “Saya harus menelusuri tempat maupun pelaku sejarah untuk mencari dan mengumpulkan data, foto, film serta benda bersejarah tentang sejarah Malang. Untuk mencari data sebuah benda koleksi bisa bertahun-tahun baru dapat. Ini pekerjaan yang sangat melelahkan, tapi sangat saya cintai,” ujarnya.

Atas seizin pemerintah daerah setempat selaku pemilik, pengurus Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Kota Malang itu merenovasi sebuah rumah kuno seluas 1.000 meter persegi yang lama terbengkalai menjadi museum dengan 20 ruang pamer. Kegiatan renovasi dimulai Mardt lalu (baca: Museum Malang Tempo Doeloe Segera Dioperasikan).

Setiap ruang punya tema kesejarahan wilayah Malang. Ruang-ruang itu mencakup tema prasejarah, penggalian data arkeologi, Kerajaan Kanjuruhan, Mataram kuno, Kerajaan Singasari, pertapaan Ken Arok, Kerajaan Majapahit, benteng Malang (kini Rumah Sakit Umum Daerah dr. Sjaiful Anwar), lorong sejarah berisi foto-foto zaman dulu, galeri wali kota dan bupati Malang, pendapa Kabupaten Malang, masa pendudukan Jepang, kongres Komite Nasional Indonesia Pusat di Gedung Rakjat (kini pusat perbelanjaan Sarinah) pada 25 Februari sampai 5 Maret 1947, Malang dibumi-hanguskan pejuang pada 8 Maret 1949, serta peresmian Alun-Alun Tugu oleh Presiden Soekarno.

Para pengunjung diperbolehkan berpose atau berfoto bersama barang koleksi sehingga terkesan lebih ramah. Penataan yang lebih “gaul dan muda” menghilangkan kesan angker yang biasanya melekat pada museum. Tak hanya barang pajangan, museum dilengkapi tempat pemutaran film dokudrama tentang sejarah Malang di ruang kaleidoskop. Barang koleksi terlindung kaca disusun atau diletakkan sesuai diorama perjalanan sejarah atau perjalanan waktu yang memudahkan semua pengunjung memahami sejarah Malang Raya (Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu).

“Kami memang membangun museum sesuai urutan sejarah Malang dengan new concept modern lived museum. Konsep baru ini yang membedakan Museum MTD dengan museum pribadi lainnya. Kami berharap semoga Museum MTD ini bisa menjadi wisata alternatif bagi wisatawan yang ke Malang, juga bisa menjadi media pendidikan bagi gener`si muda,” ujar Ketua Bidang Promosi PHRI Jawa Timur itu.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Ida Ayu Made Wahyuni memuji inisiatif Dwi Cahyono. Kehadiran Museum MTD menambah jumlah museum di Kota Malang menjadi empat setelah Museum Brawijaya, Museum Bentoel, dan  Museum Mpu Purwa. Kehadiran Museum MTD menjadi daya tarik baru wisata bagi kota yang seukuran Singapura itu.

Pujian serupa disampaikan Eka Budianta. Dewan Pakar Badan Pelestarian Pusaka ini memberi apresiasi tinggi bahwa Museum MTD tak hanya menyediakan informasi tentang pra sejarah, sejarah, maupun arkelolofi Kota Malang, namun juga ilmu paleontologi (ilmu yang mempelajari sejarah kehidupan di bumi, termasuk hewan dan tumbuhan zaman lampau yang telah jadi fosil), seperti terdapat di Ruang 1 atau Ruang Prasejarah. “Museum dengan konsep seperti ini merupakan yang pertama di Indonesia. Sangat bagus dan saya bangga,” kata bekas wartawan Tempo itu.

Menurut Eka, ada puluhan museum di Indonesia tapi yang berstatus milik pribadi hanya lima museum, seperti Museum Sawahlunto di Sumatera Barat dan Museum Juanda di Bandung. Museum MTD merupakan museum pribadi yang menggabungkan konsep-konsep museum yang sudah ada.

Sedangkan Aris Soviyani memuji Dwi Cahyono sebagai sosok langka. Umumnya, pendiri sekaligus pemilik museum sudah berumur gaek, tapi Dwi Cahyono bersusah-payah mengumpulkan benda-benda kuno bersejarah dan kemudian membangun museum di usia terbilang muda: 46 tahun. ABDI PURMONO


ARTIKEL DAN FOTO-FOTO VERSI TEMPO BISA DILIHAT DI SINI: 


Museum Malang Tempo Doeloe Resmi Dibuka


Mengenal Sejarah Malang dari Masa ke Masa






Share this :

Previous
Next Post »